"Nih." Sekotak Ultra Milk disodorkan ke arah Ella dari belakang.
Gadis itu terperanjat dan membuat pelakunya tersenyum gemas. "Kamu mau bunuh aku di sini, ya?" Ella mengambil s**u Ultranya.
"Pikirannya, mesti. Gak ada gitu yang lebih baik daripada pikiran negatif?" Ryan duduk di sebelah Ella sambil mulai membuka tutup botol minumannya.
"Gak ada kalau sama kamu," ucap Ella sambil tersenyum menggoda. Dia menikmati susunya itu dengan riang. Kedua kakinya bergantian berayun ke depan dan ke belakang.
"Baik. Makasih." Ryan meneguk minumannya lagi. Matanya meneliti langit yang lebih gelap daripada tadi. "Kayaknya mau hujan. Ya, udah. Ayo berangkat sekarang." Dia berdiri.
Ella memandang tangan Ryan yang terulur ke arahnya sejenak. Kemudian, dia menghadiahi tamparan di telapak tangan lelaki itu. "Kalau kehujanan gimana?" Wajahnya mulai cemberut.
"Gak papa. Nanti aku bantuin." Ryan paham betul apa yang sedang dikhawatirkan oleh Ella. Pastinya, dia saja berteman dengan gadis itu bukan hanya sebulan dua bulan. Bahkan mereka sudah berteman selama delapan tahun. Dengan melihat wajah dan mata saja Ryan bisa tahu apa yang sedang dirasakan Ella.
"Tapi, tetep aja."
"Gak papa. Gak usah takut dingin. Aku bawa jaket, kok."
Ella mendengkus. Terlihat lipatan-lipatan halus di sekitar hidungnya. "Kamu yang nanggung pokoknya."
Ryan mengangguk. Dia mengayunkan jemarinya untuk Ella. Gadis itu menyambutnya dan mulai mengikuti langkah kaki Ryan. Dahinya berkerut saat menyadari arah jalan mereka.
"Kita mau ke mana?" tanya Ella lirih. Dia merasa ada yang tidak beres. Masalahnya, mereka bukan berputar balik ke gedung sekolah, malah menuju ujung taman belakang yang mengerikan itu. Di salah satu sisi tembok yang berlumut coklat itu, ada papan yang terbalik. Ryan membukanya.
"Kita mau ke mana, Ryan?"
Tidak menjawab. Ryan merunduk. Ada lubang yang cukup besar di tembok itu. Dia masuk ke celah itu, membuat Ella melongo tak percaya. Ternyata, belakang sekolahnya tidak sebagus yang tampak dari depan. Ternyata, sekolah yang dia kira pengawasannya ketat, masih saja mempunyai lubang tersembunyi seperti ini. Bagaimana Ryan bisa tahu?
"Ayo!" Ryan menggoyangkan tangan Ella, agak menariknya.
Ella tersadar dari renungan singkatnya. Dengan sangat hati-hati, dia merunduk sambil tetap berpegangan erat pada tangan Ryan. Sedangkan Ryan, lelaki itu meletakkan tangannya yang membawa botol Pocari di atas kepala Ella, berjaga-jaga agar kepala gadis itu tidak terbentur sedikit pun. Setelah sempurna melewatinya, Ella mengibas-ngibaskan seragamnya, takut jika kotor. Mbak Dewi orangnya teliti. Ryan menunggu.
"Gak ada yang kotor, kan?" tanya Ella sambil memperlihatkan sisi kanan, kiri, depan, dan belakangnya.
"Enggak." Ryan memang sepengertian itu. Dia menjawab dengan lembut dan senyum gemas tentunya. Semua yang diperbuat Ella-yang kadang berlebihan-selalu terlihat menggemaskan di mata Ryan. "Ayo!"
Ella mengangguk. Mereka mulai melangkah lagi. Belum sampai beberapa langkah, gadis itu terpekur dengan pemandangan di sebelah kanan jalan yang sedang mereka lewati ini. Ternyata, di belakang sekolah ada jalan dan rumah-rumah penduduk sekitar yang asri. Di sebelah jalan yang menuju ke utara ini, ada sungai kecil. Maka dari itu, setiap rumah yang berjajar di sana mempunyai jembatannya masing-masing. Dekorasi dan tatanan yang unik. Baru kali ini dia tahu.
Baiklah, dia memang terhitung sebagai murid pendiam di sekolahnya itu. Lagi pula dia masih awal. Tapi, ayolah, dia sudah lama bersekolah di sana dan ini baru pertama kalinya melihat area belakang sekolah. Bahkan, ini pertama kalinya dia melihat lubang tertutup papan tadi. Apakah memang dia sekolot itu?
"Rumahnya bagus, ya, Ryan. Kelihatan kalau adem." Ella menunjuk ke satu rumah yang ada di sana. Rumah yang bercatkan putih tulang dengan pepohonan yang memenuhi pekarangannya. Bukan rumah modern. Justru karena itu adalah rumah tipe jaman dahulu yang masih menggunakan keramik jadul, membuat mata Ella tertarik untuk mengamatinya.
"Kata temen-temen, sih, yang punya rumah itu gak ramah. Kayaknya itu rumahnya penyihir." Ryan menyembunyikan tawanya saat melihat mimik wajah Ella telah berubah. "Memang rumahnya kelihatan adem ayem. Tapi, itu malah buat pemikat mangsa."
Wajah Ella sudah memucat. Dia hanya diam dan mengalihkan pandangannya dari rumah itu. Dia juga merapatkan jaraknya dengan Ryan. "Kamu pasti bohong."
Ryan tertawa hingga agak membungkuk dalam langkahnya. "Kok, kamu percaya banget, sih? Bikin aku gak tega jadinya." Lagi-lagi lelaki itu mendapatkan timpukan. Akan tetapi, Ryan tetaplah Ryan. Otak usilnya tidak akan hilang sampai dia kasihan kepada Ella. Dia sayang Ella. Karena dia sayang, dia suka menggoda sahabatnya itu.
"Mending aku gak usah ikut kamu aja tadi, Ry." Gadis itu ngambek.
"Ya, udah. Balik aja sana. Mumpung belum sampai. Belum jauh juga," tantang Ryan sambil mengarahkan genggaman tangan mereka ke arah sekolah, tanpa bermaksud untuk melepaskannya.
"Gak mau, lah, Ryan," rengek Ella manja. Iya, dia memang terbiasa begitu kalau bersama Ryan. Dengan lelaki lain? Jangan bertanya tentang orang asing apalagi lelaki kepada Ella. Lelaki di hidupnya hanyalah Ayah, Ryan, dan satu pamannya. Dia tidak memiliki sepupu laki-laki. Pun teman kelasnya bagaikan orang asing di hidupnya.
"Kenapa?"
"Takut diculik. Kasihan kamu nanti kalau dipenjara karena udah buat aku hilang."
"Tinggal aku bilang kalau kamu yang mau melarikan diri. Toh, kalau kamu diculik, aku jadi saksinya, lah."
"Ish ...." Ella sebenarnya pintar. Hanya saja kalau berhadapan dengan Ryan, dia selalu akan kalah. Ella memang cerdas, tapi Ryan terlalu banyak akalnya.
"Gak. Gak." Ryan menarik tangan Ella untuk lebih mendekat. Dia merangkul lembut pundak gadis itu. "Kalau kamu diculik, pasti aku yang pertama kali yang nemuin. Soalnya, aku gak bakalan hidup tenang kalau kamu dalam bahaya."
"Kamu sadar gak, sih, kalau sekarang aku sedang dalam bahaya? Kalau wali kelasku tahu aku dibawa keluar sekolah sama kamu, bisa-bisa aku dapet penalti."
"Dalam bahaya, tapi, kan, gak sendirian. Kamu bareng aku. Dapet penaltinya juga bareng. Tenag aja."
"Ya, tapi yang wali kelasnya galak itu aku."
"Aku bantuin." Ryan mengusak anak rambut Ella. "Kan, aku udah pernah bilang kalau aku bakalan pastiin kamu aman."
Ella mencibir dengan memajukan bibir bawahnya. Dia menyedot porsi terakhir tegukan s**u Ultranya. Saat melihat tempat sampah, dia langsung melemparnya.
"Awas. Hati-hati." Ryan memperingatkan saat mereka melewati jembatan yang melintas di atas sebuah sungai. Tidak luas dan tidak ada pegangan pinggirnya. Lelaki itu semakin memberikan perhatian ekstra. Ella sangat takut kalau dia kehujanan. Tidak lucu kalau dia malah pulang dengan memakai seragam basah karena air sungai.
"Makasih," ujar Ella.
Ryan mengangguk. Dia melepaskan tangannya dari gadis itu. Kini, mereka berjalan biasa, beriringan tanpa mengaitkan genggaman. Langkah Ryan mungkin terlalu lebar, membuat Ella sedikit mempercepat jalannya dengan lari kecil.
Lelaki itu sengaja untuk melangkah lebar-lebar. Kalau tidak begitu, jalan mereka akan terlalu santai. Hawa khas akan turun hujan pun semakin terasa. Terlihat juga dari awan-awan tebal yang saling menggulung di atas sana.
"Ryan, tungguin aku!" Ella kewalahan. Dia akhirnya meraih lengan sahabatnya untuk dipeluk.
Mereka berbelok ke kiri, melalui jalan setapak pasar bunga yang akan membawa mereka ke tempat tujuan.
"Ke komplek, ya?" tanya Ella yang mendapatkan anggukan dari Ryan.
"Kudu cepet. Sebelum hujan." Lagi-lagi Ryan menambah kecepatannya.
***
Suara kendaraan bermotor terdengar sangat bising. Beberapa truk tampak mengepulkan asap kelabu dari knalpotnya. Ella menutupi mulut dan hidungnya dengan telapak tangan. Dia tidak membawa saputangan hijaunya.
Perjalanan mereka menuju komplek tidak sampai sepuluh menit jalan kaki. Mereka tiba di gerbang komplek yang selalu terbuka itu, hanya ditutup saat malam hari. Mereka menuju lapangan yang sudah tidak asing lagi di mata mereka. Ya, terkadang saat pelajaran olahraga, guru mereka mengajak para muridnya keluar dari kawasan sekolah dan berolahraga di lapangan ini. Lapangan itu memang terbuka untuk umum, sebagaimana masjid yang berdiri kokoh di ujung lapangan tersebut.
Angin yang cukup kencang menerpa. Pepohonan yang menjulang tinggi bagai pagar di sekeliling lapangan, bergoyang. Daun-daunnya bergemerisik, meloloskan lembaran-lembaran yang tidak bertahan di posisinya. Lembaran-lembaran yang lolos itu mengisi kekosongan jalan. Lalu, disapu ke pinggir oleh pelaku yang sama, angin.
Mereka berhenti di salah satu sisi lapangan. Ryan mengecek gawainya. Dia mengangguk dan tersenyum sesaat dan mulai mengetikkan sesuatu di atas layar.
"Chat sama siapa?" Ella melongok untuk melihat layar gawai Ryan.
"Temen." Lelaki itu tidak memalingkan matanya dari benda elektronik itu. "Yang mau ketemuan di sini."
"Jadi, kamu ngajak aku keluar sekolah cuma buat mau ketemuan sama temen kamu?"
Ryan mengangguk dan Ella tidak bisa berkata-kata lagi. Bukan. Bukan karena gadis itu merasa bahwa sahabatnya itu sangat keterlaluan. Akan tetapi, dia bisa paham bahwa pasti ada yang penting.
"Gak papa, kan, nambah temen lagi?" Ryan menoleh ke Ella.
Gadis itu menggembungkan pipinya dengan tatapan datar. Dia masih menatap layar Ryan. Namun, kosong. Bahkan dia tidak membaca satu huruf pun yang ada di sana.
"Paling enggak, kamu bilang kek kalau mau ketemu sama temen." Ella mendengus.
"Lho, emang aku belum ngasih tahu, ya?" Ryan malah bertanya.
"Belum." Gadis itu terlihat sedikit kesal. "Kamu gak jawab kita mau ke mana, mau ngapain. Eh, aku malah ditinggal ke kantin. Ngeselin."
Ryan tertawa. "Maaf. Maaf. Aku kira tadi udah bilang ke kamu kalau aku mau ketemuan sama temen basketku." Dia meneruskan tawanya. "Maaf, ya." Tangannya mengelus kepala Ella.
Ella hanya diam. Bertemu dengan orang asing bukan hal sepele dalam hidupnya. Dia tidak tahu apa yang harus dibahas dengan orang yang baru dia kenal. Sebagai tambahan informasi, mungkin kalau dia tidak berteman dengan Ryan, dia akan menyendiri selama hidupnya. Ya, Ella sangat sadar dirinya adalah orang yang tertutup, tidak banyak bicara bahkan sebenarnya dia takut jika harus berhadapan dengan orang asing. Berbeda dengan Ryan. Lelaki itu sangat terbuka. Bahkan bisa dibilang bahwa Ryan adalah sosok social butterfly. Kenalannya banyak. Beberapa kali juga dia mengenalkan teman-temannya yang lain kepada Ella. Berkat itulah, Ella sedikit demi sedikit bisa terbuka dengan orang asing dan bisa berinteraksi dengan yang lainnya selain keluarganya dan Ryan, tentunya.
"Mereka kapan datang? Anginnya mulai gede lagi ini." Gadis itu tidak menghiraukan permintamaafan Ryan.
"Sebentar lagi." Ryan berucap lembut. Dia tahu Ella sedang mengambek.
"Woiiii!!!!!" Teriakan keras itu terdengar dari arah gerbang komplek yang berada di sebelah selatan lapangan. Lantas, Ryan dan Ella menoleh. Ryan melambaikan tangannya tinggi-tinggi untuk membalas.
Ella memegang ujung seragam Ryan. Dia bergeser sedikit untuk menutupi dirinya di belakang lelaki itu. Ada tiga orang. Itu tentu jumlah yang banyak untuk Ella. Terlebih lagi mereka semua laki-laki. Pegangan itu kini menjadi genggaman erat.
"Gak papa, El. Mereka semua baik, kok. Gak perlu takut." Ryan mencoba menenangkan Ella.
"Iya." Hanya itu jawabnya.
Ryan menghembuskan napasnya. Apakah ini akan berhasil?