Deal!

1148 Words
"Tolong aku!" Permintaan itu keluar begitu saja dari mulut Alexa. Sedangkan si pria terdiam, tangannya mengambang di udara sebelum ia kembali memasukkan pedang ke dalam sarungnya. Tatapan intens dari pemilik mata elang itu membuat Alexa menggigit bibir bawahnya. Detak jantung Alexa berpacu liar hingga membuat degupnya terasa bagai genderang yang dipukul tepat di dalam telinganya. Tubuhnya beku, terasa menggigil tetapi bukan dingin. Justru suhu tubuhnya langsung meningkat drastis, sampai-sampai seluruh tubuhnya memerah, terutama kedua pipinya. Tidak. Ini bukan salah tingkah, tetapi perasaan ketakutan. Bahkan, Alexa sampai lupa bahwa ia memiliki ilmu bela diri untuk melawan semua orang yang mengejarnya tadi. Tertawakan saja kebodohan Alexa. Dia terlalu panik, kemampuan berpikirnya seolah jatuh ke dasar laut. Apa yang barusan terjadi sangat di luar batas logika. Namun, sekarang ia harus dihadapkan dengan seorang pria yang meminta penjelasan jati diri Alexa. Bagaimana ia harus menjelaskannya? Apakah Alexa harus menjelaskan dia baru saja membaca novel yang sangat jelek lalu entah bagaimana dengan ajaibnya ia masuk ke dalam sana dan entah bagaimana caranya dia bisa kejar-kejaran dengan pembunuh dan berakhir di perkemahan Kerajaan Adney Land yang dipimpin Raja Arthur sang atagonis yang akan mati bersama istrinya di tangan protagonis, begitu? Siapa yang akan percaya? "Wajahmu ...," gumam si pria semakin intens menatap Alexa. "I-itu ... sebenarnya, aku ..." "Kami harus bertemu Raja Arthur!" Sebuah teriakan terdengar familiar di telinga Alexa. Jelas, itu adalah suara salah satu dari beberapa pria yang mengejarnya. Bukannya tidak mampu menghadapi, hanya saja Alexa tidak mau babak belur. Pasalnya, jumlah mereka bisa dihitung dengan jari-jari di kedua tangannya. Mau sehebat apa pun bela dirinya, ya tetap kalah kalau dikroyok tujuh banding satu. Alexa menyebutnya bunuh diri. Seketika itu Alexa langsung menenggelamkan wajahnya. Si pria yang menoleh keluar, kembali menatap Alexa yang menatapnya dengan tatapan mengiba. Asal semua orang tahu saja, Alexa sangat pandai memanipulasi apa pun. Termasuk mimik wajahnya yang disiapkan dalam misi mata-mata menjadi profesi apa pun. Jadi, berakting bukan hal yang sulit untuknya. Yang terpenting, Alexa selamat dan segera mencari jalan pulang dari sini. "Mereka mengejarmu?" tanya si pemilik rambut perak yang tampak sangat indah berkilau ketika terkena cahaya. Alexa masih belum menyadari dengan siapa ia berhadapan. Namun, Raja Arthur tak terlalu mempedulikan itu. Ia hanya heran bahwa ada wanita yang seberani itu padanya. Tidak sopan, jelas. Maksudnya sampai tidak memiliki ketakutan sama sekali padanya, justru malah menatapnya dengan tatapan polos dan memohon seperti itu. Salah satu bibir Raja Arthur terangkat, pria itu memamerkan senyum culas khasnya. Kedua tangannya memegang pinggiran bak mandi, lalu mencondongkan tubuhnya pada Alexa. Wanita itu refleks memundurkan wajah dan tubuhnya sampai punggungnya membentur dinding kayu bak mandi. "Bantuanku? Bagaimana kau akan membayarnya?" Alexa terdiam sejenak. Memikirkan tawaran apa yang akan ia ajukan. Ini hal yang wajar, ia masuk ke tempatnya tanpa izin dan meminta bantuannya, jelas ini harga yang lumayan mahal untuk ia bayar. "Bagaimana jika aku akan menuruti satu permintaanmu?" Sebelah alis Raja Arthur terangkat. "Satu?" Alexa mengangguk tegas dengan senyum mengembang. Oh, ayolah ... ini adalah ekspresi ketika ia bertugas sosialisasi lalu lintas, rokok atau narkoba di hadapan anak-anak sekolah menengah. Masa dia tidak luluh? Padahal ini sudah Alexa mode paling menggemaskan. "Tidak." Jawaban Raja Arthur terdengar tegas. "Sepuluh!" Permintaan pria itu sontak membuat Alexa terbelalak kaget. Ia lantas langsung menurunkan tawaran yang tidak masuk akal itu. Sepuluh? Terlalu banyak! "Tiga." Alexa tak mau kalah tegas. "Sebelas." Raja Arthur menyeringai. Lagi, kedua mata Alexa dibuat nyaris melompat dari tempatnya. "Dua!" "Tidak mau." Raja Arthur hendak menarik diri. Namun, Alexa segera menarik lengan kekarnya agar tetap tinggal. Kedua mata mereka saling bertaut. "Lima?" Alexa kembali menawar. Raja Arthur jelas bukan orang bodoh yang suka mengalah. Jadi, ia masih mempertahankan sikap angkuhnya. "Tiga belas atau tidak sama sekali." Congkel saja kedua bola mata Alexa! "Hei, itu—" "Kami hanya mencari wanita buronan!" Suara samar kembali terdengar dari luar tenda. Tidak terlalu dekat. Namun, yakin cepat atau lambat akan segera tiba. Tak mau putus asa, Alexa berusaha menawar lagi. "Sepuluh?" Namun,balasa Raja Arthur sungguh menggemaskan. "Empat belas atau tidak sama sekali." Akhirnya karena tidak mau jumlah permintaannya bertambah, Alexa terpaksa menyetujuinya. "Baiklah. Tiga belas." "Empat belas." Sekali lagi, Alexa mendengkus kasar. "Baiklah, empat belas. Kau puas?" Bibir Raja Arthur malah mencebik. "Tidakkah menurutmu itu nanggung? Kenapa tidak lima belas sekalian?" "Tuan tampan yang terhormat, aku ini sedang dikejar-kejar oleh pembunuh!" "Lalu?" Alexa menutup matanya rapat-rapat untuk beberapa detik. Menghela napas panjang guna memperluas kelapangan dadanya. "Lalu, Anda harus menyelamatkan saya dari mereka." "Bagaimana jika kau memang penjahat?" "Tuan, jika aku penjahat, aku sudah menyakitimu sejak tadi. Lagipula, apakah kau tidak melihat penampilanku ini. Lihat! Aku terluka!" Alexa menekuk lututnya lalu menyibak kain dress-nya sehingga tampak 'lah luka basah akibat terjatuh tadi. "Lihat! Aku ini korban. Bahkan, aku tidak tahu mengapa aku bisa sampai di sini dan mengapa mereka memburuku. Padahal, aku tidak berbuat apa-apa." "Oh." Mendengar respons pria di depannya ini, sontak Alexa melebarkan senyum masamnya. Apakah dia salah berbicara dengan makhluk ini? Jengkel, sumpah! "Jadi ...?" Alexa menatap pria itu penuh permohonan. Alih-alih menjawab, pria itu malah masuk ke dalam bak mandi. Hal itu membuat Alexa nyaris memekik andai pria pemilik mata elang itu tidak mendaratkan jari telunjuknya ke atas bibir Alexa. Dengan gerakan kilat, pria itu membalikkan posisi, di mana ia dengan mudahnya mengangkat tubuh Alexa dan membiarkan wanita itu duduk di atas tubuhnya. Bagaimana keadaan jantung Alexa? Kritis. Rasanya pembuluh darahnya nyaris tidak muat menerima pompa darah yang semakin menggila. Tubuh Alexa semakin panas bahkan nyaris membuat kepalanya meledak seperti gunung berapi. Yang lebih parah, bisa saja Alexa terkena serangan jantung dadakan. "Apa yang kau lakukan?!" pekik Alexa tertahan. "Sst ...!" "Kami mendengar suara wanita! Pasti dia bersembunyi di sana!" Atensi mereka berdua terlempar ke arah pintu sesaat sebelum akhirnya saling bertukar tatap. "Nyalakan lilin di sampingmu!" perintah si pria yang lantas mendapat tatapan penuh tanda tanya Alexa. "Untuk?" "Lakukan saja!" Akhirnya, Alexa menuruti perintah si pria. Ia hendak bangkit, tetapi tiba-tiba pria itu menarik bajunya ke bawah. Hal itu membuat Athea memekik terkejut dan langsung menutup dadanya. Sayang, dia tidak berhasil menutup kedua pundak polosnya yang terlanjur terekspos. Baru saja hendak memprotes, ucapannya kembali harus ia telan ketika suara keributan semakin lantang tepat di depan tenda mereka. Bahkan, kini Alexa bisa melihat beberapa siluet orang yang terpantul di dinding kain tenda mereka. "Turunkan sedikit lagi!" Ucapan si pria membuat Alexa tercengang. "Apanya?" "Baju." Alexa nyaris memukul kepala pria itu andai suara teriakan dari luar tak menginterupsinya. "Di mana wanita itu?!" "Wanita apa?! Kami sudah bilang tidak ada wanita di sekitar sini kecuali pelayan! Jangan macam-macam! Yang Mulia tidak akan mengampuni kalian!" "Justru jika kalian terbukti menyembunyikan—" Suara dari depan tenda itu langsung merubah wajah Alexa menjadi panik. Refleks ia menatap ke bawah pada si pria yang tampak duduk dengan tenang menikmati berendam air hangat. "Bantu aku ...." "Mendesahlah!" "Kau?!" Alexa geram. Namun, sebuah gerakan tak terduga dilakukan pria itu hingga menciptakan pekikan tertahan di bibir Alexa. "Aakh!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD