CHAPTER FOUR

1413 Words
“Semua orang memang takut sama kamu, tapi bukan berarti salah satunya aku.” . . "Dia siapa, sih, Gas?" tanya Alika. "Yang mana? Yang cantik tadi? Atau yang galak?" sahut Bagas sambil memakan wafer milik Galih. Sang pemilik asli wafer itu malah sibuk mengeluarkan isi spidol kelas dan mengganti tintanya dengan tinta berwarna. "Emangnya ada yang lebih cantik dari gue?" Bagas mengangguk, "Ada—namanya Cia. Dia cantik banget, sumpah." Alika mengepalkan tangannya dan memukul meja dengan keras, membuat Galih yang sedang serius memasukkan tinta terkejut sampai tinta itu menyiprat ke seragamnya. "Gak ada yang lebih cantik dari gue! Lo juga gak boleh bilang dia cantik! Pokoknya cuma gue!" teriak Alika, membuat Bagas harus menutup telinga dengan tangannya. "Alika! Lo manusia apa lumba-lumba, sih? Teriaknya biasa aja kali. Pecah gendang telinga gue. Lo mau ganti? Mahal nih ... gak ada yang punya gendang telinga kaya gue," sungut Galih, "Lihat, nih! Baju gue juga kena tinta." Alika mengambil ponselnya dan berniat pergi, tapi dengan cepat Bagas mencegahnya. "Mau ke mana, lo, Nyai?" "Buat perhitungan sama Cia!" seru Alika, menggebu-gebu. Dilihat dari ekspresi Alika, Bagas bisa menebak apa yang akan terjadi selanjutnya. Sebelum itu terjadi dan meresahkan satu sekolah, lebih baik Bagas mencegahnya. "Gaya banget, lo, buat perhitungan. Ngehitung keliling segitiga aja gak bisa. Diem aja sini lo! Mau gue bilangin Alfaro?" Mendengar nama itu disebut, Alika menghela napas dan kembali duduk di kursi dengan wajah ditekuk dan bibir mengerucut. Kalau sudah urusan Alfaro, Alika tidak bisa bergerak. Salah satu tugas hidupnya adalah menjaga image di depan Alfaro. Menjadi cewek baik, pendiam, dan sopan. Entah sudah berapa banyak kesabaran dan emosi yang Alika pendam hanya karena tidak ingin Alfaro menganggapnya cewek bringas dan kasar. Padahal, seperti itulah kenyataannya. "Nah, diem, lo, kalo soal Alfaro. Dasar bucin!" "b***k cinta," sambung Galih. "Bubuk micin!" koreksi Bagas. Alika hanya bisa memutar bola mata malas. *** Cia melempar tasnya ke kasur bersamaan dengan tubuhnya. Cia memejamkan matanya, berusaha menghilangkan pening kepala karena pelajaran yang luar biasa membuat otak kecil Cia overload. Untung saja, hari-hari sekolah cepat berakhir. Jika dipikir-pikir, Bandung adalah tempat ternyaman dibandingkan Jakarta. Lingkungan, sekolah, dan orang-orang disekitarnya, benar-benar bertolak belakang. Untung saja, ia bertemu teman yang sangat baik seperti Ana dan Katie. Cia mengganti seragam sekolahnya dengan kaos hitam dan celana jeans sepaha. Ia berlari menuruni tangga, menghampiri Galang sang kakak yang sedang asik menonton drama korea favoritnya. Jangan salah, Kakaknya itu adalah pecinta drama korea. Meskipun Galang adalah sosok laki-laki maco dan gagah, tapi di rumah, dia hanyalah fanboy garis keras yang suka sekali menonton drama. Sejujurnya, karena Cia lah Galang menyukai drama Korea. Sejak SMP, Cia suka sekali dengan Korea. Setiap liburan, Cia selalu marathon drama. Karena Cia bukan tipe orang yang suka menonton sendiri, jadilah Galang sebagai teman nontonnya dan malah membuat cowok berwajah tampan dan bermata sipit itu mengikuti jejak Cia, pecinta korea. Jangan salahkan Cia, ya. "Kak Galang—" panggil Cia yang baru saja datang. Yang dipanggil masih serius menatap layar persegi itu dengan wajah serius. "Kak Galang, ih! Cia manggil itu jawab, dong!" Galang menoleh ke arah adik perempuannya sekilas, kemudian menatap layar persegi itu lagi. "Kenapa?" "Cia mau nanya—" kata Cia sambil memainkan ujung bantal, "Tapi Kak Galang harus janji, gak boleh nanya macem-macem dulu sebelum Cia selesai ngomong." "Iya—" sahut Galang tanpa mengalihkan pandangannya dari tv. "Kak Galanggg—" rengek Cia. "Iya, Kakak dengerin, kok. Mau nanya apa, sih?" "Engg—ada gak, sih, Kak, cowok ganteng yang gak suka cewek cantik?" Galang mengupas kacangnya, "Ada. Cowok homo," jawab Galang seadanya. "Tapi dia tuh gak homo, Kak." "Berarti dia tunanetra." "Kak Galang, serius, ih!" "Ini udah serius, mau serius yang kayak gimana lagi, sih, Gracia?" "Dia itu gak homo. Aku tahu aja, pas lihat wajahnya, dia gak kelihatan seperti orang yang suka sesama jenis. Tapi dia emang beneran gak suka cewek kali, ya." Cia ikut mengupas kulit kacang dan memakannya sambil melihat drama yang ditonton Galang. "Kalo cowok tiba-tiba datengin kita dan gangguin tanpa sebab, terus tiba-tiba kasih pertanyaan soal parfum yang aku pakai, padahal sama sekali gak ada urusannya sama dia, itu apa artinya?" Galang mengunyah kacangnya, "Cuma ada dua arti ...." kali ini, cowok bermata sipit itu menatap adiknya dengan serius, "Pertama, dia tertarik sama kamu. Kedua, ada sesuatu dari kamu yang menarik perhatiaanya." Cia mengerutkan dahinya, menatap sang Kakak yang kembali fokus menonton dramanya. "Ya, mungkin aja dia tertarik sama parfum kamu, makanya dia nanya, kali aja dia mau beli samaan. Positive thingking, lah." "Gak mungkin, cuma karena parfum, dia sampai ngancam aku dan ngatain aku cewek murahan." Mendengar itu, Galang melebarkan matanya dan menatap adiknya serius. "Siapa orangnya? Siapa yang bilang kamu cewek murahan? Huh?!" Cia menghela napasnya, kemudian mengunyah lagi kacangnya. "Kepo, ih. Kakak gak usah tahu. Nanti urusannya lebih panjang dari drama Korea. Kakak mah, lebay!" Cia bangkit, memutuskan untuk kembali ke kamar. Lebih baik, ia tidur agar bisa bangun lebih awal besok. Sebelum tidur, Cia menyempatkan melihat ponselnya. Banyak sekali notifikasi dari grup kelas yang membicarakan hal-hal tidak penting. Sepertinya, grup kelas adalah tempat lain bagi para cewek-cewek untuk merumpikan hal-hal biasa menjadi luar biasa. Cia sudah tidak asing lagi. Namun, matanya menangkap sebuah pesan dari seseorang. 0859xxxx Seriusan mau ikut orja? Bisa kasih alasan selain karena suka bunga yang mungkin bikin aku bisa mempertimbangkan kamu? Gak dibalas sekarang juga gapapa. Kamu bisa balas kapan aja. Aku gak sesibuk Taehyung BTS yang hp-nya dipegangi manager. -Barga- Cia mengabaikan pesan itu, kemudian membaringkan tubuhnya, menarik selimut sampai ke d**a dan memejamkan matanya. Alasan aku ingin ikut orja? *** Alfaro melempar tasnya asal, kemudian menghidupkan pendingin ruangan. Cowok itu langsung memegang ponselnya, sekadar melihat pesan atau panggilan-panggilan yang ia hiraukan. Alfaro memang tidak pernah menyalakan ponselnya ketika di sekolah. Ia malas saja jika terus mendapat notifikasi dari nomor-nomor asing dengan pesan-pesan aneh. Ya, ia sangat tahu bahwa ia sendiri populer dan punya banyak penggemar. Namun, sebutan dirinya yang tidak menyukai cewek cantik juga membuat beberapa cewek juga menjauhinya karena takut. "Gak suka cewek cantik," gumam Alfaro, sambil menatap langit-langit kamar. "Mama cantik, Nenek juga. Bi Asih juga pasti dulunya cantik." Alfaro memejamkan matanya. "Dan gue suka mereka," sambungnya. Alfaro mengambil jaketnya yang pernah dipakai Cia. Ia mendekatkan ke hidung kemudian menghirupnya. Aroma parfum itu masih ada, hanya saja tidak seharum kemarin. Sepertinya, aroma parfum itu tidak akan bertahan lama di jaketnya. Kalau aroma itu hilang, bagaimana ia bisa tidur senyenyak kemarin dan hari ini? Dan yang masih menggangu pikirannya adalah bagaimana mungkin Cia memiliki parfum itu. Parfum itu hanya ada satu dan itu adalah racikan Mamanya sendiri. Tidak ada satupun yang bisa meracik sesempurna buatan Mamanya. Itu mustahil. Bahkan pembuat parfum terkenal di dunia saja tidak mampu meracik parfum semirip buatan Mamanya. Aroma manis dan harum bunga mawar. Persis seperti itu. Alfaro sangat tahu parfum itu, itu adalah parfum yang dibuat Mamanya untuk dipakai di acara ulang tahun pernikahan kedua orang tuanya. Mamanya bilang, parfum itu dibuat khusus dengan resep khusus. Tidak ada yang akan memiliki parfum ini selain Mamanya. Mamanya memang seorang direktur dari perusahaan parfum terbesar di Asia. Namun, Mamanya meninggal karena kebakaran yang terjadi 2 tahun lalu. Saat gedung perusahaan Mamanya terbakar habis oleh api. Seandainya Alfaro datang tepat waktu. Seandainya ia tidak pergi malam itu. Sampai saat ini, Alfaro selalu menyalahkan dirinya sendiri. Ia selalu bermimpi tentang kejadian malam itu. Itu sebabnya Alfaro mengalami imsomnia. Bisa bayangkan betapa terkejutnya Alfaro saat mencium aroma itu lagi dari Cia? Memangnya siapa cewek itu? Kenapa dia bisa memiliki parfum itu? Alfaro menatap lagi ponselnya, kemudian menacari nomor Galih. Halo, sayang. Mau jalan-jalan sama Abang? "Jijik gue." Terdengar suara tawa dari seberang telepon. Kenapa? Tumbennya lo nelepon gue duluan? "Gue mau minta bantuan lo. Cari alamat Cia, terus kasih ke gue. Gak pake lama, pokoknya besok harus kasih tahu gue! Gak ada penolakan atau lo gue aduin ke bokap lo, kalo lo sering pergi ke—" Belum sempat Alfaro melanjutkan ucapannya, Galih langsung menyetujui. Mudah sekali mengancam Galih. Oke, besok gue kasih tahu lo. Serahkan semuanya kepada Mamang Galih yang gantengnya kaya Verrel Bramasta. Alfaro memutar bola matanya, "Lih. Gue saranin lo pergi ke THT. Periksa tuh otak lo, kayaknya udah masa tenggang." Hellaw, THT apa hubungannya sama otak gue? "Terserah!" Alfaro memutus panggilannya, kemudian mengambil lagi jaketnya dan memeluknya. Ia mencoba untuk tertidur. Semoga saja, ia bisa mendapatkan jawaban itu. Cia ... Gue mohon, kasih tahu gue sebelum gue terpaksa bertindak jahat ke lo. Karena jujur, gue gak suka jahatin orang kaya lo. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD