Laki-laki Dengan Kulit Mulus dan Wajah Merona

1442 Words
"Sky, jangan tinggalkan aku, aku mohon!" "Aku tak mencintaimu lagi Phi, kita akhiri sampai disini." "Tapi ..." Klik! seperti mendung di siang bolong, tiba-tiba kegelapan mengitari ruang tamu berukuran 4 x 4 meter itu. "Body!" Pond yang dari tadi mematung di depan televisi, menghela nafas kesal, karena tiba-tiba Body, temannya yang sangat tidak toleran mematikan televisi. "Orang gila ini, bisa-bisanya menonton drama seperti itu." Body melempar remot ke sofa, lalu duduk dengan tangan sibuk menjahit kemejanya yang sobek. "Apa salahnya! hah, bagaimana tadi? apa Sky jadi pergi? kenapa kau mematikan televisi disaat adegan penting!" Pond kembali menghidupkan televisi, namun drama yang tadi dia tonton sudah selesai tayang. Pond merengut. "Semua ini gara-gara Kau!" hardiknya kepada Body, yang acuh tak acuh. "Pond, jujur padaku, kau Gay?" "Dasar kau ... berapa tahun kita serumah? kau tak tau aku punya pacar wanita? b******k, menonton drama Gay, bukan berarti aku juga Gay!" "Awas jika ketahuan kau Gay, aku akan mengusirmu!" Body menatap Pond tajam. Perkataannya bukan main-main, dia benar-benar akan mengusir Pond jika temannya itu adalah Gay. Body Hemsakul, laki-laki ini sedikit kasar, gaya bicaranyapun sama kasarnya dengan sifatnya. Sebenarnya dia bukan tipe orang yang hobi mencampuri urusan orang lain. Body hidup semaunya, melakukan apapun sesuka hatinya. Tak peduli dengan pendapat siapapun. Tapi, laki-laki urakan ini sangat membenci sesuatu yang berbau LGBT. Menurutnya itu sesuatu yang menjijikkan. Entah mengapa industri hiburan saat ini kebanyakan menayangkan drama dengan tema LGBT. Dia sungguh tak habis pikir. "Body, kau sering dapat bagian di lokasi syuting kan? tak pernah melihat Sky?" "Sky?" "Maksudku ... Sky yang di drama. White Pattchara." "Kau gila? untuk apa aku melihatnya?!" Body melempar kemejanya yang belum selesai dijahit, dia langsung terlihat berang begitu nama White disebut. "Maksudku, apa kau pernah tak sengaja bertemu dengannya? sial, aku selalu di tempatkan di ruang mesin. Aku ingin lihat mereka akting, visual White yang sebenarnya apakah sebagus di televisi?" "Kalaupun aku ditugaskan saat mereka syuting, aku pasti menolak! b******k, kau yakin kau bukan Gay?" "Sejak kapan aku jadi Gay?" "Mana aku tahu! lalu kenapa kau tertarik sekali dengan laki-laki lemah itu?" "Aku hanya penasaran, kulitnya putih mulus, bibirnya merah, wajahnya merona. Aslinya memang seperti itu?" "Mana ada laki-laki dengan kulit seperti itu! kalau tidak karena riasan, ya karena operasi plastik. Bisa-bisanya menyukai aktor Gay, jika ketahuan kau menonton dramanya lagi, televisi itu akan kuhancurkan!" Body masuk ke kamarnya dan membanting pintu. Dia menghempaskan tubuh ke ranjang, dengan kasur yang agak kurang empuk. Ranjang itu seolah mengerang, bersamaan dengan hempasan tubuh Body. Body menerawang ke langit-langit kamarnya, pikirannya berlari mundur ke tiga hari yang lalu. Saat itu, sudah hampir tengah malam, Body berada di toilet, setelah selesai menyusun segala peralatan di gudang. Body yang saat itu sedang mencuci tangannya, terhenti karena mendengar isakan seseorang. Dengan pelan Body mematikan keran lalu mempertajam pendengarannya. Isakan tersebut berasal dari pintu toilet kedua. Body berusaha tetap diam, dia yakin seseorang pasti sedang tertekan. Yah, diindustri hiburan, bahkan CEO perusahaan saja pernah menangis di toilet. Tiba-tiba pintu terbuka pelan, seseorang keluar dari ruang kecil tersebut. Orang itu tak lain adalah White Pattchara, pemuda 22 Tahun, dengan kulit mulus, dan wajah merona. Matanya terlihat memerah, dan wajahnya lebih memerah lagi, karena habis menangis. Namun, begitu melihat Body, White langsung tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa. "Selamat malam Phi, apakah ..." Buk! Body menendang tong sampah yang berada di bawah wastafel, lalu pergi dengan kesal, sambil memaki di dalam hati, "Dasar lemah." Body masih berbaring di ranjangnya yang keras. Dia menghela nafas beberapa kali. "Memalukan sekali, bisa-bisanya laki-laki menangis seperti itu. Ah, mudah- mudahan aku tak bertemu si lemah itu lagi," ucapnya sambil memejamkan mata. *** "Body!" Seorang laki-laki paruh baya, berlari ke arah Body dengan nafas terengah-engah. Dia adalah sutrada Dew, Orang-orang memanggilnya Phi Dew (Kak Dew), berusia 45 tahun, dengan kondisi tubuh yang tidak begitu prima. Beberapa kali dia menjatuhkan skrip naskah dari tangan kanannya, yang membuatnya harus berjongkok untuk mengambil kertas tersebut. Sakit di bagian pinggangnya membuat Sutradara berompi biru gelap itu mendengus beberapa kali, sebelum akhirnya dia melanjutkan langkahnya. "Body, dimana Pond?" "Pond baru saja pulang, ini kan sudah pukul 6 sore." "Sial!" Phi Dew beberapa kali mengusap keringat di dahinya, sambil berpikir keras. Beberapa detik kemudian dia menatap Body mantap, seolah mendapat ilham yang baru turun dari langit, "Kau mau pulang juga?" "Iya, waktu kerjaku sudah selesai." "Jangan dulu. Ayo, bantu aku," Phi Dew menarik tangan Body. "Mau kemana? aku harus pulang!" "Ada masalah di lokasi syuting, kau juga teknisi, kan? bantu aku memperbaiki kabel kamera." "Tunggu dulu," Body menghentikan langkahnya, lalu menarik tangannya dari Phi Dew, "Aku ada janji hari ini." "Batalkan, ini penting." "Bukannya ada teknisi lain?" "Mereka dibawa ke set yang lain, kau ini ..." Phi Dew menghela nafas frustasi, "Baiklah, kuberi bonus perjam," "Bonus perjam sekaligus makan malam. Perutku bermasalah, tak boleh telat makan." "Baik, dasar perhitungan. Ayo bergegas, kau perbaiki kamera 1, aku harus merekam klip ekstra dengan kamera 2." Body yang bersemangat langsung mempercepat langkah kakinya. Kali ini Phi Dew yang kelelahan karena mengikuti langkah Body. "Kamera ini kan? akan kuperiksa dulu," Body segera menyentuh kamera tersebut, memeriksa masalah yang dihadapi sang kamera, tak ubah seperti dokter yang memeriksa pasiennya. "Kuserahkan padamu," Phi Dew menepuk pundak Body, lalu bergegas ke sebuah sofa yang berada di tengah ruangan, "Kamera 2 siap! kita akan melakukan sisipan!" Para staff bergegas diposisi masing-masing, para pengarah suara memeriksa aktor, memastikan microphone yang dipakai aktor berfungsi dengan baik. "White, maaf syutingnya tertunda, kau sudah siap?" "Tak apa Phi, aku siap, ayo lakukan pengambilan selanjutnya." Body yang sedang asik mengotak-atik kabel kamera seketika terhenti, karena mendengar suara yang tidak asing, "Suara lemah yang menjengkelkan ini ... jangan-jangan ...." Body menoleh ke arah suara tersebut, "b******k!" dengan kesal Body mengumpat, lalu menghentikan pekerjaannya. "Baiklah, White ambil posisi di sofa, Zee ini hanya sisipan, kita lakukan dengan cepat, kau harus berjalan ke arah White dengan santai," Zee mengangkat jempolnya tanda mengerti. "Body! kau sedang apa? setelah ini aku membutuhkan kamera 1, segera selesaikan." White menatap ke arah Body, lalu menyunggingkan senyum terbaiknya, namun Body langsung membuang muka, kembali melakukan pekerjaannya sambil membelakangi White. "White, ada apa?" Zee menggenggam tangan White, karena melihat White kebingungan. "Ah, tak ada apa-apa Phi," "Baiklah, ayo konsentrasi agar kita bisa pulang cepat. Kau sepertinya lelah." Zee beranjak ke posisinya, sementara White menatap Zee dengan senyumannya yang manis. "Ok, semua siap, camera, roll ... action!" Phi Dew memantau pengambilan gambar dari tempat duduknya, Zee dan White tampak melakukan adegan dengan baik. Sementara itu Body hampir selesai dengan pekerjaannya walaupun dia bekerja sambil menyumpah serapah. "Baiklah, cepat selesaikan, ambil uang, dan pergi dari sini. Aku tak sudi melihat mereka, sangat menjijikkan," omelnya. "Ok, cut! good job." Para staff mengacungkan jempolnya ke arah Zee dan White. White berlonjak gembira karena telah melakukan pekerjaannya dengan baik. "Phi Dew, kameranya sudah selesai, mana bayaranku?" Body tiba-tiba sudah berada di samping Phi Dew sambil menengadahkan tangannya. "Wah, sudah selesai? bahkan tak sampai satu jam. Kalau begitu kau disini dulu, satu pengambilan gambar lagi, kita akan pergi makan malam." "Berikan saja uangku, aku tak ingin berada disini!" "Aih, sebentar saja. Ayo duduk," Phi Dew mendorong sebuah kursi ke arah Body, "Ok, kamera 1 sudah selesai, kita syuting adegan selanjutnya!" Body hampir frustasi, tapi dia tak bisa pergi karena belum mendapatkan bayaran. Para staff mulai sibuk mengelilingi White dan Zee, White berbaring di sofa, sementara Zee berada di atas White. Ketika melihat posisi itu, Body tiba-tiba terbelalak. "I-ini adegan apa?" "Kau tak lihat? tentu saja adegan ciuman. Ok, semua siap? Action!" Adegan dimulai. Zee perlahan mendekati White, menyentuh bibir White dengan warna merah muda yang begitu menawan. Body mengepalkan tangannya. Tak pernah terpikir bahwa dia akan melihat adegan ini secara langsung. "Sial, mereka kenapa? bisa-bisanya melakukan adegan gila seperti ini!" "Bagus. Zee, pertahankan ritmenya, sentuh wajah White perlahan." Arahan Phi Dew kembali membuat Body terperangah, Zee dan White semakin dekat, bibir mereka hampir bersatu. Namun, buk! tiba-tiba Body menendang kursi, membuat semua orang kaget dan menghentikan segala yang mereka lakukan. Tak terkecuali White, laki-laki dengan bibir merah dan wajah merona itu, seketika menatap Body. Mata mereka bertemu, Body balas menatap White dengan tatapan penuh kebencian. "Kau kenapa? sial, padahal adegan tadi sangat bagus." Phi Dew melempar naskahnya ke meja. Body langsung berbalik, dan meninggalkan lokasi dengan tangannya yang mengepal. "Body! kau mau kemana? bocah gila, kau belum mengambil bayaranmu!" Body tak menggubris, dia terus saja berjalan tanpa menoleh kebelakang. "Phi itu sepertinya selalu saja marah, apa dia punya masalah?" White menatap punggung Body hingga menghilang, dan masih kebingungan akan sikap Body. "Biarkan saja, toh kita juga tak begitu mengenalinya," Zee menyentuh wajah lembut White. White menatap Zee, beberapa detik kemudian dia mengangguk, "Baiklah, semoga dia bisa mengatasi masalahnya." TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD