Bab 3

1638 Words
Pagi datang kembali seperti biasanya. Setelah sarapan bersama ibunya dengan tenang, Fiona segera melanjutkan pekerjaannya. Kali ini, ia disibukkan dengan memilah satu persatu berkas-berkas yang ada di atas meja kerjanya. Ia harus menyiapkan proyek-proyek lain di luar proyek pernikahan Nona Allin. Di tengah kesibukannya itu, konsentrasinya teralihkan saat mendengar pintu kantornya diketuk. Sembari bertanya-tanya siapa yang datang berkunjung, Fiona mempersilahkannya. Biasanya yang akan masuk ke dalam kantornya adalah mamanya atau Kimchi, atau juga sahabatnya. “Masuk saja!” Fiona mengarahkan siapa saja yang berada di balik daun pintu untuk segera masuk. Tanpa menunggu orang itu masuk, Fiona kembali menyibukkan diri dengan berkas-berkasnya. “Selamat pagi, calon istriku. Bagaimana kabarmu hari ini?” ucap satu suara bariton yang asing di telinga Fiona. Wanita itu mengernyit cepat dan Fiona dengan segera ia mengangkat wajahnya saat mendengar kalimat yang biasa diucapkan oleh kekasih pada pujaan hatinya. Namun, Fiona tidak ingat pernah memiliki kekasih, bahkan orang yang menjadi calon suaminya. “Kamu!” Alangkah kagetnya Fiona saat melihat siapa yang sedang berdiri di depannya saat ini. Bola matanya melebar sempurna, menatap pria itu dengan tatapan kaget dan tidak percaya. Sementara itu, pria yang baru masuk itu hanya menyunggingkan senyum lebarnya, seolah-olah Fiona memang kekasih yang akan menjadi calon istrinya. “Halo, Sayang,” jawab pria itu dengan sok ramah, yang justru membuat Fiona merinding saat melihat dan mendengarnya. Fiona menoleh ke sana-kemari. “Kenapa kamu bisa ada di sini?” Fiona tidak ingat pernah memberikan alamatnya pada pria di hadapannya itu. Namun, ia segera tahu jika tidak susah untuk mencari alamat dari Wedding Organizer miliknya dan ibunya. Siapa yang ngasih izin kamu buat masuk ke kantor saya?” pertanyaan yang bakal membuat Fiona menelan salivanya sendiri nantinya.Seharusnya, sebelum mempersilakan orang masuk ke ruangannya, Fiona harus bertanya siapa dulu yang ada di depan pintu. “Duh, bukankah kamu sendiri yang mempersilahkan saya masuk, hmm?” Dave lantas menarik kursi yang berada di hadapan meja kerja Fiona lantas menghempaskan bokongnya di sana sebelum Fiona mengizinkannya. Ia bersikap sangat santai seperti ruang kerja Fiona ini sudah menjadi tempatnya juga. Seketika Fiona meraup kasar wajahnya. Sepertinya hari ini adalah hari yang kurang beruntung untuk Fiona setelah ia melihat kehadiran Dave di sana. Ia tidak pernah menyangka jika Dave akan bisa sampai di tempat kerjanya. Fiona menatap lekat wajah pria di depannya itu saat ini. Iris hazelnya menyapu setiap inci wajah tampan yang bersih dan menawan itu. “Apakah Anda sudah jatuh cinta pada saya Nona Fiona Russell?” Pertanyaan sarkas yang baru saja dilontarkan Dave membuat Fiona tersedak ludahnya sendiri. “Percaya diri sekali, Anda!” seru Fiona lantas memalingkan wajahnya ke samping. Malu sekali rasanya saat ia tertangkap basah sedang memperhatikan wajah pria arogan di depannya itu. Dave sekadar mengangkat kedua belah bahunya tanpa berniat untuk membalas ucapan Fiona barusan. Pria itu kembali membisu. Sementara matanya tidak pernah lepas dari menatap Fiona yang sepertinya sudah salah tingkah dan itu tentu saja membuatnya merasa menang. “Sepertinya, justru Anda yang sudah jatuh cinta dengan saya, ‘kan?” balik Fiona menyerang Dave dengan ucapan yang sama. Ia tersenyum miring, tetapi tidak pernah mengurangi kecantikannya yang begitu alami. Akan tetapi, Fiona harus merasa kecewa karena Dave tidak terlihat tertarik untuk menjawab serangannya. Dave memasang wajah serius dan duduk dengan tegak, lalu berkata, “Bekerjasamalah dengan saya Nona Fiona,” ucap Dave tanpa basa-basi. Senyum seringai Fiona menghilang dengan cepat. Ia kembali menatap pria di depannya dengan serius sembari menunggu kalimat yang selanjutnya yang akan keluar dari bibir Dave. “Pura-puralah menjadi calon istri saya dan saya akan memudahkan segala urusan Anda,” imbuh Dave lagi. Seketika tawa Fiona meledak. Ucapan Dave barusan itu terasa menggelitik telinganya hingga membuat wanita itu tidak bisa menahan tawanya. Rasanya lucu sekali mendengar orang asing tiba-tiba memintanya untuk menjadi calon istri pura-pura dengan tawaran akan memudahkan segala urusan Fiona nantinya. Namun tidak berlangsung lama. “Saya sedang tidak bercanda, Nona.” Dave bersuara tegas saat Fiona menghentikan tawanya. Fiona menarik napas panjang dan menatap Dave dengan tatapan miring. “Memangnya kenapa harus saya?” balik Fiona bertanya sambil menghapus sudut matanya yang sedang mengalir buliran bening akibat terlalu banyak tertawa menggunakan sehelai tisu yang baru saja di ambilnya. “Karena Anda sebelumnya sudah terjebak dengan saya. Jadi, saya menawarkan Anda untuk bekerja sama,” jawab Dave santai. “Apanya yang terjebak? Itu kamu sendiri yang menyeret saya seenaknya, ‘kan? Enak banget kamu minta saya tanggung jawab dengan masalah yang kamu ciptakan sendiri? Ogah kali saya mau kerja sama dengan orang kayak kamu. Mending sekarang kamu pergi aja dari sini. Karena saya tidak punya waktu untuk meladeni permintaan yang super duper aneh kamu itu. Banyak pekerjaan yang harus saya lakukan, salah satunya adalah saudara kamu, Nona Allin.” Fiona mengusir Dave dengan cara halus, meski masih menggunakan kata-kata yang sarkas. Akan tetapi, bukan Dave namanya jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Pria tampan itu kembali bersedekap sambil melemparkan senyum misteriusnya. Ia terlihat masih tidak mau meninggalkan kantor Fiona meski wanita itu sudah mengusirnya. “Apa kamu tahu Lifia itu siapa?” Dave bertanya sambil memainkan kedua alisnya. “Bodo amat! Mau dia siapa juga saya nggak peduli. Yang penting sekarang saya itu tidak mau ikut campur dengan urusan kalian. Titik.” tegas Fiona, nyerocos tanpa jeda. “Tolong bertanggung jawablah sendiri atas apa yang kamu perbuat! Jangan menyeret-nyeret saya! Saya hanya orang asing yang mampir sebentar ke kehidupan kalian.” Dave menghela napas panjang. “Nona Russell, Lifia itu sudah mengenali wajah kamu. Dan mungkin saat ini dia sedang menyelidiki latar belakang kamu beserta dengan semua bisnis yang sekarang ini kamu tekuni.” Dave menjeda ucapannya. “Dan saya yakin sekali jika Lifia akan berusaha untuk menjatuhkan kamu dengan berbagai cara. Lifia itu orang yang menghalalkan segala cara demi keinginannya,” lanjut Dave lagi. “Kalau begitu, kamu sendiri yang harus bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa dengan pekerjaan saya, itu salah kamu! Kan kamu yang menyeret saya! Saya adalah korban di sini!” tegas Fiona lagi. Dave berdecak sebal. “Nona Russell, ini akan menjadi urusanmu juga!” jawab Dave cepat. “Maksudnya apa, ya?” Fiona bertanya dengan tatapan kurang mengerti dari ucapan Dave barusan, masih dengan emosi yang meningkat. Karena kali ini tidak ada Nyonya Lisa, ia bisa mengeluarkan semua keluh kesahnya. Dave menjawab, “Tentu saja kamu akan mengikuti ucapanku karena saya sendiri yang akan menghancurkan ‘ANA’S WEDDING DREAM’ sebelum Lifia yang melakukannya.” Kali ini Dave sepertinya tidak main-main dengan ucapannya. “Kamu!” Fiona menggeram dengan ancaman Dave padanya. “Iya! Sekali lagi kamu menolak permintaan saya, maka saya bisa memastikan jika kamu akan kehilangan segalanya dalam sekelip mata,” teror Dave. “Saya memberikan tawaran baik-baik pada Anda. Jika Anda mau bekerja sama dengan saya, maka akan saya berikan segala kemudahan dalam pekerjaan Anda. Namun, jika Nona Russell menolak, maka mau tidak mau saya harus membuat Anda menderita dulu agar mau menerimanya.” Pernyataan Dave yang di luar nalar itu seketika membuat Fiona tidak bisa berkata-kata. ‘Sial banget sih. Usaha ini Mama rintis dari nol lagi. Kalau semua ini hancur, maka aku sama Mama pasti harus kembali ke Edinburgh. Kalau kembali ke sana, aku pasti akan ketemu sama dia lagi.’ Fiona berperang dengan batinnya sendiri. “Bagaimana? Apa kamu masih mau menolaknya?” Dave kembali bertanya dengan memasang wajah yang super duper menyebalkan. Fiona menunduk dalam. Hatinya bergetar. “... Kenapa? Kenapa harus seperti itu?” tanya Fiona dengan kedua manik hazelnya yang berkaca-kaca. “Karena ini jalan satu-satunya.” jawab Dave dengan suara yang lebih pelan. Ia seperti menurunkan emosinya yang tadi membawa. Ia tanpa merasa bersalah sekali pun saat menatap kedua kelopak mata Fiona yang sudah menjatuhkan bulir-bulir bening, seolah-olah Dave tidak punya pilihan lain meski harus menyakiti Fiona. “Sekarang aku mau tahu jawabanmu apa?” Dave kembali melontarkan pertanyaannya. Ia butuh jawaban Fiona saat ini juga. Tanpa ada sepatah katapun yang terucap dari bibir mungil Fiona, wanita itu hanya bisa mengangguk lemah. Ia tidak mau membuat bisnis mamanya hancur begitu saja karena kesalahannya. “Good!” Dave tersenyum penuh kemenangan. Wajahnya memang menjadi lebih tampan saat menyeringai seperti itu, tetapi tetap saja membuat Fiona merasa kesal. Dave kemudian melangkah pergi menuju pintu ruangan dan menekan tuas lantas membukanya. Sebelum benar-benar pergi, Dave berbalik dan berkata, “Agar rencanaku tidak berantakan, aku akan mengajarimu bagaimana caranya menjadi rekan kerjasama yang baik, Nona Fiona. Kalau begitu, aku akan menantikan kerja sama kita nanti.” Dave lantas menutup kembali daun pintu. Setelah kepergian Dave, Fiona terus terdiam di posisinya. Otaknya berpikir keras hingga akhirnya sebuah ide muncul di benak Fiona. Matanya tidak lagi berkaca-kaca. Lengkungan muram di mulutnya berubah menjadi senyuman penuh misteri. Fiona melipat kedua tangan di depan d**a. “Kita lihat saja nanti. Oke, aku akan menerima kekalahan ini, tapi aku tidak akan membiarkanmu menang terus. Akan aku buat kamu menyesal karena sudah memaksaku untuk menyelesaikan masalahmu” gumam Fiona dengan seringainya. Fiona segera menyusun semua rencana dalam otaknya dengan baik. Ia akan memberikan pelajaran pada pria itu untuk tidak pernah lagi menyeret orang lain dalam masalahnya. *** Sementara itu di satu sudut yang lain, “Kamu yakin wanita itu sudah kembali ke Indonesia?” tanya seorang pria lansia yang memiliki sorotan mata tajam seperti macan yang akan menerkam mangsanya. “Saya sangat yakin Tuan dan saya juga sudah menyelidikinya. Tidak salah lagi jika itu memang benar dia,” jawab seorang pria jangkung yang lengkap dengan setelan hitam khas seorang ajudan. “Berani sekali dia kembali ke sini lagi,” geram pria lansia itu. Ia beralih menatap tajam foto yang ada di atas meja kerjanya. Dalam sepersekian detik, tangan keriputnya mulai beraksi. Lembaran foto itu ia ambil dengan cepat di tangannya dan lantas ia remas kuat hingga lecek dan tak berbentuk lagi. “Awasi dia!” perintah pria lansia itu seterusnya sebelum melangkah meninggalkan ruangan yang bernuansa gelap dan menyeramkan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD