Nafkah Batin untuk Bening

1285 Words
Bab 1 Nafkah bathin untuk Bening “Aku memang suamimu, tapi pernikahan ini tak bisa mengekangku! Kita hidup masing-masing saja! Jangan campuri urusanku! Jangan tanya kemana aku pergi atau pertanyaan apapun yang bisa membuatku gusar! Tapi tenang saja, kamu akan tetap mendapatkan nafkah lahir dan batin dariku dan jangan pernah menolak jika aku menginginkannya!” ucap Diraga sambil membuka pakaian Bening yang baru saja menjadi istrinya. Bening hanya diam dan membiarkan pria yang kini berstatus menjadi suaminya meminta haknya. “Lagian, kamu juga sudah mendapatkan apa yang kamu mau kan?! Mahar sebuah rumah yang kamu minta pada kedua orangtuaku!” Diraga Mahesa dan Bening Senja memang menikah karena dijodohkan. Orang tua Diraga sangat khawatir saat melihat anak laki-lakinya kini terkenal playboy dan sering gonta-ganti pacar sejak bercerai dengan Sari mantan istri sirinya. Apalagi saat ini Diraga sudah memasuki usia lebih dari tiga puluh tahun, jika tidak sekarang ia diikat dengan pernikahan, orang tua Diraga khawatir anak laki-lakinya akan terus melajang dan mengikuti hawa nafsunya. Akhirnya Diraga dijodohkan dengan Bening yang menjadi sekretaris kakak sepupu Diraga yang bernama Mariska. Melihat Bening yang cantik, berpenampilan anggun dan tenang langsung membuat kedua orang tua Diraga jatuh hati dan yakin gadis itu bisa menjadi pendamping yang baik untuk anak mereka. Bening menyetujui pernikahan itu dengan syarat diberikan mahar berupa rumah untuknya. Ia meminta itu bukan tanpa alasan. Dua tahun yang lalu sang ayah sakit keras membuat sang ibu, Rara menjual harta benda termasuk rumah mereka. Saat sang ayah akhirnya meninggal dunia, kehidupan keluarga Bening menjadi terseok-seok karena harus berpindah dari kontrakan satu ke kontrakan lainnya. Padahal masih ada 2 adik Bening yang bernama Lembayung dan Banyu yang harus meneruskan sekolah. Belum lagi hutang yang besar untuk biaya pengobatan sang Ayah dan harus mereka cicil dan entah kapan bisa lunas. Bening tak peduli wajah kebencian yang ditunjukan Diraga padanya, ia sudah cukup bersyukur karena kini ia telah memiliki tempat berteduh untuk dirinya dan kedua adiknya nanti. “Agh! Ganggu aja!” umpat Diraga kesal saat seseorang mengetuk pintu kamar tidur dirinya dan Bening saat ia tengah asyik masyuk bercinta dengan sang istri. Bening menatap suaminya dengan sedikit takut dan sungkan tapi ia tak bisa mengabaikan ketukan pintu saat terdengar suara adiknya Lembayung memanggil dengan nada khawatir, pasti ada sesuatu terjadi. Perlahan Bening bangkit dari tidurnya dan segera mengenakan pakaian, sedangkan sang suami menggeram kesal dan sedikit membanting pintu saat memasuki kamar mandi. Dengan cepat Bening membuka pintu dan melihat lembayung yang tampak segan tapi cemas memberitahu dirinya bahwa Banyu sang adik kecil mereka demam tinggi. “Banyu badannya panas sekali, Mbak!” Lembayung memberitahu dengan nada khawatir. Bening segera menuju kamar sang adik dan menemukannya sudah mengigau sambil menggigil karena sakit. Sedangkan di dalam kamar, Diraga tengah membasuh dirinya dengan air dingin. Perasaannya benar-benar dongkol. Ia hampir saja mencapai puncak jika saja sang adik ipar tak mengetuk pintu. Setelah tiga minggu sibuk dengan urusan pribadinya, akhirnya Diraga pulang kerumah untuk melampiaskan hasrat kelelakiannya pada sang istri, Bening. Tapi ia lupa bahwa sudah sebulan ini kedua adik Bening, Lembayung dan Banyu ikut tinggal bersama mereka. Diraga tak pernah keberatan, toh ia pun jarang tinggal dirumah karena memiliki rumah sendiri yang sudah ia tempati saat ia masih bujang. Lagi pula rumah ini milik Bening, yang ia minta sebagai mahar pernikahan. Dia bisa melakukan apa saja dan bisa mengajak siapa saja untuk tinggal disana.Kehadiran Diraga di rumah itu selama pernikahannya yang baru satu tahun ini hanya untuk memberikan nafkah batin untuk Bening. Diraga tengah mengeringkan rambutnya saat ia keluar dari kamar mandi dan melihat Bening mengganti pakaiannya terburu-buru seolah akan pergi keluar. “Maaf ya mas, aku tinggal dulu … Banyu badannya panas sekali! Suhunya sudah sampai 40 derajat. Aku harus membawanya ke dokter!” Bening terlihat sangat cemas ketika memberitahu sambil menggulung rambutnya yang panjang keatas. Diraga hanya diam dan mengenakan pakaiannya lalu keluar dari kamar. Ia melihat Banyu yang masih berusia delapan tahun itu menggigil dalam selimut diruang tamu menunggu Bening. "Ayoo, aku antar!” Diraga menghampiri Bening ketika sedang menyelimuti Banyu untuk digendong. “Biar aku yang gendong!” Ia segera mengambil alih Banyu dari pelukan Bening dan membawanya menuju garasi tempat mobilnya disimpan. Sementara itu, Bening mengunci pintu lalu membuka gerbang hingga menutup dan segera masuk ke dalam mobil untuk mengurus Banyu. Sesampainya di rumah sakit terdekat Bening membawa Banyu ke ruang IGD. Sedangkan Diraga dan Lembayung duduk menunggu tak jauh dari sana. Diraga membelikan Lembayung sebuah minuman kemasan dingin saat melihat adik iparnya duduk termenung dan tampak mengantuk. Tentu saja gadis remaja yang masih kelas 7 smp itu mengantuk karena waktu di dinding sudah menunjukan pukul 1 dini hari. “Kalau kamu mengantuk, tidur saja berbaring di kursi ini … ruangan ini sepi, jadi tak akan mengganggu orang lain,” suruh Diraga dengan suara lembut. Lembayung hanya menggelengkan kepalanya dan tersenyum manis pada sang kakak ipar. Wajah gadis ini mirip dengan Bening dan juga secantik kakaknya tetapi Lembayung terlihat lebih ramah daripada Bening yang berwajah lembut tapi dingin. “Makasih ya mas, sudah mau mengantarkan ke rumah sakit … maaf, kami jadi merepotkan,” ucap Lembayung tulus berterima kasih pada sang kakak ipar. Sebenarnya ia merasa segan pada Diraga, karena sejak menikahi Bening, pria ini jarang sekali berbicara pada dirinya dan Banyu. Apalagi saat tinggal bersama, sang kakak selalu wanti-wanti agar tak membuat Diraga marah atau kesal. Bening hanya tak ingin sikap Diraga yang biasanya ketus padanya, ia lakukan juga pada kedua adiknya. Diraga termenung sesaat. Ia menyadari bahwa hubungannya dengan Bening tampak seperti basa-basi, tetapi kedua adik iparnya tak ada hubungannya dengan masalah mereka. Diraga segera mengacak-acak rambut Lembayung dan tersenyum lembut pada adik iparnya itu. Hening, tak ada lagi pembicaraan diantara mereka karena tak lama Lembayung tertidur dengan memegang minuman dingin yang dibelikan Diraga. Setelah menunggu cukup lama, Bening keluar dari ruang IGD sambil menggendong Banyu yang sudah tampak lebih tenang dan tertidur dalam gendongan. “Apa kata dokter?” tanya Diraga ingin tahu. “Belum bisa didiagnosa banyak, baru diberikan obat penurun panas dan antibiotik. Aku boleh titip Banyu? Soalnya aku harus ke kasir untuk bayar …” “Sudah aku bayar,” potong Diraga cepat sambil mengambil Banyu dalam gendongan Bening dan menyuruh istrinya membangunkan Lembayung. “Nanti uangnya aku ganti ya mas,” ucap Bening cepat merasa tak enak hati. “Halah, kaya uang kamu banyak saja … sudah bangunkan Lembayung, kasihan dia sudah sangat mengantuk,” jawab Diraga sembari melangkah menuju lift. Mendengar ucapan Diraga biasanya membuat Bening sebal, tapi kali ini tak ada rasa itu dihatinya. Melihat suami yang biasa menyebalkan itu mau mengantar dan membayar uang pengobatan adiknya membuat Bening melupakan ucapan-ucapan Diraga yang biasanya sengaja ia lontarkan untuk membuat Bening kesal. Sesampainya dirumah, Bening segera mengurus kedua adiknya. Hatinya lega karena panas tubuh Banyu sudah mulai turun bahkan adiknya sudah bisa tidur tanpa mengigau. Ia segera kembali ke kamar karena tak enak melihat Diraga yang bolak - balik melintas di depan kamar Banyu, seolah memberikan tanda bahwa Bening harus segera kembali. Sesampainya di dalam kamar, Bening melihat Diraga sudah duduk bersandar diatas ranjang dengan wajah merengut sambil mengganti channel tv. “Lama banget sih kamu!” gerutu Diraga. Bening hanya bisa menunduk sambil naik ke atas ranjang. Perempuan itu terkesiap saat dengan tiba-tiba tangan Diraga telah berada di dalam dasternya. “Urusan kita yang tadi belum selesai!” bisik Diraga di telinga Bening dengan suara penuh hasrat. Lagi- lagi Bening hanya bisa mengangguk dan pasrah melayani suaminya. Sebenarnya tubuhnya sangat lelah dan dalam waktu beberapa jam ia harus kembali bangun untuk mempersiapkan kebutuhan sang adik dan berangkat bekerja. Tapi ia tak bisa mengatakan tidak saat Diraga menginginkan tubuhnya. Bening hanya bisa menjambak rambut suaminya pelan dan berdoa kapan pria yang tengah mencumbunya ini memiliki rasa belas kasih padanya. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD