Kau Pikir Bisa Lari?

1253 Words
Ada beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan di dunia ini. Ada begitu banyak misteri yang tersimpan di dalam teluk samudera hingga puncak gunung tertinggi. Berkali-kali Alexa menegaskan pada dirinya sendiri, bahwa banyak rahasia yang tidak ia ketahui. Namun, ia juga percaya, bahwa memang tidak semua hal harus ia ketahui dan memang lebih baik rahasia itu tetap menjadi kelabu, misteri. Begitu pula dengan misteri kemunculannya di dunia antah berantah ini. Yang lebih mencengangkan, dia terdampar di sebuah negeri dongeng layaknya Alice And Wonderland. Hanya saja, tidak ada kepala apel, tidak raksasa, dan tidak ada makhluk jadi-jadian lain. Tolong ingatkan saja Alexa, jika Arthur dan semua tokoh fiksi dalam novel "The Rebel" adalah makhluk jadi-jadian. Pagi ini, Alexa terbangun dengan keadaan bingung. Namun, ia segera menyadari bahwa dirinya masih berada di ruangan Arthur dan ranjang ini adalah miliknya. Awalnya, Alexa sempat panik, takut jika pria itu melakukan hal tidak senonoh terhadapnya. Hanya saja setelah memeriksa seluruh pakaiannya yang lengkap, wanita itu segera mengembuskan napas lega. Sejenak Alexa terdiam, ia coba mengingat apa yang dilakukan Arthur padanya semalam. Semakin ia mencoba mengingat, maka ingatan itu akan berujung pada satu adegan yang sama. Yaitu ketika Arthur mengunci kedua tangannya lalu semua menjadi gelap. Sepertinya pria itu sengaja membuatnya tak sadarkan diri. Baiklah, meski Alexa tidak bisa memastikan apa yang terjadi semalam, jadi ia memilih mempercayai pikiran positifnya bahwa Alexa akan baik-baik saja. Hanya saja, ketika wanita itu mulai terdiam dan memutar ingatan di kepalanya, kerutan di keningnya tampak mencuram memikirkan kembali misteri mengapa ia bisa terdampar di negeri dongeng sebagai tokoh antagonis yang berakhir tragis. "Jika benar yang semalam adalah Arthur, berarti dia adalah tokoh antagonis sekaligus penyebab mengapa Athea mati. Sialnya, mengapa Arthur memanggilku Athea?" Alexa menggelengkan kepala tegas. "Tidak. Arthur adalah iblis. Aku bisa mati jika tetap bersamanya. Lagipula, bukankah sudah jelas jika di novel, Arthur digambarkan sebagai tokoh manipulatif? Ya, ya. Jangan pernah mempercayai buaya sepertinya. Ah! Tidak boleh. Buaya adalah makhluk setia. Arthur bukan makhluk setia, dia adalah bebek sawah, sekali beraksi satu kandang dieksekusi." Detik itu 'lah Alexa menyadari akan satu hal hingga membuat tubuhnya membeku. "Aku dalam bahaya. Aku harus segera pergi dari sini!" Alarm tanda bahaya di kepala Alexa berdering kencang. Wanita itu langsung beranjak dari ranjang. Sejenak, Alexa terhenyak ketika melihat sepasang sandal seukuran kakinya di atas lantai seolah memang telah disiapkan di sana. Tanpa pikir panjang, Alexa langsung memakainya dan pergi dari tempat itu dengan mengendap-endap agar tidak ketahuan. *** Entah ke mana kaki Alexa membawa wanita itu menyusuri hutan lebat tanpa tahu tujuan. Napasnya tersenggal, keringat letih pun bercucuran sangat deras membasahi sekujur pakaiannya. Wanita itu sesekali berhenti, menumpukan sebelah tangannya pada batang pohon terdekat. Wajah piasnya mendongak, menatap langit yang samar tertutupi dahan dan dedaunan pohon yang begitu rindang nyaris membendung cahaya matahari sampai ke bumi. Krek! Alexa langsung bersiaga. Ia langsung menoleh ke belakang, di mana ia mendengar suara pergerakan yang semakin mendekat ke arahnya. Sepertinya tidak banyak, tapi cukup untuk membuatnya bersiaga. Merasa dalam bahaya, Alexa segera berlari melanjutkan perjalanan tanpa arahnya. Sayup-sayup Alexa mulai mendengar suara orang di sekitarnya. Tak butuh waktu lama bagi Alexa melihat sekumpulan pria berpakaian agak kunel sedang menebang pohon. Secara nalar, jika sudah ada manusia di sekitar sini, berarti perumahan warga terletak tak jauh dari sana. Senyum Alexa mengembang, langkahnya semakin cepat membawanya berjalan ke depan. Benar saja, di depan sana, ia mendapati perumahan warga. Terdapat beberapa orang berpakaian kain goni berjalan ke saja kemari dengan karung di punggungnya. Mungkin itu kuli, pikirnya. Alexa berjalan melewati beberapa orang diiringi lirikan heran. Ya, itu karena tempat itu didominasi pria bertubuh kekar dan berkeringat. Langkah Alexa terhenti ketika ia melihat seorang pria dengan pakaian lumayan bagus, khas bangsawan. Wajah pria berkumis itu tampak lumayan ramah dari beberapa pria berpakaian bagus sebelumnya. "Sepertinya aku harus bertanya padanya." Alexa berjalan mendekati pria itu. Tepat ketika sang pria juga menoleh padanya dengan wajah terheran. "Bagaimana Nona cantik ini bisa di sini?" Alexa segera berhenti di depan pria itu. "Aku tersesat, dan baru bisa keluar dari hutan. Aku buta arah, bisakah Anda memberitahuku arah ke kota?" "Sebentar, Anda berasal dari kota mana, Nona?" Pria itu tampak terheran, matanya menelisik penampilan Alexa dari atas ke bawah lalu kembali ke atas dan bertemu matanya. "Fisik Anda tampak sedikit berbeda dengan kebanyakan orang Adney Land." Alexa menutup matanya sejenak, berusaha mengingat nama kota dalam novel di Adney Land. Wanita itu segera membuka mata begitu ia mengingat satu nama daerah. "Aku berasal dari kota Mysth, bisakah Anda memberitahuku ke mana arah ke kota Mysth?" "Kota Mysth?" Pria itu tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Tampak kerutan heran di wajahnya, terlihat bingung, tetapi tetap mengangguk. Pria itu menatap ke arah jalan yang panjang nyaris tak berujung, ia menunjuk dengan jari telunjuknya. Meski begitu, ia tetap membantu Alexa. "Ikutilah arah jalan ini. Nanti akan ada kereta kuda pengangkut beras, ikutlah dengan kereta itu, maka kau akan sampai di pasar terdekat. Nanti kau bisa bertanya arah kota selanjutnya. Omong-omong, apakah Anda benar-benar orang sini?" Alexa baru menyadari, ciri fisik antara orang-orang dari Ackerley dan Adney Land memang berbeda. Perbedaan mencoloknya adalah terletak pada warna rambut. Bangsa Ackerley memiliki rambut berwarna hitam legam, sedangkan bangsa Adney Land memiliki rambut berwarna cokelat kemerahan. Alexa harus segera memikirkan alibi yang masuk akal. "Ah, itu ... sebenarnya, ayahku berasal dari Ackerley, dia seorang saudagar." "Bolehkah saya tahu nama ayah Anda?" BISAKAH KAU DIAM?! Alexa harus berpikir cepat. "Maaf, tapi aku hanya pernah mendengar asal-usul ayahku dari ibuku. Sebenarnya, setelah dia menghamili ibuku, aku tidak pernah melihatnya. Ibuku memang hanya pekerja kasar, sehingga bisa dilecehkan seperti itu. Tapi memang, ciri fisikku sama seperti ayahku." Alexa berusaha sekeras tenaga mendorong air mata dan wajah sedihnya. Sesekali berlagak mengusap air mata. Mendengar kisah bualan Alexa, pria itu tampak menunjukkan tanda-tanda bersimpati. "Malang sekali, hah ... Bangsa Ackerley meski memiliki kemajuan perdagangan, tetapi sifat mereka sangat hina! Nona, cepatlah pulang. Situasi perang seperti ini tidak baik bagimu." "Baik, Tuan. Terima kasih banyak atas bantuannya." Pria itu tersenyum tipis seraya mengangguk. Ia tetap berdiri di sana sebelum akhirnya Alexa mulai menjauh. Baru ketika merasa jarak yang memanjang, pria itu memanggil seorang prajurit mendekat dengan wajah waspada. "Ada apa, Tuan?" "Ikuti wanita itu. Aku tidak yakin dengan alasannya. Dia keluar dari hutan arah perkemahan kaisar dan pasukan perang. Pasti tidak sesederhana yang dia ceritakan." "Baik, Tuan!" *** Sambil berjalan ke camp-nya, Arthur terus berdiskusi dengan salah satu jenderal terhebat yang ia miliki. Caden, nama itu sangat terkenal seantero Adney Land. "Baiklah, kau bisa menyiapkan pasukan malam ini." Arthur memberikan peta yang ia gulung pada Caden. Caden lantas menerima gulungan peta pemberian Arthur. "Baik, Yang Mulia." Namun, sebelum Arthur benar-benar memasuki camp-nya, pria itu malah terhenti di depan setelah membuka tirai. "Tunggu di sini sebentar, Jenderal Caden." Arthur meninjau beberapa tempat dalam camp-nya, tetapi tak mendapati keberadaan Athea. Ke mana dia pergi? Pertanyaan itu tidak harus Arthur ucapkan karena di ruangan ini hanya ada dirinya. Mata kelamnya menatap tajam ranjangnya yang kosong dan tampak berantakan. Sandal yang ia siapkan juga telah tiada, menandakan wanita itu sudah pergi membawanya. Tanpa banyak omong, pria itu langsung bergerak memeriksa kamar mandi, tetapi hasilnya juga nihil. Arthur berhenti tepat di sisi ranjang dengan rahang mengeras. "Kau tak akan bisa lepas dariku, Athea." Tak butuh waktu lama setelah mengamati sejenak bagi pria itu untuk menyadari bahwa Alexa telah kabur. Sayangnya, Arthur masih sibuk, maka ia membalikkan badan kembali keluar menemui Caden. "Jenderal Caden, aku memberimu tugas untuk menemukan wanita berambut hitam yang semalam menyusup ke camp-ku." Tampak Caden terdiam untuk berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia menunduk. "Baik, Yang Mulia."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD