Bab 5

1113 Words
Kedua kelopak mata Fiona melebar luas, dan ia segera menutup mulutnya yang ikut menganga tatkala ia membuka pintu kantornya. Alisnya dengan cepat mengernyit tajam saat menyadari jika kondisi kantornya berbeda 180 derajat dari kondisi kantor yang ia tinggalkan sebelumnya. Vas bunga yang ada di atas meja pecah dan tumbuhan serta tanah tersebar ke mana-mana, belum lagi dokumen yang sebelumnya Fiona tata dengan rapi menyeruak ke sana-kemari ke seluruh penjuru ruangan. Sofa yang sebelumnya masih dalam kondisi sangat baik itu sekarang seperti sudah tidak layak pakai. Laci-laci terbuka dan isi yang ada di dalamnya keluar dan berserakan tak keruan. "A-apa yang terjadi di sini?" gumam Fiona tidak percaya. Ia sudah merasa tidak enak saat sang mama, Bella. Menelpon dan memintanya untuk segera pulang. Fiona mengerjap beberapa kali, berharap apa yang ada di depannya dapat kembali berubah menjadi sedia kala seperti sihir, atau seperti seseorang yang bangun dari mimpi buruk. Namun, semuanya tetap bergeming di tempatnya, tetap berantakan dan kacau balau, seperti habis terkena angin topan dan hewan buas. Daripada terlihat seperti kasus pencurian, kantor Fiona terlihat seperti sedang diserang oleh orang yang sedang iseng. Anehnya lagi, CCTV yang mereka pasang sama sekali tidak berfungsi dengan baik. Mata Fiona menoleh pada Kimchi yang ada di belakangnya. Ia meremas bahu pria itu pelan. "Kimchi, kamu tidak apa-apa, kan?" Kimchi yang sedari tadi berada di kantor tersenyum dan menggeleng. "Saya baik-baik saja, kok. Cuma luka ringan saat mencoba melawan mereka." “Tante, Tante tidak kenapa-napa, kan?” Dave bertanya pada Bella yang sepertinya masih shock akan kejadian tadi. Wanita paruh baya itu terus memijat dahinya yang pening. Wajahnya pucat hingga membuat Dave tidak bisa meninggalkan wanita itu untuk berdiri sendiri. “Ta-tante, baik-baik saja, Nak," jawab Bella sedikit tergagap dan mencoba untuk terlihat baik-baik saja, tetapi gagal. Karena jelas terlihat dari gurat wajahnya yang penuh ketakutan. “Apa Tante tahu siapa yang sudah melakukan ini semua?” Sekali lagi Dave melontarkan pertanyaan. Siapa tahu jika dirinya bisa membantu. Bella terdiam sejenak dan mengalihkan matanya dari Dave. Dave menunggunya untuk menjawab, tetapi Bella justru menggeleng lemah. Meskipun begitu, Dave menyadari akan sesuatu, jika Bella menyembunyikan sesuatu dan tidak mau mengungkapkannya. Fiona lantas menarik kasar pergelangan tangan Dave dan sedikit menjauh dari yang lainnya. “Hey, Dave, ini pasti ulah kamu, kan?” tuduh Fiona dengan menunjuk-nunjuk Dave kasar. “Kalau benar ini ulah saya, kenapa juga saya capek-capek mengikut kamu kemari?” ucap Dave. Pria itu tidak memasukkan perkataan Fiona barusan kedalam hatinya karena ia tahu jika kondisi Fiona saat ini sedang tidak baik-baik saja. Dave tahu Fiona pasti akan menuduhnya karena Dave pernah mengancam Fiona jika ia akan meneror Fiona jika tidak menerima kesempatannya untuk bekerja sama melawan Lifia. Namun, Fiona sudah menerima kesepakatannya, jadi untuk apa Dave merusak kantor Fiona? “Lalu kalau bukan kamu siapa lagi?” Fiona menahan nadanya agar tidak bisa didengar oleh sang mama. “Saya bersumpah jika ini semua bukan ulah saya, Fiona. Saya akan cari tahu siapa yang melakukan perbuatan keji ini,” janji Dave. Ia harus membuktikan kalau bukan dirinya yang menjadi biang kerok dari semua kejadian ini. Ini juga bisa jadi cara untuk memperbaiki namanya di depan Fiona. “Kamu tidak usah mengelabui aku, Dave. Dasar penjahat kamu!” ketus Fiona. Wanita itu berbalik badan untuk meninggalkan Dave, tetapi langkahnya terhenti saat pria itu dengan cepat menarik pergelangan tangan Fiona. “Saya tidak akan membela diri, tapi akan saya membuktikan kalau bukan saya yang melakukan semua ini,” bisik Dave di telinga Fiona, lalu segera melepaskan cekalan tangannya dari Fiona. *** “Bagus, kalian sudah melakukan yang terbaik.” ucap seorang pria lansia pada orang di seberang telepon. Klek! Seorang wanita muncul dari balik pintu dan membuat pria itu menjeda teleponnya. Wajah cantik itu terlihat murung. Wanita itu segera berlari ke arah kakeknya dengan manja seolah-olah ia adalah anak kecil. “Kakek!!” jerit satu suara suara cempreng yang langsung menyita penuh perhatian pria lansia itu. “Kalian kembali saja ke markas," sambung pria itu lagi sebelum memutuskan telepon dan lantas melemparkan ponsel mahalnya ke atas meja. Ia tidak peduli, kalaupun rusak, ia bisa beli baru, meski ponselnya saat ini adalah ponsel yang canggih dan tahan banting. Wajah serius pria tua itu segera berubah menjadi senyuman hangat saat menyambut cucu kesayangannya. “Princess-nya Kakek, kenapa, Sayang? Kok wajah kamu ditekuk begitu?” tanya Budi, pria berumur itu, pada sang cucunya, Lifia yang datang bermain ke kediamannya ini, Mansion Utama Prayoga. Pria lansia itu adalah Budi Prayoga. Ia adalah pemilik perusahaan hotel yang terbesar di Indonesia dengan nama ‘Two Seasons’. Budi juga memiliki seorang putra tunggal yang bernama Wahyu Prayoga. Wahyu Prayoga telah menikah dengan seorang wanita pilihan dari Budi dan telah dikaruniai seorang putri yang bernama Lifia Prayoga berusia 26 tahun. “Kek, aku kesal tau!” Lifia merengek dan mengadu pada sang kakek dengan bergelayut manja. “Siapa yang sudah berani membuat princess-nya Kakek kesal? Coba bilang biar Kakek yang beri mereka pelajaran!” ucap Budi sambil mempersilakan cucunya duduk di atas sofa di sampingnya, bukannya berdiri. “Aku tuh kesal sama cewek WO yang bikin event pernikahan Alin di hotel kita itu, Kek," adu Lifia lagi. Kali ini dengan mata yang sudah berkaca-kaca. "Duh, jangan nangis dong, Sayang!" Budi berpikir sebentar dan mencoba mengingat siapa yang tengah menyewa hotelnya sebagai tempat pernikahan. "Maksud kamu WO-nya, Nona Alin?” tanya Budi lagi bagi memastikan tebakanya tepat. “Iyalah, Kek, emang siapa lagi?!" serobot Lifia. Bibirnya sudah maju kedepan beberapa senti. “Kamu tenang saja, Sayang. Biar ini menjadi urusan Kakek. Sekarang kamu tenangin diri saja, ya. tunggu kabar bahagia dari kakek," janji Budi pada cucu kesayangannya itu. “Kalau begitu, aku pamit ya, Kek, mau ke salon, sementara menunggu kabar bahagia dari kakek. Siapa tau semakin cantik dan bisa bikin Dave jatuh cinta sama aku,” pamit Lifia. Cepat sekali suasana hatinya berubah. Tadinya wajah itu ditekuk sempurna, dan sekarang senyuman penuh kebahagiaan kembali tercetak di wajahnya. "Sayang!" panggil Budi yang membuat Lifia menghentikan langkahnya. "Masa kamu mau pergi dengan tangan kosong, sih? Sini Kakek kasih uang jajan tambahan buat kamu!" Mata Lifia melebar dan berbinar. Ia segera kembali menuju kakeknya dengan cepat. "Ya ampun! Makasih banyak, Kakekku tercinta! Kakek yang terbaik, deh! Padahal uang jajan kemarin masih ada, tapi Lifia memang mau beli tas baru, sih! Makasih ya, Kek!" ucap Lifia sambil mengayun langkah dengan gaya yang seksi. Bunyi hentakan heels-nya menggema memenuhi ruangan. Setelah Lifia menghilang di balik daun pintu, ekspresi wajah Budi kembali serius dan menakutkan. Pria lansia itu mengatup keras rahangnya sehingga kedengaran bunyi giginya yang bergemeretak. “Anak dan ibu sama saja!” desis Budi kesal. Pria lansia itu kembali menggapai ponselnya dan lantas mengirimkan pesan pada seseorang.sebelum melemparkan seringai jahatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD