Perempuan yang tak ingin dicium

1550 Words
Meeting antara Diraga dan Mariska berlangsung cukup lama. Bening sampai dua kali menyuruh office boy untuk mengantarkan air dan makanan kecil ke dalam ruangan. Menjelang makan siang, pintu ruangan kerja Mariska pun akhirnya terbuka dan Diraga berjalan keluar dari pintu diantar Mariska. “Minggu ini aku tunggu budgetnya ya, karena project ini seharusnya sudah berjalan dari minggu lalu,” ucap Mariska pada Diraga yang mencantol tas laptopnya ke bahu. Diraga pun hanya mengangguk lalu menoleh kearah Bening yang asik mengetik di depan laptopnya. “Ning, tolong antarkan dulu suaminya ke depan.” Mendengar ucapan Mariska membuat Bening hampir tersedak nafasnya sendiri dan mendapatkan pandangan nakal dari teman-temannya karena mereka semua berada di dalam sebuah ruangan besar. Bening segera berdiri dan menghampiri suaminya. Spontan Diraga langsung merangkul pinggang Bening dan membuat Bening terkesiap sesaat. “Mas, jangan! Diliatin orang,” bisik Bening gugup dengan sikap Diraga. Tapi Diraga tak peduli, ia tetap melintas melewati ruangan sambil memeluk pinggang Bening, seolah ingin memamerkan kemesraan pada semua orang. Sesampainya di depan lift, Diraga segera menarik Bening dalam pelukannya dan mencuri ciuman dari bibir Bening. “Mas!” bisik Bening kaget dengan sikap Diraga. “Biar kesannya kita mesra terus! Tuh, resepsionis kamu ngeliatin!” bisik Diraga ditelinga Bening dengan pandangan tajam. Bening hanya diam dan merasa lega saat pintu lift terbuka dan suaminya segera masuk kedalamnya. Sikap Diraga hanya membuat hatinya sedih, karena kemesraan itu palsu. Sedangkan di dalam lift, Diraga mengusap bibirnya perlahan. Ada rasa penasaran di hatinya akan sikap Bening. Perempuan itu tampak selalu menurut dan memberikan semuanya untuk Diraga, tapi tidak untuk bibirnya. Bening mungkin menjalankan kewajibannya sebagai istri saat suaminya meminta untuk dilayani, tapi selama proses itu berlangsung, ia tak pernah mengijinkan Diraga untuk mencium bibirnya. Tanpa kata-kata Bening selalu bisa mengalihkan Diraga untuk tak menciumnya. Dan hal itu membuat Diraga penasaran sekaligus kesal. Hanya karena sebuah ciuman yang tak pernah ia dapatkan, Diraga merasa Bening memberikan jarak yang besar diantara mereka. Diraga tak punya alasan untuk mencium Bening jika mereka berdua tengah bersama. Sikap Diraga yang menyebalkan dan sering berkata ketus membuat Bening merasa bahwa Diraga tak pernah menyukainya dan tak nyaman bersama Bening. Sadar akan sikapnya, Diraga hanya bisa mencuri ciuman dari bibir Bening jika mereka tengah keramaian dan itu pun Bening selalu mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sebenarnya, tak ada rasa benci di dalam hati Diraga terhadap Bening. Semua itu hanya kekesalan sesaatnya saja saat ia merasa dipaksa untuk menikahi istrinya. Awalnya ia hanya takut kebebasannya terganggu, tapi melihat Bening yang begitu sabar dengan semua sikap ngeyelnya membuat Diraga tak lagi merasa ada rasa benci atau kesal. Hanya saja, ia masih terlalu gengsi untuk memulai mendekati istrinya yang terlanjur menjaga jarak perasaan dengannya. *** Bening merasa lega saat ia melihat waktu masih pukul empat sore saat ia baru sampai dirumah. Hari ini ia mendapatkan izin agar bisa pulang lebih cepat dari biasanya karena adiknya Banyu masih sakit. Selain itu tubuhnya juga merasa sangat lelah. Betapa inginnya Bening merebahkan tubuhnya sesaat dan tidur beberapa jam lebih awal untuk memulihkan tenaganya. Seharusnya hari ini adalah hari yang menyenangkan untuk Bening karena hari ini ia gajian. Uang yang masuk ke dalam rekeningnya akan langsung melimpah ruah karena gaji dari kantor dan juga nafkah dari Diraga yang sudah terpost otomatis seperti payrol. Tapi hari ini juga ia sudah mendapatkan banyak w******p dari beberapa teman orang tuanya yang menagih hutang padanya. Hutang yang totalnya ratusan juta hanya bisa ia bayar secara mencicil setiap bulan terasa seperti hutang yang tiada akhir. Baru saja ia selesai melihat kondisi Banyu dan mengantar mpok Rati ke depan rumah, sebuah mobil yang ia kenal berhenti tepat di depan rumahnya. Melihat Bening berada dihalaman rumah, orang yang didalam mobil itu pun segera turun dan menghampiri Bening. “Akhirnya kita bisa bertemu Ning,” sapa perempuan berusia hampir 50 tahun didampingi suaminya. Ia adalah Sita, salah satu teman kantor almarhum ayah Bening. “Apakabar tante?” sapa Bening dengan suara lemas. Ia tahu kedatangan mantan kerabat kerja sang ayah itu tentu saja untuk menagih hutang pada Bening. Bening pun mempersilahkan Sita bersama suaminya untuk masuk ke dalam rumah. “Rumah kamu bagus dan besar Ning,” sapa Sita sambil melihat-lihat ke penjuru ruangan rumah. Bening hanya diam. Di dalam hatinya ia sibuk komat-kamit berdoa, semoga urusannya dengan Sita yang terkenal baik tapi cerewetnya minta ampun itu bisa segera selesai. “Seharusnya dengan rumah seperti ini, kamu mampu bayar hutang kamu secara langsung tanpa cicil sama tante,” kata Sita tanpa basa-basi sambil kembali duduk di sofa ketika melihat Bening datang membawa dua cangkir teh hangat di dalam baki. Bening hanya menunduk dan menyajikan minumannya. “Mohon maaf tante, sampai saat ini Bening baru mampu mencicil,” ucap Bening perlahan. “Gak bisa Ning, coba kamu bilang sama suamimu untuk membayarkan hutang kamu sama tante. Anak tante mau masuk kuliah, ia butuh uang banyak!” “Tolong Bening, Tante…” “Kelamaan Ning! Tante gak bisa menunggu jika harus dicicil hanya sejuta dua juta sebulan! Tante butuh cepat! Tante tahu, kalian berhutang karena untuk biaya pengobatan Almarhum mas Pris, tapi tante lagi butuh … kamu tahukan, kalau tante ada pasti tante bantu. Tapi kali ini coba kamu yang bantu tante! Suamimu pasti kaya jika ia bisa memberikanmu rumah sebesar ini dan di dalam komplek perumahan yang bagus pula!” Mendengarkan ucapan Sita, Bening hanya bisa duduk menunduk. Air matanya hampir jatuh tapi ia berusaha keras untuk bisa menahannya. Bagaimana bisa ia membayar sekaligus hutangnya pada Sita, jika saat ini saja uangnya hanya cukup untuk makan seadanya dan ongkos ke kantor. “Assalamualaikum.” Mendengar salam dari luar rumah membuat jantung Bening berdetak cepat. Suara itu milik Diraga yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah dan langsung melihat ada tamu tak ia kenal ditemani Bening. “Waalaikumsalam … mas, kenalkan ini tante Sita dan suaminya Om Kusumo. Beliau adalah teman dari almarhum bapak,” ucap Bening sambil berdiri dan menghampiri suaminya cepat. “Oh, perkenalkan saya Diraga, suami Bening,” ucap Diraga sopan sambil tersenyum dan menyalami kedua tamunya. “Alhamdulillah, kebetulan sekali kalau begitu! Kami kemari untuk menagih hutang keluarga Bening, dek Diraga!” Mendengar ucapan Sita, Diraga tertegun sesaat lalu menoleh perlahan ke arah Bening yang tengah menunduk dalam dengan wajah takut. Ingin sekali ia menarik tangan Bening dan memarahinya karena merasa ditodong tiba-tiba. Diraga hanya bisa berdiri mematung ditemani Bening di sisinya saat Sita menceritakan kronologis tentang hutang piutang yang terjadi antara dirinya dan Bening. “Tante tahu Bening tidak bermaksud untuk mangkir, bahkan dia mencicilnya secara rajin sama tante. Tapi saat ini anak tante mau masuk kuliah, butuh uang banyak! Tante sudah minta hal ini juga pada mbak Rara, ibunya Bening, tapi jawabannya sama, untuk langsung sebesar itu ia tidak punya!” Wajah Sita terlihat gusar saat menjelaskannya pada Diraga. “Dek Diraga bisa tolong tante untuk bantu Bening melunasi hutangnya?” pertanyaan Sita membuat Diraga menghela nafas panjang dan menoleh ke arah Bening dengan pandangan kesal. “Berapa total hutangnya tante? 52 juta ya?! Boleh minta nomor rekeningnya?” tanya Diraga cepat dan mengeluarkan handphonenya. Dengan cepat Sita menyebutkan nomor rekeningnya saat Diraga membuka m-bankingnya. “Sudah lunas ya tante, tapi boleh kami minta surat pernyataan bahwa Bening sudah melunaskan hutangnya pada tante diatas materai? Kita bisa buat disini,sekarang.” Diraga dengan cepat membuka laptopnya dan ikut duduk di sofa. Tak lama kemudian sebuah surat pernyataan sudah tercetak rapi dengan materai dan tandatangan yang sudah dibubuhkan diatasnya. “Terimakasih dek Diraga, mohon maaf jika tante mendadak merepotkan, kalau gak begini akan lama sekali untuk terlunasi!” ucap Sita saat ia dan suami berpamitan pada Diraga dan Bening. Diraga hanya tersenyum tipis lalu kembali ke dalam rumah saat tamunya sudah pulang. Bening mengikuti langkah Diraga dari belakang dengan gontai. Hatinya merasa lega sekaligus takut pada Diraga. Ia lebih baik dicaci maki oleh Sita daripada menghadapi Diraga yang dingin dan ketus. Sebuah tinju ke atas meja makan membuat Bening sedikit melompat ketakutan. “Berapa banyak lagi hutang yang kamu punya diluar sana?! Pantesan saja kamu sangat pelit, ternyata ini penyebabnya! Pinter ya kamu! Sudah minta rumah, minta di lunasi hutang juga!” Diraga menatap Bening dengan pandangan marah dan kesal. “Maafkan aku mas, tapi pasti aku ganti uangnya mas Diraga…,” ucap Bening sambil terisak perlahan. Ia tak bisa menahan tangisnya karena merasa takut sekaligus menyesal telah membuat Diraga marah karena harus melunasi hutangnya pada Sita. Diraga baru saja ingin melontarkan kata-kata tak enak lainnya untuk menyakiti Bening, tapi seseorang datang menghampiri mereka ke ruang makan. “Mbak, aku lapar …” Banyu yang melangkah lemas menghampiri kakaknya membuat pertengkaran Bening dan Diraga terhenti. Bening segera menghapus air matanya. Saat ia hendak berbicara pada Banyu, Diraga segera menghampiri Banyu dan menggendongnya. “Banyu mau makan apa? Yuk, kita beli online saja, mas belikan apapun yang Banyu mau biar cepat pulih,” ucap Diraga sambil menggendong adik iparnya. “KFC boleh mas?” tanya Banyu senang. “Boleh dong, gimana kalau kita beli langsung saja di restonya kan ada di depan komplek? Banyu mau ikut? Kita belikan juga untuk Lembayung!” ucap Diraga cepat sambil membawa Banyu ke dalam mobilnya dan meninggalkan rumah tanpa menoleh sedikitpun pada Bening. Bening hanya berdiri canggung seperti orang yang dianggap tak ada oleh Diraga. Air matanya kembali bercucuran. Hatinya sedih tapi hanya bisa menangis seolah bersiap untuk mendengarkan ocehan Diraga saat kembali nanti. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD