Si Penggerutu

1682 Words
Bening terbangun saat terdengar suara kokok ayam dan deru mobil dari balik jendela kamarnya. Ia segera bangkit dan terburu-buru untuk mandi lalu sholat Subuh yang hampir habis waktunya. Sudah tak ada Diraga disampingnya, tapi buat Bening itu biasa. Pria itu selalu menghilang di pagi hari setelah melampiaskan hasratnya. Tak ada rasa kesal dihati Bening, malah ia merasa lega sehingga tak perlu berbasa-basi dan merasa sungkan jika suaminya ada. “Mbak buatkan sarapan dulu ya, adikmu gimana kondisinya?” tanya Bening saat melihat Lembayung keluar dari kamar tidurnya dan telah siap dengan pakaian sekolah lengkap. “Panasnya sudah turun mbak, Banyu masih tidur lelap,” jawab Lembayung sambil mengeluarkan kotak makan bersih dari lemari dan membantu sang kakak untuk menyiapkan bekal makanannya hari itu. Keterbatasan dana membuat Bening hanya mampu menyekolahkan Lembayung di sekolah biasa yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Walau ia memiliki penghasilan dan selalu diberikan uang setiap bulan oleh Diraga tapi kehidupan Bening serba pas-pasan. Ia harus menyisihkan setengah uangnya tiap bulan untuk membayar hutang kepada beberapa teman ayah dan ibunya. Tentu saja ia tak bisa mengatakan hal ini pada Diraga, ia tak ingin mengusik suaminya yang lebih senang menekuk wajahnya jika bertemu dengan Bening. Satu-satunya reaksi ramah dari Diraga hanyalah saat ia merasa puas setelah berhubungan badan dengan istrinya. “Sedang apa kalian?” tanya seseorang dengan suara bariton dibalik tubuh Bening dan Lembayung. “Kamu masih disini mas?” tanya Bening tampak terkejut saat melihat suaminya masih ada dirumah mereka dan sudah tampak rapi dengan pakaian kerja. “Emang aku harus berada dimana?” ucap Diraga balik bertanya dengan nada kesal karena merasa Bening seolah mengusir dirinya. “Mau aku buatkan sarapan mas?” tanya Bening cepat mengalihkan pembicaraan. Ditanya seperti itu, Diraga hanya diam dan menatap lauk berupa tahu, tempe dan ceplok telor dengan sedikit sambal diatas nasi bekal Lembayung. “Gak ada ayamnya? Atau ikan? Anak-anak seusia kamu biasanya suka ayam kan?” tanya Diraga heran melihat isi bekal adik iparnya yang sangat sederhana. “Ini juga cukup mas, sudah bikin kenyang sampai siang,” jawab Lembayung sopan dan segera menutup bekalnya dan memasukkannya kedalam tas sekolahnya. “Ambil ini, uang jajan untuk kamu hari ini,” ucap Diraga tiba-tiba mengeluarkan dompet dan memberikan selembar uang 50 ribuan pada Lembayung. Ditawari uang, Lembayung menoleh kearah sang kakak dan menatapnya takut-takut. Bening segera menganggukan kepala seolah menyuruh Lembayung menerima uang tersebut. Dengan segan Lembayung menerima uang pemberian Diraga tetapi raut wajahnya berubah senang. “Terimakasih mas,” ucap Lembayung sopan lalu mencium tangan sang kakak dan kakak iparnya sebelum pergi sekolah naik ojek online yang sudah menunggu di depan rumah. “Mau sarapan mas?” tanya Bening mengulang pertanyaannya perlahan. Walau mereka telah menikah setahun lamanya, Bening merasa sangat segan pada suaminya. “Kamu tuh harusnya lebih perhatian sama makanan untuk adik-adikmu! Sarapan tuh gak usah berat-berat seperti nasi begitu! Sediakan banyak buah dirumah! Kamu gak kasihan kalau nanti adikmu kurang gizi?!” ucap Diraga menggerutu menatap Bening sebal. Wajah cantik Bening tak membuat Diraga melembut. Istrinya itu hanya bisa menundukan kepala dan mengatur nafasnya perlahan. Jika ia diam, Diraga tak akan ngomel terlalu lama. “Gimana keadaan Banyu? Kalau kamu kerja siapa yang menunggu?” Diraga bertanya dengan nada berbeda dan terdengar lebih lembut setelah satu detik sebelumnya ia sangat ketus. Sepertinya ia telah puas mengganggu Bening dengan omelannya. “Kemarin malam aku sudah meminta tolong mpok Rati untuk menemaninya sampai Lembayung pulang sekolah. Hari ini juga aku mau ijin sama bu Mariska untuk pulang lebih awal,” jawab Bening sambil membereskan meja dan mengatur makanan adik-adiknya untuk siang nanti. Ia juga telah membuatkan bubur untuk diberikan pada Banyu. Tak lama kemudian terdengar suara mpok Rati dari luar rumah. Mpok Rati adalah warga di belakang komplek rumah Bening dan Diraga yang biasanya datang membantu Bening untuk membersihkan rumah dan menyetrika pakaiannya seminggu 3 kali. “Masuk mpok, mohon maaf jadi merepotkan karena harus menunggu Banyu,” ajak Bening saat mendengar suara mpok Rati mengucapkan salam. “Gak apa- apa Neng, biasa si mpok mah ngurusin anak-anak yak … eh, ada masnya si Neng yaa… duh, emang jodoh mah harus sesuai yak! Yang satu cantik yang satu lagi ganteng! Sedep banget ini mata liat suami istri kayak begini!” ucap mpok Rati cablak dengan logat betawinya yang khas. Bening hanya tersenyum dan ia sempat terkejut saat tiba-tiba Diraga merangkul pinggangnya mesra. Ada rasa sedih dihati Bening. Suaminya itu memang selalu bersikap mesra jika ada orang lain disekitar mereka, tapi setelah itu hanya pandangan sinis yang Bening terima. “Kami berangkat ya mpok, ayo say… sudah siang, nanti kita terlambat,” bisik Diraga dengan suara lembut di telinga Bening. Bening hanya mengangguk dan segera mengambil tasnya lalu mengantar mpok Rati bertemu Banyu sekaligus berpamitan pada adik kecilnya. “Hari ini aku ada meeting dengan mbak Mariska, kamu bisa ikut aku sekalian,” ucap Diraga cepat dan ia membuka pintu mobil untuk Bening ketika mereka berjalan bersama menuju garasi. “Gak usah mas, aku naik kendaraan umum saja,” jawab Bening malas, ia tak ingin berlama-lama bersama suaminya walau arah tujuan mereka pagi ini sama. “Naik!” suruh Diraga seolah tak ingin dibantah. Bening pun akhirnya menurut. Tak ada pembicaraan diantara mereka selama perjalanan. Yang ada pikiran penuh Bening yang selalu berhitung di kepalanya bagaimana bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari disaat orang-orang menagih hutang padanya. Bening tak ingin memintanya pada sang ibu, Rara yang saat ini sedang bekerja di Yogyakarta. Sejak kepergian sang ayah untuk selamanya, Rara memutuskan untuk menerima pekerjaan di Yogyakarta sebagai kepala cabang sebuah bank. Seharusnya Bening bisa meminta bantuan dari sang ibu untuk membantunya melunasi hutang-hutang yang mereka buat untuk pengobatan sang ayah. Tapi Bening tidak mau. Ketika ia mengetahui bahwa sang ibu menjalin hubungan dengan salah satu sahabat almarhum ayahnya, Bening sangat murka. Pria itu biasanya dipanggil Bening dengan panggilan Om Wira. Alasan sang ibu bahwa perasaan itu timbul awalnya karena balas budi pada Wira yang selalu membantu biaya pengobatan almarhum ayahnya dan selalu berada disisinya untuk menenangkannya. Bening tetap tak setuju, karena Wira bukanlah seorang pria lajang atau duda tapi ia masih menjadi seorang suami dari sebuah keluarga yang sebenarnya harmonis. Bahkan waktu kecil Bening bersahabat dengan anaknya om Wira yang bernama Susan. Karena kemarahannya pada sikap sang ibu, ia memutuskan untuk menyelesaikan urusan hutang-hutang sang pengobatan sang ayah sendirian dan membawa kedua adiknya untuk tinggal bersama. Ia tengah tak ingin berurusan dengan ibunya saat ini. Bening mengatur nafasnya teratur dan membuat pikirannya kembali tenang setelah mengisi kepalanya dengan semua masalah pribadi karena Ia sudah sampai di kantor. Perempuan cantik itu memaksa tersenyum selama satu menit agar wajahnya terlihat lebih ceria. Pekerjaannya sebagai sekretaris mengharuskannya untuk terlihat ramah dan baik. Apalagi hari ini, atasannya akan ada meeting dengan beberapa client. Belum lagi client dadakan yang suka nyelonong datang tanpa undangan seperti suaminya saat ini, karena kebetulan perusahaan dimana Diraga bekerja adalah perusahaan sub Vendor untuk perusahaan Mariska, sepupunya. “Silahkan tunggu disini ya mas, sebentar lagi bu Mariska datang,” ucap Bening mempersilahkan suaminya untuk menunggu di dalam ruangan sang atasan. Bening pun segera kembali ke tempat duduknya dan tiba-tiba beberapa rekan kerjanya datang mengerubungi. “Ciee, yang diantar suami …,” goda mereka pada Bening. “Stt … apaan sih… dia kalau lagi dikantor ini adalah clientnya bu Mariska, bukan suamiku!” jawab Bening cepat takut terdengar oleh Diraga karena pintu ruangan atasannya masih dalam keadaan terbuka. “Ihhh, sok sok an banget! Suami mah tetep suami! Aku jadi iri, udah jadi sekretaris bos, trus ketiban rejeki dikasih bos suami kaya, ganteng lagi!” ucap Rima seolah tak ingin berhenti mengganggu Bening. “Yang kaya gini nih, yang bisa kena penyakit Ai’n! Udah ah, gak enak nanti dia denger!” ucap Bening mengusir teman-temannya untuk menjauh dari mejanya. Sedangkan di dalam ruangan, tentu saja Diraga mendengar percakapan Bening dan teman-temannya. Ada rasa bangga di hati Diraga saat ia mendengar pujian tentang fisiknya yang dibilang ganteng oleh rekan kerja Bening. Tak lama Mariska pun datang dan masuk ke dalam ruangan kerjanya. “Tumben datangnya pagi amat,” sapa Mariska pada adik sepupunya saat melihat Diraga. “Sekalian nganterin Bening,” jawab Diraga pendek dan menoleh ke arah pintu. “Istri kamu tuh hebat loh kerjanya, konsisten dan gak pernah ngeluh,” puji Mariska sambil meletakan tasnya. “Iya, tapi kaku!” “Masa sih? Gak mungkin Bening orangnya kaku, dia tuh menyenangkan sekali,” “Akh, kaku! Kaya kanebo kering!” “Hush ah, sama istri kok gitu ngomongnya! Udah kita ngomongin kerjaan aja!” tegur Mariska cepat dan segera mengalihkan pembicaraan saat Diraga terlihat tak suka pada Bening. Mariska tahu, bahwa sebenarnya Diraga sangat keberatan dengan pernikahannya dengan Bening karena sepupunya ini tampak masih mengharapkan mantan istrinya itu kembali padanya. Sari. Perempuan cantik yang usianya lebih tua hampir 5 tahun dari Diraga itu adalah sahabat karib Mariska saat kuliah dulu. Perempuan itu begitu cerdas, pembicara yang baik dan fisiknya juga sangat cantik. Diraga begitu tergila-gila padanya. Sayangnya saat itu Sari menjadi istri seseorang yang bernama Bram. Sari juga yang memotivasi Diraga untuk mendirikan perusahaannya sendiri karena ia melihat Diraga memiliki kemampuan bisnis yang baik. Dan berhasil, akhirnya Diraga keluar dari pekerjaannya dan mendirikan perusahaan consultant sendiri. Sampai saat ini, Diraga berhasil terus mengembangkan usahanya secara perlahan tapi pasti. Tentu saja hal itu membuat Diraga semakin tergila-gila pada Sari. Sampai akhirnya mereka menikah siri karena Sari mengatakan ia sudah bercerai secara agama dengan Bram karena memilih Diraga. Pernikahan siri mereka hampir berjalan satu tahun, ketika Diraga mengetahui, bahwa selama ini Bram tetap menolak untuk menceraikan Sari. Mengetahui pernikahan sirinya tidak sah, akhirnya Diraga memutuskan berpisah. Apalagi sang Ayah jatuh sakit karena hal ini. Perpisahannya dengan Sari menyisakan luka untuk Diraga. Ia menjadi playboy dan bergonta-ganti pacar dengan mudahnya. Sampai akhirnya kedua orangtua Diraga menjodohkannya dengan Bening. Awalnya Diraga menolak, sampai ia mendengar bahwa Bening meminta mahar sebuah rumah untuk dirinya. Melihat keterbukaan sikap Bening, Diraga merasa lebih baik ia menikahi perempuan yang menjadi diri sendiri seperti Bening yang tampak haus akan uang. Dengan begitu ia tak bisa diatur oleh Bening dan tak menyakiti hati kedua orangtuanya karena ingin ia menikah. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD