Chapter 2

1045 Words
“Yuk berangkat.” Alfi menghela nafas jengah saat melihat gadis yang sedari tadi ia tunggu-tunggu baru menampakkan wajahnya. Kalau saja tadi dalam waktu satu menit lagi gadis itu tak kunjung keluar dari rumahnya yang bak istana ini, Alfi sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan segera pergi dari sini. Masa bodoh dengan gadis itu yang pasti akan marah besar dan besok akan memenuhi kembali dinding sekolah dengan huruf A dan P. “Lo lama banget sih? Lo pikir tu bioskop rela mutar ulang filmnya kalau lo telat datang dan lo mau nonton dari awal?” Tanya Alfi  ketus. Bukannya menjawab gadis itu langsung menaiki motor Alfi dan melingkarkan tangannya di pinggang Alfi. Alfi mengusap wajahnya frustrasi, terkadang gadis ini menganggapnya sebagai patung. Selalu seenaknya. Alfi menyalakan motornya kemudian berlalu dari halaman rumah Prillia. *** “Tadi itu sumpah kocak banget filmnya. Si bossman itu benar-benar ngeselin. Kalau gue jadi Kerani, gue bakal kempesin tuh perut buncitnya. Atau gue cabutin kumisnya. Kalau lo mau ngapain tu bossman kalau misalnya lo jadi Kerani?” Alfi tak menghiraukan pertanyaan Prillia dan terus melangkah menuju parkiran. “Kita makan dulu yuk,” ajak Prillia menahan langkah Alfi. “Lo malam ini cuma minta gue buat temenin lo nonton, bukan makan. Gue mau langsung ke studio karna gue harus latihan.” “Oke, gue ikut lo ke studio,” balas Prillia santai kemudian melanjutkan melangkah mendahului Alfi. Afii menatap gadis itu geram. Selalu seenaknya tanpa meminta persetujuan Alfi terlebih dahulu. Kalau bukan karena Alfi sedang membutuhkan gadis itu, mungkin sudah sejak tadi ia meninggalkannya di sini. Jika Alfi melawan, bisa saja ia melapor pada ayahnya untuk menutup ekskul band di sekolah. Tentu saja Alfi tak ingin itu terjadi karena ada sebuah perlombaan yang cukup besar yang akan bandnya ikuti.  *** “Haiii guys,” sapa Alfi pada teman-teman satu band-nya. Mereka tersenyum menatap kehadiran Alfi. Mereka pikir Alfi tak akan datang karna pasti akan di kendalikan oleh remote controlnya. Namun seketika senyum mereka pudar saat melihat seseorang yang ada di belakang Alfi dengan wajah datarnya. “Lo duduk di sana dan jangan ganggu gue selama latihan,” ucap Alfi memperingatkan sambil melirik sofa yang berada di sudut ruangan. Prillia mendelik bahunya acuh kemudian berlalu ke arah sofa. Duduk manis sembari memainkan ponselnya tanpa menyapa teman-teman Alfi yang sedari tadi memperhatikannya. “Lo kenapa ajak dia kesini?” Bisik Flora. “Tau nih, mana mukanya judes banget lagi,” timpal Rian. “Udah lah guys, masih untung Alfi bisa datang kesini,” lerai Bimo membuat semuanya bungkam. Disaat seperti ini Bimo pasti selalu bisa menjadi penengah selain Alfi. “Yaudah lah yuk latihan,” ajak Kikan yang mendapat anggukan dari semuanya. Mereka semuanya langsung mengambil alatnya masing-masing dan mulai bersiap-siap. Starlight, nama band yang di bentuk sekitar 1 tahun yang lalu. Band yang berisikan 5 murid SMA Cendana yang memang memiliki keahlian dalam bidang musik yang di ketuai oleh Alfi karna memang Alfi lah yang membentuknya. Alfi menduduki posisi sebagai gitaris, Rian sebagai drummer, Bimo memegang keyboard, Flora bassis dan Kikan vokalis. Walaupun belum lama terbentuk namun band ini sudah cukup sering mengikuti festival musik atau pun kompetisi dan tak jarang juga mereka mendapat juara. Mereka tampak begitu asik berlatih, menyanyikan beberapa lagu yang mereka aransemen ulang dengan kreativitasnya sendiri membuat lagu itu terdengar beda dan lebih baik. Prillia memperhatikan Alfi dari tempat duduknya. Alfi terlihat begitu mempesona saat serius memetik gitarnya mengiringi Kikan bernyanyi. Sebenarnya Prillia tak terlalu sering mengikuti Alfi saat sedang latihan, entah kenapa ia tak begitu suka dengan musik. Ada yang mengganjal dari hatinya setiap kali mendengarkan nada-nada yang terangkai menghasilkan melodi yang mungkin bagi sebagian orang terdengar indah, namun baginya nada itu malah seperti belati yang menari-nari di hatinya membuatnya merasakan nyeri. Prillia merutuki dirinya karena ia tak bisa memiliki hobi yang sama dengan Alfi. Sering ia mencoba untuk menyukai musik, namun setiap kali ia ingin memulai bayangan itu selalu datang membuatnya harus mengubur dalam-dalam keinginannya itu. “Eh gue ada recommend lagu baru nih,” ucap Kikan tiba-tiba. “Lagu apa?” Tanya Rian. “Judulnya, hampa. Lagunya melow banget, tapi gak tau penyanyinya siapa. Soalnya katanya setelah rekaman penyanyinya itu hilang gitu aja, nah tapi lagunya sempat di putar di radio-radio gitu awal tahun 2000-an. Gue juga dengar ini dari record bokap gue. Lo pada mau dengar gak? Siniin deh Al gitarnya gue coba nyanyiin,” ucap Kikan. Teman-temannya tampak siap mendengarkan begitu pun Alfi yang sudah memberikan gitarnya pada Kikan. Kikan mulai mencari kunci yang akan mengiringi nyanyiannya. Tangannya juga sudah mulai memetik gitarnya. Alfi, Rian, Bimo dan Flora tampak begitu serius mendengarkan setiap lirik yang dinyanyikan Kikan. Ternyata Prillia di sudut ruangan juga mendengar nyanyian Kikan dengan tubuh yang tiba-tiba menegang.  “Lagunya gak bagus, gak easy listening banget, bikin yang dengar bosan,” ucap Prillia membuat Kikan menghentikan nyanyiannya dan menatap Prillia bingung. “Al, gue mau pulang,” Prillia bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Alfi. “Gue belum selesai latihan.” “Gue mau pulang,” kini suara Prillia terdengar tegas membuat Alfi tak punya pilihan lain selain menjawab ya. “Guys gue duluan ya. Ntar gue kabari lagi kapan latihannya,” pamit Alfi pada mereka yang dibalas dengan anggukan. “Hati-hati bro,” pesan Rian. Alfi mengangguk pelan kemudian mengikuti Prillia yang sedari tadi sudah terlebih dahulu keluar dari studio. “Prillia kenapa sih, aneh banget,” ucap Flora. “Bukannya dari dulu dia memang aneh ya? Dia mana ngerti musik. Yang dia ngerti itu cuma Alfi punyanya dia,” timpal Rian sementara Bimo dan Kikan hanya memilih diam. *** “Thanks ya Al buat malam ini udah ajakin gue nonton terus ajakin ke studio lo?” “Ajakin lo? Bukan ngajak, tapi lo yang maksa,” balas Alfi meralat ucapan Prillia yang baru turun dari motornya. “Sama aja, yang penting malam ini kita sama-sama,” balas Prillia santai. Alfi hanya menatap Prillia malas kemudian kembali menyalakan motornya. “Hati-hati ya Al,” ucap Prillia yang dibalas Alfi dengan anggukan pelan. “Udah masuk sana,” ucap Alfi ketus. “Gak ada romantis-romantisnya,” gerutu Prillia kemudian memasuki rumahnya dengan wajah kesalnya membuat Alfi tersenyum kecil. Kadang Alfi berpikir, entah kenapa hidupnya bisa didatangi oleh perempuan seperti Prillia. Benar-benar perempuan yang aneh, keras kepala dan semaunya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD