CHAPTER FIVE

2597 Words
“Kamu dan pikiranku itu sama. Sama-sama tidak aku mengerti.” . . "Nih, alamat Cia. Gue dapet dari buku data siswa di kantor. Butuh pengorbanan, nih, gue!" kata Galih, menyodorkan kertas berisi alamat Cia ke meja Alfaro. "Gimana bisa lo masuk kantor? Gimana bisa juga, Cia udah masuk daftar siswa di sini padahal dia baru masuk 3 hari lalu?" "Ya lo kan tahu, Al. Sekolah kita itu, Gercep." Alfaro mengambil kertas itu. Ia melihat alamat rumah Cia beberapa detik, kemudian memasukkannya ke dalam saku. Sejujurnya Galih penasaran dengan alasan Alfaro meminta alamat Cia. Alfaro bukan tipe cowok yang sampai akan mencari alamat rumah mangsanya. Ini adalah sesuatu yang harus dipertanyakan. "Buat apa, sih, lo nyari alamat Cia? Mau ngapel?" "Gak ada. Gue cuma mau tahu alamatnya aja. Salah?" kali ini, Alfaro berhasil membuat Galih bungkam. Galih memilih kembali ke tempat duduknya ketimbang menanyai Alfaro yang sudah tentu jawabannya akan sama. "Salah?". Galih sudah terbiasa mendengar kata itu dari seseorang yang selalu benar seperti Alfaro. Alfaro mengambil ponselnya, kemudian bangkit dari duduknya dan pergi keluar. Ia berjalan menuju kelas A. Kelas itu terlihat sepi karena memang kelas A sedang ada praktik Biologi. Alfaro melihat kiri-kanan, memastikan tidak ada orang selain dia, kemudian ia masuk ke dalam. Ia mengerahkan pandangannya mencari meja Cia. Kemudian ia melihat sebuah tas berwarna biru muda, yang ia yakini adalaha milik Cia. Tentu saja ia tahu. Bukan hanya sekali Alfaro memerhatikan cewek itu. Cowok jangkung itu membuka tas Cia, mencari sesuatu yang sangat ingin ia lihat sejak kemarin. Ia bahkan mengeluarkan semua isinya. Tidak ada apapun, hanya ada beberapa buku, tempat pensil dan sapu tangan. Alfaro mengusap wajahnya, kemudian menghela napas, "Gak ada di tasnya," gumamnya. Kemudian matanya berhenti pada sebuah buku berukuran sedang berwarna biru muda dengan nama Gracia di bagian depan. Alfaro begitu tertarik. Ia mengambil buku itu. Baru saja ia akan membukanya, suara anak-anak yang sedang mengobrol terdengar jelas menuju ke kelas. Alfaro langsung memasukkan kembali barang-barang Cia ke dalam tas. Namun, tidak dengan satu barang. Alfaro mengambil buku biru muda itu dan pergi secepatnya. Namun, saat Alfaro baru saja keluar, ia sempat beradu pandang dengan Cia selama beberapa detik, kemudian Alfaro pergi dengan santainya. Cia dan teman-temannya masuk ke dalam kelas tanpa curiga sama sekali. "Baguslah, mereka gak curiga," gumam Alfaro, sambil tersenyum melihat buku biru muda yang menarik itu di tangannya. "Setidaknya, gue punya sesuatu yang mungkin penting buat dia." *** Alfaro duduk di bawah pohon, membuka kancing baju teratasnya, membuatnya terbuka karena tertiup angin. Matanya fokus menatap buku di tangannya. Ia tidak ragu membukanya. Gracia Aureli "Nama yang bagus," gumam Alfaro tanpa sadar. Ia membuka selembar demi selembar. Hanya ada puisi dan kutipan-kutipan. Tidak ada yang aneh dari buku itu. "Dia suka nulis puisi juga. Pantes aja namanya Gracia." Hingga ia berada di sebuah halaman yang terlipat. Alfaro membukanya dan menemukan sebuah tulisan panjang, dengan tinta merah. Aku rindu kamu ... Aldi. "Aldi?" Kemudian, ia menemukan sebuah foto terselip di sana. Hanya sebuah foto danau dengan perahu kecil. Tidak ada yang aneh. Alfaro menaruh lagi foto itu dan memasukan buku itu ke dalam tasnya. Ia terdiam sebentar, lalu mengeluarkan kertas di mana tertulis alamat Cia di sana. Ia menimbang-nimbang apakah ia akan pergi atau tidak. Matanya menangkap sosok Cia yang sedang berjalan bersama Barga. Alfaro bangkit membawa tasnya dan berjalan menghampiri mereka berdua. Sepertinya, mereka sedang membicarakan sesuatu. Tentu saja, Barga sedang memberitahu bahwa Cia sudah diterima di Orja dengan mengirim alasannya lewat surat pada Barga. Cia benar-benar senang, karena bisa diterima di organisasi itu. "Besok, kamu udah boleh gabung sama kita. Setiap istirahat, kita ngadain rapat. Kamu harus datang, ya." "Oke. Makasih, ya, Ga." "Anything for u. Oh, ya. Pulang bareng aku aja, yuk. Mau?" Alfaro yang baru saja datang langsung menarik tangan Cia membuat cewek itu berada di sampingnya. "Cia pulang bareng gue." Cia membulatkan matanya. Ada apa dengan cowok yang satu ini? Kenapa tiba-tiba datang dan berbicara ngawur? Cia benar-benar tidak habis pikir. "Lo apa-apaan, sih, Al. Dateng-dateng langsung bilang mau nganterin dia pulang? Lo gak inget kemarin lo ngatain dia cewek murahan? Seorang Alfaro mana mau nganterin cewek murahan? Ah, ralat. Seorang Alfaro mana mau nganterin cewek?" Alfaro mengepalkan tangannya, ia berusaha terlihat tenang. "Sejak kapan, lo mau berurusan sama gue? Biasanya lo paling masa bodo. Apa karena lo suka Cia?" Pertanyaan itu membuat Barga mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosinya karena ia bukan tipe cowok yang suka mencari masalah apalagi membuat keributan. Barga memang tidak suka berurusan dengan Alfaro. Tapi karena Cia ... Harus diakui bahwa Barga memang menyukai cewek bermata cokelat itu. Oleh karena itu, Barga tidak suka Alfaro menjadikan Cia sebagai bahan siksaannya. Tidak akan pernah. "Lo diam? Berarti gue bener. Lo suka Cia." Cia menatap Barga, mencari tahu apakah yang dikatakan Alfaro benar atau tidak. Barga tidak menjawab. Ia hanya membuat ekspresi tidak suka dan Cia bisa melihat Barga terus mengepalkan tangannya, membuat urat-uratnya terlihat. "Gue cuma mau antar Cia pulang. Tenang aja, cewek lo ini gak akan gue makan. Lagipula, dia masih punya hutang ke gue. Jadi, dia gak bisa nolak. Ya kan?" Alfaro melirik Cia. Cewek itu ragu-ragu untuk menjawab. Lagipula, Cia memang penasaran dengan Alfaro. Ia ingin tahu alasan Alfaro selalu mengincarnya. Ia harus menanyakan hal itu. Tapi tidak mungkin jika melakukannya di sekolah. Lebih baik, ia menuruti Alfaro saja. Toh, jika Alfaro macam-macam, ponsel Cia sudah diberikan alat pelacak oleh sang Kakak. Jadi, ia tidak perlu khawatir jika Alfaro mengajaknya ke suatu tempat dan meninggalkannya di sana. Tapi, tidak mungkin Alfaro melakukan itu. Cia tahu, Alfaro bukanlah orang sejahat yang orang-orang katakan. Buktinya, lihatlah tangan Alfaro masih menggenggam tangan Cia dengan sempurna. Tidak mencengkram atau membuat tangan mungil itu sakit. Memang perumpamaan bodoh, jika Cia mengaitkan genggaman tangan itu dengan sikap Alfaro. Pokoknya, Cia yakin Alfaro tidak sejahat itu. "Aku sama Alfaro aja, Ga. Makasih, ya. Besok aku ikut rapat, kok." Alfaro tersenyum senang. Ia bisa melihat Barga benar-benar marah sekarang. Barga menghela napas, kemudian mengangguk. "Yaudah. Kalo dia macam-macam, kamu bisa hubungi aku." Barga menatap Alfaro sinis, "Aku gak percaya sama cowok gila kaya dia." Alfaro tersenyum sinis, kemudian mengajak Cia pergi dari sana. Barga menatap kepergian mereka dengan mata memerah. "Gue pastikan, lo gak bisa nyakitin Cia. Hidup gue taruhannya." Cia dan Alfaro berhenti di sebuah motor merah yang terparkir didekat gerbang. Cia mengerutkan dahinya. Ia merasa tidak asing dengan motor itu. Seperti pernah melihatnya. Tapi, di mana? Cia mencoba mengingat-ingat kembali, sampai akhirnya ia mengingat kejadian saat hari pertama sekolah. Ia tersesat dan terjatuh, kemudian sebuah motor merah berhenti di hadapannya dan muncul seseorang yang menolongnya. Perlahan, wajah orang itu terlihat dari balik cahaya. Dia Alfaro. Jadi, apa yang menolongnya waktu itu adalah Alfaro? Bagaimana bisa? Alfaro melihat Cia yang terdiam dengan helm yang di tangannya. Cowok itu menghela napas. "Gue ngasih helm buat dipake, bukan dipegang!" Kata Alfaro, ketus. "Kamu ... Motor ini?" Alfaro mengambil helm itu, kemudian memakaikannya pada Cia. Cia membeku sesaat, matanya bertemu dengan mata biru Alfaro. Ia bisa melihat wajah Alfaro dengan jarak yang begitu dekat. Jantungnya berpacu, membuatnya pipinya memanas dan napasnya tak teratur. Alfaro bisa melihat wajah tegang itu. "Lo masih berpikiran kalo gue bakal bawa lo ke dalam hutan, terus ninggalin lo di sana sampai di makan harimau?" tanya Alfaro, menebak ekspresi tegang Cia. Cia menggelangkan kepalanya. Ia ingin bertanya soal kejadian malam itu. Apakah itu benar-benar Alfaro? Tapi ia masih ragu. Akhirnya, ia memutuskan untuk tetap diam. "Yaudah, ayo. Nanti keburu sore." Cia mengangguk, kemudian naik ke motor ninja merah itu. Alfaro menghidupkan mesinnya. Cia refleks memegang jaket Alfaro. Cowok itu melirik sebentar. "Gak usah pegangan. Gue bawanya pelan, kok," katanya, ketus. Cia melepaskan pegangannya dan menggigit bibir bawahnya. Kenapa juga harus refleks memegang jaket Alfaro? Bikin malu aja. Motor itu melaju meninggalkan sekolah. Alika yang baru saja akan memasuki mobilnya membulatkan mata saat melihat Alfaro dan Cia pulang bersama. Mulutnya terbuka lebar. "Mereka? Ngapain pulang bareng? Gue aja gak pernah diajak naik motor sama Alfaro. Gak bisa dibiarin!" "Sikat aja, Ka. Cewek kaya dia musti dikasih pelajaran supaya dia sadar kalo Alfaro gak cocok sama cewek model kaya dia. Cantik-cantik sok polos. Palingan dia sengaja atau jangan-jangan dia pake pelet?" sahut Aurel "Iya. Secara, Alfaro bukan tipe cowok yang mau gonceng cewek. Fix, dia pake pelet." Alika mengepalkan tangannya, "Lo lihat aja. Dia akan menyesal, karena udah bikin gue marah!" *** Keduanya hanya diam, tidak ada yang memulai pembicaraan. Rasanya canggung bagi Cia, namun biasa saja bagi Alfaro. Cia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Dan yang paling pasti, ia masih belum hapal alamat rumahnya. Cia mengambil ponselnya di tas untuk menanyakan alamat pada kakaknya, namun baru saja ia manyalakannya, batrenya habis dan kemudian mati. Astaga, kenapa s**l sekali. Bagaimana cara ia mengatakan pada Alfaro? Alfaro bisa melihat wajah gelisah Cia dari kaca spion. Tapi, ia diam saja. "Engg, Al—" panggil Cia, ragu. "Apa?" jawab Alfaro sedikit berteriak. "Aku ... Aku gak ingat." "Hah? Lo ngomong apa?" ulang Alfaro. Ia tidak bisa mendengar Cia karena sedang berada di motor. Suara Cia tidak dapat terdengar. Akhirnya Alfaro meminggirkan motornya. "Lo ngomong apa tadi?" tanyanya lagi. "Aku ... Aku gak inget alamat rumah," jawab Cia, dengan gugup. Alfaro menghela napas. Ia tidak mungkin mengatakan bahwa ia tahu alamat rumah Cia. Pasti cewek itu akan mengira macam-macam. Akhirnya, Alfaro berpura-pura tidak tahu. "Lo gimana, sih? Rumah sendiri aja gak tahu." "Ak—aku, kan, baru tinggal di Jakarta. Masih belum ingat. Terus hp aku juga mati. Aku lupa bawa charger. Jadi, gak bisa nanya alamat." "Pake hp gue." Alfaro mengeluarkan ponselnya, namun Cia malah menundukkan wajahnya. "Gak ingat nomornya," katanya, dengan suara yang agak pelan. "Yaudah." Alfaro kembali menyalakan motornya. Cia kebingungan. "Kita mau ke mana?" "Ke rumah gue." hanya satu jawaban dan Cia tidak bisa menjawab apa-apa lagi. Setidaknya, ia bisa meminjam charger dan mengisi daya ponselnya. Tapi ... Rumah Alfaro? Yang benar saja. Mereka sampai di sebuah gerbang besar berwarna hitam. Gerbang itu terbuka dan seorang satpam membungkuk hormat kepada Alfaro, mempersilakan masuk. Mau tak mau, Cia ikut tersenyum yang dibalas senyuman dari satpam itu. Mereka melewati sebuah taman besar dengan kolam air raksasa dibagian tengah. Sebuah rumah mewah berwarna abu-abu berdiri tegak di sana. Rumah dengan gaya Eropa yang elegan. Mereka berhenti di sana. Cia turun lebih dulu dan memberikan helm itu pada Alfaro. Rumah ini bukan rumah yang ia datangi malam itu. Rumah yang ia datangi tidak besar, meskipun tetap mewah. Apa Alfaro punya banyak rumah? Cia berjalan di belakang Alfaro. Saat memasuki ruang tengah, ruangan itu benar-benar luas, seperti lapangan di belakang sekolah. Hiasan dan guci-guci mahal juga tertata rapih di sana. Namun, Cia sama sekali tidak terkejut melihatnya. Karena rumah Alfaro dan rumahnya tidak jauh berbeda. Alfaro melirik ke arah Cia yang berekspresi biasa saja. Biasanya, setiap kali ia mengajak temannya, mereka akan takjub dengan rumah mewahnya ini. "Lo gak bereaksi apa-apa?" tanya Alfaro. Cia mengangkat kepalanya dan mengerutkan dahinya, "Hah? Bereaksi apa?" "Bereaksi ngelihat rumah gue. Lo gak takjub?" "Biasa aja." Jawaban itu membuat Alfaro takjub. "Kayaknya lo juga sekaya gue. Jadi, biasa aja ngelihatnya." Cia masih tidak mengerti apa maksud ucapan Alfaro. Cowok itu memang sengaja mengajak Cia ke rumahnya yang besar ini. Ia hanya ingin tahu ekspresi Cia melihat rumah mewahnya. Tapi, tidak sesuai harapan karena Cia terlihat biasa saja. Baguslah, berarti sekarang ia tahu satu hal tentang Cia. Cewek itu dari keluarga kaya. Semua anak Salazard memang tergolong anak-anak orang kaya, tapi ada beberapa yang tingkatnya leih tinggi seperti keluarga Alfaro dan sekarang ada keluarga Cia. Cia duduk di sofa, menunggu Alfaro yang sedang meng-charger ponselnya. Ia melihat sebuah majalah di meja. Ia mengambilnya dan membacanya. Sebuah majalah tentang kecantikan. Menarik sekali. Tapi, Cia tidak suka berdandan. Ia lebih suka yang natural saja. Alfaro kembali membawa dua gelas jus dan beberapa kue. Ia meletakkannya di atas meja. "Nih, minum. Gak gue kasih racun. Jadi gak usah takut mati." Cia mengambil jus itu dan meminumnya. "Kamu tinggal di sini? Sendiri? Kok aku gak lihat siapa-siapa?" tanya Cia, membuka pembicaraan diantara mereka. "Sejak kapan lo jadi kepo sama kehidupan gue?" Ah, Cia menyesali pertanyaannya. Seharusnya ia tidak usah bertanya tadi. Tapi, setelah itu, Alfaro menghela napas dan mulai bicara. "Enggak. Gue tinggal di komplek. Ini rumah bokap gue. Bokap gue emang jarang di rumah. Dia selalu bolak-balik beberapa negara. Di rumah ini ada nyokap tiri gue dan anaknya. Tapi, nyokap tiri gue pasti lagi keluar sama temen-temennya. Dan Aliya, dia lagi les piano. Mereka emang gak peduli sama anak-anak mereka di rumah. Makanya gue gak suka tinggal di sini." "Ibu tiri? Emangnya Ibu kandung kamu ke mana?" tanya Cia yang mulai penasaran dengan cerita Alfaro. Sejujurnya, Alfaro tidak pernah menceritakan pada siapapun tentang keluarganya. Entah kenapa ia malah memberitahu Cia. "Meninggal, dua tahun lalu." Cia menyesal bertanya soal itu. Pasti Alfaro sangat sedih. Cia tidak tahu bahwa kehidupan Alfaro serumit itu. Ia ingin sekali menenangkan cowok itu, namun, ia siapa? Temannya saja bukan. "Gue ngasih tahu lo tentang hal ini bukan berarti lo bisa merasa spesial karena lo satu-satunya orang yang tahu. Gue ngasih tahu lo bukan tanpa alasan. Ini semua ada kaitannya sama parfum yang lo pake. Apa lo gak bisa kasih tahu gue, di mana lo dapet parfum itu? Gue butuh jawaban lo, Cia." Cia menggigit bibir bawahnya. Ia menghela napas sebentar, kemudian menatap Alfaro. "Sejujurnya, aku juga gak tahu di mana aku dapat parfum itu," jawab Cia, jujur. "Lo gak tahu? Gimana bisa lo gak tahu?" tanya Alfaro, frustrasi. "Waktu di Bandung, aku pernah kecelakaan. Itu terjadi 2 tahun lalu juga. Aku sempat lupa ingatan. Aku gak ingat di mana aku dapat parfum itu. Yang aku ingat, seseorang yang ngasih parfum itu ke aku. Aku juga gak ingat wajahnya. Tapi, aku ingat nama panggilanya ... Aldi. Namanya Aldi. Dia ada dibuku diaryku. Itu tulisan aku. Tapi aku bener-bener gak inget dia siapa." Alfaro mengusap wajahnya. Jadi, selama ini usahanya sia-sia? Percuma saja dia menanyai Cia karena cewek itu sendiri tidak ingat. "Kalau boleh tahu, memangnya apa hubungannya parfum itu sama kamu?" Alfaro menghela napasnya, "Itu parfum nyokap kandung gue. Sebelum dia meninggal, dia bikin parfum itu untuk dipakai di acara ulang tahun pernikahannya. Parfum itu cuma ada satu. Gak ada satu orangpun yang bisa membuatnya semirip buatan nyokap gue. Dan mustahil, ada orang yang bisa niru parfum itu. Karena parfum itu dibuat dengan resep yang cuma nyokap gue yang tahu. Dan lo ... Lo adalah orang pertama setelah nyokap gue yang pakai parfum itu. Parfum yang gak pernah bisa lo temukan di mana pun. Sekarang lo ngerti? Gue gak tertarik sama lo. Gue cuma tertarik sama parfum lo. Jadi lo gak usah ge'er," kata Alfaro kembali dengan nada ketusnya. Cia mengangguk saja. Mengiyakan apa yang Alfaro katakan. "Kalau aku bisa caritahu siapa yang kasih parfum itu, apa kamu mau janji satu hal?" tawar Cia. Alfaro sebenarnya malas menanggapinya. Tapi, demi parfum itu, ia akan melakukan apapun. Ia ingin tahu apa hubungannya Aldi yang diceritakan Cia dengan ibunya. Ia harus mencaritahu. "Janji apa?" Cia menatap Alfaro, begitupun sebaliknya. Tatapan mereka terkunci selama beberapa saat. "Jangan jadi jahat lagi. Aku tahu kamu orang baik. Jadi jahat gak akan bisa menyelesaikan semuanya. Kalo kamu bersikap baik, apa yang kamu inginkan pasti akan kamu dapatkan." "Apa jaminannya?" "Aku ... Aku jaminannnya." Mereka berdua saling beradu pandang. Baru pertama kali ini, Alfaro memandang seorang cewek begitu lama. Terakhir kali ia melakukannya adalah 2 tahun lalu. Dengan seseorang. Seseorang yang sangat ia cintai. Seseorang yang mampu membuatnya tersenyum disaat-saat paling pahit. Namun, tidak ada kebahagiaan yang lama untuknya. Semua baginya hanya sebuah angin lalu yang akan pergi. Seperti dia, ibunya, dan mungkin ... Selanjutnya Cia. Siapa yang tahu? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD