Empat

1739 Words
Siang ini saat bel pulang berbunyi, Alina langsung berlari keluar kelas menuju kelas Iyan tanpa membereskan tasnya terlebih dahulu. Ia ingin memastikan kalau adiknya itu harus pulang hari ini.  Alina melompat-lompat melihat jendela kelas Iyan melihat kondisi kelas itu, semua tampak bersiap pulang dan matanya langsung menangkap sosok adiknya yang bertubuh jangkung itu sudah menyandang tas untuk keluar kelas. Tentunya Alina langsung bersiap di pintu kelas demi menahan Iyan.  Semua anak yang keluar dari kelas itu tampak tersenyum menyapa Alina, maklum karena Alina anak yang sangat terkenal atas keteladanan dan prestasinya di sekolah ini, terlebih perawakannya yang manis dan mempesona. Benar-benar idaman semua orang.  "Iyan!" Alina mengejutkan Iyan dengan memegang tangan adiknya itu.  Iyan kaget dan dengan cepat menghindar dari keramaian, bukan karena apa-apa, hanya saja Iyan malas sekali kalau orang-orang menyadari kalau mereka kakak beradik. Hal yang paling Iyan syukuri di sekolah ini hanyalah tak berapa orang yang menyadari Alina adalah kakak kandungnya, walaupun mereka memiliki nama belakang yang sama, tapi karena perbedaan image mereka membuat orang lain tak sadar. Lagipula sebelumnya mereka berasalal dari SMP yang berbeda. Kalau tidak karena ancaman tak akan pernah diijinkan membawa kendaraan, Iyan tak akan ingin satu sekolah dengan Alina. Satu sekolah dengan Alina hanya membuatnya semakin terlihat tak ada apa-apanya. "Apaan sih Lin!? Gua udah bilang jangan kontakan sama gua di keramaian!" Iyan mengingatkan dengan geram. "Hari ini kamu pulang kan?" tanya Alina tak peduli dengan kekesalan Iyan. Iyan mendecak malas, "udahlah itu urusan gua." "Yan, kamu bikin aku ga nyaman di rumah karena papa mama selalu aja ngeributin kamu." "Selagi mereka ga permasalahin lo kenapa lo harus pikirin?" "Ya ga bisa gitu dong Yan..." "Udahlah..." "Aku teriakin kamu adik aku ya?" Alina mengancam bersiap berteriak.  Iyan dengan cepat menutup mulut kakaknya itu, "gua ada latihan basket. Gua ga bisa pulang sekarang. Gua bakal pulang kalau udah selesai." Gadis itu menggeleng, "harus pulang dulu!" "Gua ga bisa telat apalagi ninggalin latihan kali ini, tim gua udah mau tanding." "Yaudah kalau gitu aku tungguin." "Apaan sih? Kurang kerjaan banget sih lo?" "Ini kerjaan aku sebagai kakak kamu Iyan!" "Gua bakal lebih kena marah karena dibilang ngeganggu lo sama bokap dan nyokap." Iyan dibuat pusing oleh keingiinan kakaknya itu.   "Kamu ga akan kena marah karena aku akan bela kamu. Aku bakal bilang papa kalau kamu itu kapten tim basket yang keren banget, jadi papa juga harus bangga atas itu." Iyan mendecak malas, "ga usah." "Iyan..." "Gua bakal pulang nanti, tenang aja. Lo mending pulang aja ga usah mikirin gua." "Tapi Yan, aku ga mau pulang kalau ga sama kamu." "Gua anter bentar." "Enggak mau." "Yaudah terserah lo." Iyan sudah malas dan pergi begitu saja meninggalkan Alina yang kini memanyunkan bibirnya sedih dengan sikap adiknya itu. "Aku harus sama Iyan!" Alina meyakinkan diri dan berlari mengejar Iyan yang kini tampak menuju ruang olahraga. "Lo ngikutin gua?" tanya Iyan malas melihat Alina yang kini berjalan di belakangnya. "Aku mau ambil tas ke kelas kok." alasan Alina karena ini juga jalan menuju kelasnya. Iyan hanya diam dan coba mencueki Alina yang jelas-jelas memang mengikutinya. Namun disaat itu mereka berhenti karena mereka berpapasan dengan Sakya yang sudah menyandang tas untuk pulang dengan santai. "Bang Sakya!" sapa Iyan pada Sakya yang juga berhenti. "Woi Yan, mau pulang lo?" "Mau latihan basket dulu." "Ooh gitu, semangat ya. Gua balik dulu," balas Sakya tapi kini malah berjongkok karena salah satu tali sepatunya lepas. Namun Sakya mengerutkan dahinya mendapati sepasang sepatu dengan tuannya kini sudah ada di depannya, saat ia mendongak ke atas ia mendapati seorang wanita menunduk tersenyum lebar padanya. "Hai!" Alina dengan senyum lebar mengangkat tangannya menyapa Sakya yang masih berjongkok di depannya. Sakya berdiri dan agak mundur untuk membalas senyum dan sapaan Alina, "eum iya, hey." "Jadi gimana?" Sakya melirik Alina bingung dan juga melirik Iyan, "gimana apanya?" "Kamu udah punya pacar? Iyan udah tanyain apa belum? Kalau belum aku yang tanya langsung aja." lancar sekali tanpa ragu Alina bertanya menatap Sakya.  Sakya kaget bukan main, demikianpun dengan Iyan yang tidak menyangka kalau kakaknya bisa senekat ini.  "Hah!?" "Woi Alina! Lo ngapain!?" Iyan menyadarkan Alina dengan cepat.  "Kalau belum punya pacar, aku mau jadi pacar kamu. Kalau udah, mungkin kamu coba pertimbangin lagi milih aku atau pacar kamu yang sekarang." Sakya kaget dan lebih memilih semakin mundur dan melirik Iyan sambil seolah berkata, "Yan, kakak lo kenapa?" "Alina!? Lo g****k apa gimana sih?" Iyan bergerak cepat ke arah Alina memegangi kakaknya itu, "sorry ya bang, kakak gua ini memang kadang suka aneh becandanya. Biasalah otaknya kurang refreshing." Alina mendengus menarik tangannya yang tadi dipegang Iyan, "apaansih, kamu kalau ga mau bantu mending ga usah ganggu." "Tapi lo ngapain sih? Bikin malu gua aja!" Alina tidak peduli dan terus maju ke hadapan Sakya yang terus mundur seperti ketakutan dengan Alina, "jadi gimana?" Sakya tertawa canggung, "apa kamu menyukaiku?" Alina mengangguk yakin, "ya! Aku menyukaimu sejak kita baru kenal." "Tapi aku ini Sakya, dan kamu Alina! Kita berbeda sekali." "Ya, kamu memang Sakya dan aku Alina. Alina menyukai Sakya, apa Sakya mau nerima Alina?" Iyan sudah tepuk jidat melihat perlakuan kakaknya, terlebih kakaknya itu menatap Sakya serius menungggu jawaban yang membuat Sakya tentu kebingungan garuk kepala ditembak gadis secara tiba-tiba, yang mana ini bukanlah gadis biasa, tapi Alina si cewek teladan, terkenal satu sekolahan.  "Maaf ya bang, kakak gua ini lagi sakit." Iyan minta maaf dan menarik Alina untuk pergi dari hadapan Sakya.  Tapi Alina terus mencoba bertahan namun Iyan tentu jauh lebih kuat untuk menariknya pergi dari hadapan Sakya.  "Sakyaaaa!! Sakya belum punya pacar kan!? Jadi pacar Alina aja!!" Alina terus berusaha melihat Sakya dan berteriak walaupun Iyan terus menarik-narik dirinya untuk pergi secara paksa. "Woi Alina! Lo ngapain sih!" Iyan benar-benar kesal karena sungguh malu didepan Sakya karena kakaknya ini. Sedangkan Sakya yang melihat itu hanya tertawa sambil geleng-geleng kepala melihatnya lalu berlalu begitu saja dan menganggap semuanya sebagai hal yang lucu.  * Iyan akhirnya melepaskan Alina setelah sampai di depan kelas Alina yang sudah sepi karena sebagian anak-anak sudah pulang.  "Ih Iyan apa-apaan sih? Kan Sakya nya belum jawab!" kesal Alina sudah akan lari lagi mengejar Sakya.  "Lo kenapa sih Lin? Gila ya lo?" Iyan menahan Alina untuk tidak kemana-mana.  "Iya aku tergila-gila sama Sakya." "Lo begini malah bikin orang takut, lo sih dari dulu ga ngerti masalah cinta-cintaan, taunya cuma belajar doang." "Emangnya salah? Kalau suka ya tinggal bilang kan? Kalau diam aja ya dia ga akan tahu. Manusia bukan makhluk yang bisa tahu pemikiran manusia lain tanpa komunikasi." Iyan memutar bola matanya malas, "iya gua tahu, tapi ya ga gini juga kali Alina! Lo belum begitu kenal sama Bang Sakya, begitu juga Bang Sakya, yang ada sikap lo ini malah bikin Bang Sakya ilfeel dan nganggap lo cewek aneh walaupun lo emang aneh." Mendengar ucapan Iyan membuat bibir Alina membentuk lengkungan ke bawah, "kok Iyan ngomong gitu?" "Makanya lo jangan gitu. Lo deketin Sakya nya baik-baik, jangan brutal kayak tadi." Alina hanya menarik sudut bibirnya berpikir namun berakhir menghela napas pendek, "jadi sekarang kamu ga jadi latihan basket kan? Ayo pulang!" Iyan tersadar, "tuh kan lo, harusnya gua bisa istirahat sebentar sebelum latihan. Udahlah gua mau siap-siap dulu. Lo pulang aja sana." "Aku nungguin kamu sampai selesai." "Lo pasti bosen." "Nggak kok, aku bisa ngerjain yang lain. Pokoknya aku pulang sama kamu. Aku bakal kasih tahu mama kalau nanti pulang sama kamu. Papa hari ini pulang malam kok." "Dah lah, terserah lo aja," Iya menyerah dan memutuskan meninggalkan Alina begitu saja karena ia akan bersiap-siap untuk latihan basket, "satu  lagi, lo jangan nyari Bang Sakya habis ini! Awas ya lo bikin malu gua lagi."   * Sesuai dengan apa yang ia katakan, Alina kini duduk di salah satu tempat duduk memperhatikan lapangan basket yang diisi oleh tim basket yang kini sibuk latihan. Senyum Alina terbentuk saat melihat Iyan yang tampak sangat keren dan terlihat jelas kalau ia adalah pemimpin dari tim itu.  Sejak dulu, bagi Alina adiknya adalah adik yang sangat keren. Iyan selalu menjadi pusat perhatian saat olahraga apapun dan saat mereka kecil dulu, Iyan bukan berlagak sebagai adik, melainkan kakak yang selalu melindungi Alina yang cukup penakut dan cengeng. Iyan adalah orang yang sangat hangat dan baik. Tapi semuanya berubah sejak Iyan memutuskan untuk tidak ingin satu SMP dengan Alina, sikapnya mulai berubah keras dan terkesan terus membangkang pada orang tua mereka.  Alina merasa sedih karena semua seolah terjadi karenanya, orang tua mereka selalu membanding-bandingkan Iyan dengan dirinya yang tentu membuat Iyan sangat tidak suka dan seolah terus mencari masalah sebagai bentuk perlawanan, bahkan sejak itu Iyan tidak pernah memanggil dirinya 'kakak' lagi. Walau awalnya sedih, tapi Alina yakin itu hanyalah bentuk perlawanan saja dan demi membuat orang tua mereka sakit hati. Dibalik itu Alina tahu kalau Iyan masih menyayanginya sebagai saudara. Seperti rasa sayang Alina pada Iyan yang tak pernah berubah.  Gadis yang melapisi seragamnya dengan jaket hitam itu melihat lagi buku yang ia pegang untuk dibaca demi menunggu Iyan. Namun disaat itu ia merasakan ada seseorang yang ikut duduk disebelahnya. Alina melirik dan mendapati pria yang juga berseragam ada disebelahnya.  "Kamu nonton orang main basket sampai jam segini?" tanya pria itu pada Alina. Alina mengangguk kecil, "aku nungguin mereka selesai." "Siapa? Pacar?" "Iyan." Pria itu tertawa, "oh iya, ada Iyan dan ia baru saja diangkat menjadi kapten kan? Dia keren seperti biasanya." Alina tidak menjawab banyak dan memilih untuk diam saja tak begitu ingin mempedulikan pria disebelahnya itu.  Pria berkulit putih dan hidung mancung itu menyisir ke belakang rambutnya dengan jari-jari melirik Alina, "Alina tentunya masih tidak ingin pacaran kan?" "Aku sudah punya." Pria itu kaget dan tak percaya, "benarkah? Siapa? Tidak mungkin, kamu pasti berbohong." "Memangnya kenapa?" Pria itu menggeleng, "ga mungkin. Apa dia dari sekolah ini?" "Iya." "Siapa memangnya? Bahkan aku saja belum bisa dapatin hati kamu." "Kenapa patokannya harus kamu?" Alina menoleh dengan wajah penasaran.  "Kamu Alina dan aku Rendi, dua orang terbaik di sekolah ini dan semua orang tahu itu." "Lalu?" Rendi menghembuskan napas kesal, "Alina, aku udah ngejar-ngejar kamu dari dulu tapi kenapa sedikitpun kamu ga mau lihat itu? Kalau aku saja siswa terbaik sekolah ini ga bisa bikin mata kamu terbuka, siapa lagi memangnya yang bisa?" Alina memalingkan wajahnya malas, "memangnya kalau anak terbaik harus bersama anak terbaik? Aku udah nganggap kamu sebagai teman seperjuangan, tapi aku tahu kok kamu nganggap aku saingan." "Saingan? Siapa bilang?" "Udah deh Ren, aku tahu kamu kesal saat aku memenangkan juara juara baru. Padahal kita di bidang yang berbeda tapi kamu malah seperti itu." Alina menghembuskan napas pelan sambil tertawa kecil.  "Bukan begitu, aku hanya berusaha untuk lebih baik dari kamu dengan harapan kamu bisa lebih perhatiin aku Lin. Tapi nyatanya kamu terus lebih baik dan lebih baik semakin sulit dijangkau." "Udah ya Ren, kita nggak usah bahas ini. Pertemanan kita sudah cukup baik pada awalnya." "Tapi Lin, boleh aku tahu siapa orang yang berhasil narik perhatian kamu?" Alina terdiam sambil menatap kosong buku yang ia pegang, "aku tidak bisa beritahu karena aku belum bisa menarik perhatiannya." "Apa!? Tidak mungkin." "Sepertinya sudah selesai, aku ke tempat Iyan dulu ya Ren, bye!" Alina bergerak merapikan tasnya dan sudah pergi begitu saja meninggalkan Rendi yang tampak mengepalkan tangannya diam-diam. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD