Rumah sempit Alana kini semakin sesak saja setelah kehadiran beberapa perabotan berkelas yang entah dikirim oleh siapa. Dia harus berjalan dengan hati-hati agar tidak sampai terantuk sana-sini.
Sofa vintage bergaya Eropa abad pertengahan dengan warna putih serta kayunya yang cokelat mengilap tampak kontras dengan keadaan rumah nenek Alana yang sudah kusam, usang dimakan jaman. Lalu sepasang meja komputer dan kursi kerja. Spring bed ukuran king, serta beberapa barang elektronik yang tidak dia perlukan. Smart Tv, microwave, kulkas dan ternyata ada sepasang air conditioner juga.
"Orang gila mana sih yang ngirimin ini?"
"Mau ditaruh mana coba?!" Gumam Alana lalu menghempaskan diri ke sofa tuanya.
Ting!
Baru saja ia akan memejamkan mata ketika ponselnya berbunyi.
Mas Han Jun Boss.
[ Kapan kamu mau mulai kerja lagi? Apa kamu masih sakit karena kejadian beberapa hari lalu, ya?]
Alana tertegun melihat pesan yang dikirimkan Han Jun.
[ Mas Han Jun masih mengijinkan saya buat bekerja lagi?]
[ Loh, memangnya kapan saya memecat kamu?]
Alana menggaruk kepalanya, benar juga Han Jun sama sekali tidak pernah mengatakan akan memecatnya. Justru Alana sendirilah yang merasa sungkan karena sang mama telah membuat keributan yang memalukan.
[Mas Han Jun, apakah saya boleh meminta ijin satu hari lagi?]
[ Boleh, tapi....]
[Mas Han Jun, tidak perlu khawatir, saya siap potong gaji kok]
[ Tidak, bukan itu, Alana. Tapi apakah boleh saya berkunjung ke rumah kamu?]
Alana melihat keadaan rumah yang berantakan dan berdesakan. Galau, dia tidak tahu apakah harus memperbolehkan Han Jun datang ataukah tidak.
[Tapi, Mas, rumah saya berantakan. Saya malu-]
*Mundur dikit, woy!" teriakan kembali terdengar dari arah halaman membuat fokus Alana terpecah. Dia yang belum sempat mengirimkan balasan pesan kepada Han Jun, langsung meletakkan ponselnya ke meja. Lalu beringsut dari tempat dia merebahkan diri.
"Ok, stop."
"Bantuin bos turunin semua koper-kopernya!"
Alana mengintip apa yang sedang terjadi di halaman rumahnya dari balik kelambu. Di sana sudah ada truk berukuran sedang dengan tulisan MOVER.CO, sebuah perusahaan yang menawarkan jasa kendaraan dan tenaga untuk pindahan rumah dan kantor.
"Hah?!" Alana gegas berjalan cepat menuju pintu rumahnya.
"Maaf, apa-apaan ini? Kenapa menurunkan barang-barang ini disini? Barang milik siapa ini?" Alana berteriak bak kesurupan saking kaget dan bingung.
"Maaf, ini benar kan rumah Ibu Alana Sanubari?"
"Benar ini rumah saya tapi saya tidak menyewa jasa pindahan rumah."
"Lhoh kok aneh, tapi yang menyewa jasa kami meminta kami untuk menurunkan barang-barang di sini." Si pria bertopi sepertinya tak kalah bingung dengan Alana.
"Memangnya siapa yang menyewa jasa kalian?" Alana ganti bertanya.
"Aku!" Sebuah suara menyahut, suara yang begitu familiar di telinga Alana. Hanya suara saja tetapi tidak tampak dimana orangnya.
Suara langkah sepatu terdengar semakin mendekat ke arah mereka, aroma maskulin yang menguar dari tubuh si pemilik suara pun menusuk penciuman orang-orang di sekitarnya.
"Pak turunin semua barang-barang saya. Mulai hari ini saya akan tinggal bersama istri saya, jadi–"
"Rafa, kamu gila ya?!"
"Alana, aku enggak gila!"
"Terus apa semua ini?"
"Ya, bukan apa-apa. Memangnya aku salah mau tinggal satu rumah sama istriku sendiri?" Rafael mengotot.
"Rafa!"
"Alana!" Keduanya saling berteriak dan tidak memedulikan dua petugas jasa pindahan yang kini menoleh ke kanan kiri, bingung kenapa dua sejoli itu saling menunjuk muka dengan kesal.