2: Ketua Kelas Tak Dikenal

1916 Words
Hari pembuka dalam satu minggu alias hari Senin. Gio datang ke sekolah dengan penampilan tak ubahnya seorang anak berandalan yang baru pulang dari tawuran. Rupanya bisa dibilang ”sedikit” berantakan. Sampai membuat semua yang melihat hanya bisa terdiam. Kecuali satu orang. “Selamat pagi, bro. Ada apa dengan keadaan kamu? Seperti habis dipukuli sama preman satu kampung begitu,” tanya seorang siswa yang berpenampilan rapi dengan seragam lengkap dan topi. Sesuka hati merangkul punggung Gio walau tanpa permisi. ”Cih, jangan berani kau sentuh aku!” balas Gio tidak ramah. Tapi, siswa itu tidak peduli. Ia tetap merangkul punggung teman sekelasnya dan bersama melangkah menuju lantai paling atas. Lantai empat tempat kelas mereka berada. Obrolan kedua anak remaja lelaki itu tidak berlanjut. Selama duduk di bangku sekolah menengah atas. Gio memang sudah terkenal sebagai seorang siswa yang tidak banyak bicara dan kesan pasifnya sangat ketara. Tapi, setelah beberapa saat mengenal Gio. Semua orang di sekolah perlahan memahami alasan yang membuat ia jadi seperti itu. Berita soal anak remaja laki-laki putra seorang pria kaya. Yang terpaksa tinggal bersama “ibu” dan juga para adik tirinya. Pertama berhembus dari grup w******p para ibu-ibu wali siswa. Walau hanya dari sumber yang sebenarnya bisa dibilang ”tidak terpercaya”. Berita yang sebenarnya ”biasa saja”. Entah bagaimana malah berkembang jadi semakin tidak terkendali. Ada yang bilang Gio itu sebenarnya bukan anak kandung dari Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. Ada yang bilang bahwa ia adalah anak hasil hubungan di luar nikah ibu kandungnya. Ada yang bilang bahwa ia hanya anak pungut. Ada yang bilang bahwa ibu kandungnya adalah seorang perempuan penghibur yang menggoda Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. hingga lahirlah dia. Ada yang bilang juga bahwa bla bla bla… bla bla bla… bla bla bla... Teh panas diseduh di mana-mana. Sangat banyak hal sembarangan yang sudah diucapkan tentang jati diri Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. Hal yang lambat laun hanya membuat ia semakin menjadi sosok anak rendah diri juga penyendiri karena tak pernah memiliki kepercayaan diri. Sebelum tinggal bersama dengan papa (dan keluarganya yang seperti iblis itu). Gio tinggal di rumah sederhana tempat ia tinggal sejak kecil yang terdapat di suatu perkampungan middle class. Perkampungan kelas menengah ke bawah. Tapi, semua berubah saat bundanya tiba-tiba dipinang oleh seorang bule Italia yang wanita itu kenali di tempat ia bekerja. Dan... ”Tidak boleh! Gio adalah anak lelakiku. Dia harus tetap berada di sampingku! Di negara ini apa pun yang terjadi!” putus Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. saat bundanya, Aniyah, mengatakan bahwa ia akan membawa Gio Jr. pergi dan menetap di rumah suami barunya. Saat itu Gio Jr. sudah berusia di atas dua belas tahun. Dan seharusnya telah memiliki hak untuk menentukan ingin diasuh oleh siapa. Ketimbang bersama dengan papa tukang selingkuh, wanita selingkuhannya, dan anak-anak entah halal atau tidak yang lahir dari hubungan mereka. Tentu saja jauh lebih menarik untuk pindah ke suatu negara di Eropa. Memulai hidup baru. Dan memiliki kesempatan untuk mengasuh adik-adik blasteran dengan wajah super lucu. Tentu saja Gio Jr. jauh lebih memilih untuk ikut dengan ibu yang akan memboyongnya keluar dari negara ini. Tapi, entah bagaimana. Hal itu tidak terjadi. Gio Sr. sangat berkeras bahwa putranya hanya boleh tinggal bersama dengan sang ibu apabila ia tetap berada di Indonesia. Jika tidak anak itu harus tinggal bersama dengan keluarga sang papa. Tidak ada kompromi. Nehi nehi. Bahkan Gio melihat bagaimana bundanya sendiri tampak putus asa karena tak kuasa mempertahankan hak asuh akan dirinya. Gagal membawa sang putra memulai hidup baru di negara asal pizza dan lasagna. * Saat datang waku istirahat pertama. Gio yang duduk seorang diri di bangku paling baris depan banjar paling dekat dengan jendela di sebelah kanan kelas. Hanya duduk termenung seraya menatap ke koridor di balik pintu kayu yang sesekali terbuka. Pandangan kedua bola matanya sangat kosong nyaris hampa. Dengan sekujur tubuh yang bertabur luka. ”Hei,” sapa siswa yang tadi pagi aktif mendekati dirinya. Tak peduli bagaimana ia dihalangi oleh anak lain agar tidak terlibat masalah yang mungkin terjadi. ”Hallo,” balas Gio dengan intonasi datar. Ia sama sekali tidak punya minat untuk membentuk hubungan baik dengan siapa pun juga di sekitarnya. Ia adalah tipikal manusia yang hanya ingin dunia ini atau paling tidak hidupnya segera berakhir saja. No motivation. Tidak ada motivasi atau harapan untuk masa depan. “Apa kamu korban kekerasan dalam rumah tangga?” tanya siswa itu tanpa sedikit pun basa-basi pembuka. Sekalipun topik yang ia pancing cukup sensitif. Gio yang tidak senang mendengar pertanyaan lancang itu. Hendak bangkit dan melancarkan bogem mentah ke wajah siswa yang tidak begitu ia ketahui namanya tersebut. “Dasar kurang aja…” Namun, siswa itu kembali mendudukkan tubuh Gio ke bangku. Ia berkata, ”Jangan mengajak aku berkelahi di kelas seperti ini. Kamu itu tidak punya teman. Kalau sampai terjadi sesuatu padaku. Pasti kamu yang akan disalahkan. Ingatlan bahwa saat ini kamu sudah kelas dua belas SMA. Jangan buat masalah yang tidak diperlukan!” sarannya. Gio pun kembali melemaskan pergelangan tangan. Ia urungkan niat melancarkan bogeman. Sepertinya ucapan anak itu ada benarnya juga. Ia tidak punya siapa pun yang akan membelanya di sana. Bahkan jika orang itu adalah sang papa. Lebih baik ia berakhir di hotel prodeo saja. “Sebenarnya kamu mau apa?” tanya Gio pada akhirnya. Cukup sengit. Saat melihat anak itu berjongkok di sisi meja. ”Aku ini ketua kelas, bro,” beritahu anak itu. Menutup mulut dengan kepalan tangan merasa sedikit geli. Gio langsung membatin, Ya Tuhan, saking anti sosialnya aku sampai tidak ngeh kalau selama ini ternyata dia ketua kelasnya. Aku pikir dia hanya sekretaris. ”Lalu, mau apa ketua kelas mendekati aku? Apa kamu sudah merangkap pekerjaan bendahara untuk mendatangi setiap siswa dan menariki uang kas mingguan?” tanyanya ”meledek”. Siswa itu mendirikan tubuh. ”Wajahmu kelihatan pucat sekali. Aku khawatir terjadi sesuatu sama kamu saat jam pelajaran sedang berlangsung. Lebih baik kita ke UKS saja, yuk,” ajaknya ramah. Gio merasa saat itu para siswi di sana tengah tampak sangat terpesona. Pada ”sikap jantan” ketua kelas mereka. Ia yang merasa tidak nyaman pada tatapan berlebihan para anak perempuan. Pun akhirnya memutuskan menyambut ajakan siswa yang namanya saja tidak ia ketahui. Dalam perjalanan menuju UKS. ”Nama kamu siapa?” tanya Gio pada akhirnya. Habis saat ia ingin melihat bordiran nama di kemeja. Bagian d**a anak itu tertutup oleh blazer. Siswa itu menggelengkan kepala. Ia menjawab, “Kalau kamu tidak tau ya tidak perlu tau. Tidak perlu mencari tau juga. Nama tidak akan jadi hal yang penting untuk kelanjutan hubungan kita.” Hubungan kita, batin Gio merasa janggal. Ia merasa ada yang tidak beres dengan anak itu. Mereka memang belum ada satu tahun sekelas. Sebelumnya saling kenal pun tidak. Gio sendiri bukan anak remaja yang ”normal”. Ia paham betul pada hal itu. Tapi, ia juga masih bisa membedakan. Antara anak remaja yang “biasa”. Dan yang “tidak biasa”. Dan anak itu seperti berdiri di antara keduanya. Dia ”biasa”, namun di saat yang sama juga ”tidak biasa”. Seperti sebuah anomali. ”Jadi, mari langsung saja. Apa kamu korban kekerasan dalam rumah tangga?” tanya siswa yang tampak oh so capable dan serba bisa itu. Tanpa sadar Gio menggelengkan kepalanya. Ia menjawab, ”Sama sekali tidak.” Ia bertanya lagi, ”Lalu, apa alasan yang membuat di sekujur tubuh kamu sering terdapat luka beberapa saat terakhir? Kamu bahkan tidak berusaha untuk menutupinya dengan mengenakan blazer. Kenapa?” ”Aku tidak suka pakai blazer. Panas,” jawab Gio acuh tak acuh. Kalau bisa sebenarnya ia hanya ingin secepat mungkin mengakhiri percakapan mereka. Tapi, situasi sepertinya tidak begitu memungkinkan. Anak itu tersenyum lebar memamerkan deretan gigi. Ia berkata lagi setiba mereka di tempat tujuan, “Kita sudah sampai, Gio. Satu hal yang ingin aku katakan pada kamu.” Ia mendekatkan bibir ke sisi daun telinga Gio. ”Apa pun masalah yang terjadi. Atau saat kamu membutuhkan bantuan. Kamu bisa mengatakan semua padaku. Aku pasti akan membantumu.” Karena tidak tau apa yang harus ia katakan untuk merespon ”tawaran” dari ketua kelasnya. Ia pun hanya menganggukkan kepala. Berpikir bahwa semua akan baik-baik saja. * Rumah Gio berada di sebuah pemukiman super elit di mana hanya bangunan rumah besar dengan halaman sangat luas yang ada di sana. Membuat tidak peduli seberapa kencang orang yang tinggal di dalamnya berteriak. Hanya akan jadi suara yang memantul kembali pada orang yang mengeluarkan suara. Bahkan jika ia berteriak dengan sekuat tenaga. Orang yang berada di ruangan lain pun belum tentu akan mengetahuinya karena jarak antar kamar di rumah itu memang dirancang berjauhan. Terlebih kamarnya yang ada sendiri di sisi rumah bagian utara. Sementara kamar-kamar lain yang ada isinya di rumah itu terletak di bagian sebelah selatan. Ia… sangat tidak menyukai hal tersebut. Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. sangat tidak menyukai rumah itu. Dan penghuninya juga. Pada awalnya ia terlahir ke dunia ini hanya sebagai seorang anak tunggal dari sepasang pasutri sederhana yang tinggal di rumah sederhana. Ia memang tidak kaya, tapi keluarganya damai dan juga bahagia. Ia merasa semua itu sebagai harta paling berharga. Namun, tiba-tiba hal itu terjadi. Bundanya memergoki sang papa yang melakukan hubungan perselingkuhan. Membuat semua kedamaian dan kebiasaan yang dulu selalu ia rasakan perlahan beranjak sirna. Menjadi hari-hari mengerikan penuh teriakan. Pertengkaran. Kemarahan. Bahkan bukan hanya satu atau dua kali. Gio menyaksikan bagaimana kedua orangtuanya berusaha untuk ”saling” melenyapkan nyawa masing-masing. Rasa benci yang penuh dengan kemarahan sedikit demi sedikit muncul. Dalam sanubari anak itu yang saat kejadian masih duduk di bangku sekolah dasar. Bundanya yang terkasih masih berusaha mempertahankan rumah tangga yang sudah di ujung tanduk. Setiap hari hanya bisa bersedih sambil terus meneteskan air mata. Sampai akhirnya. Kesabaran wanita itu tak bisa ditahan lagi. Ketika untuk yang kedua kali. Ia menemukan bahwa suami yang telah ia pertahankan dengan begitu banyak pengorbanan menyahat hati. Mengkhianati diri untuk yang kedua kali. Dengan wanita p*****r yang sama lagi. Kemarahan memuncak. Sudah tidak ada kata tapi. Perpisahan tampaknya memang harus terjadi. Yang membuat Gio jadi lebih dongkol lagi. Ternyata selama ini sang papa bukanlah laki-laki biasa seperti yang ia tunjukkan padanya dan Sang Bunda. Ia adalah seorang pria kaya raya dan memiliki kediaman di tanah seluas berhektar-hektar. Yang selama ini ditinggali oleh si perempuan selingkuhan. Menyebalkan sekali, bukan? Dan Gio harus menahan semua itu di dalam lubuk hati paling dalam. Karena jujur saja. Ia tidak bisa bersikap naif dengan sok kabur keluar dari rumah. Tanpa persediaan uang memadai. Lalu, menyusul ibunya ke Italia begitu? Yang benar saja. Paling tidak ia harus menahan sampai lulus jenjang pendidikan wajib terakhir. Sebagai seorang manusia di dunia ini. Ia harus menjalani hidup dengan serealistis mungkin. Melangkahkan kaki di trotoar komplek kediamannya yang cukup sepi. Ia melihat ke langit yang mendung. Di jalan itu. Seorang diri. Ia melihat segala sesuatu bagai tenggelam dalam bingkai hitam putih. Ia cengkram salah satu sisi kepala dengan kuat. Ia belalakkan kedua mata. Ia… seperti habis mengalami sesuatu yang sangat buru. Namun, anak remaja itu tidak bisa menerangkan dalam rangkaian kata padu. Ngiiing… ngiiing… ngiiing… Sebuah suara ganjil muncul timbul tenggelam. antara ada dan tiada. Mengaburkan nyaris seluruh pemandangan. Di komplek elit di mana biasa saja untuk para penghuni tidak tau siapa saja orang yang tinggal di sebelah rumahnya. Keringat dingin di tubuh menetes deras. Merembesi tiap celah pori. Tep… tep… tep… Ia sampai tak kuasa lagi langkahkan kaki. Apa yang sebenarnya sedang terjadi? Apakah ada jawaban pasti?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD