1.3 Teman Basket Ryan

1990 Words
Tiga pemuda itu jangkung. Mereka sudah berdiri di hadapan dua sahabat itu, Ryan dan Ella. "Lama amat." Ryan mengangkat tangannya untuk bersalaman ala laki-laki. "Si Radit sumpah pengin gue geprek aja. Mau berangkat aja pakai acara riweh cari kunci motor dulu." Salah satu dari mereka memiting leher temannya yang memakai topi merah. Sedangkan si korban hanya cengengesan tanpa dosa. "Lo ngerti gak, sih, kalau ini mau hujan? Mana si Ryan bawa cewek," omel lelaki itu lagi. "Ya, sekalian aja diajak hujan-hujan," jawab si korban, asal. Kepalanya pun digeplak detik itu juga. "Harris mana?" tanya Ryan mengabsen seseorang yang tak terlihat matanya. "Nelat. Gak tahu kenapa." Radit terdengar tak acuh. "Lagian juga bukan anak gue. Mana ada urusan." Yang lainnya hanya melihat adegan itu dengan hembusan napas pasrah. Lain lagi dengan Ella. Yang dia pandang sekarang bukan ketiga teman Ryan itu, melainkan langit yang sudah sangat-sangat menggelap di ujung sana. "Kalau ngomong suka banget minta dilotek sambel mulutnya." Ryan menarik tangan Ella untuk berdiri sejajar dengannya. Dia tersenyum ramah, memberitahukan kepada gadis itu bahwa dia pasti aman. "Ini Ella. Kenalin, El. Ini Radit." Tangan Ryan menunjuk ke si korban pitingan tadi. "Hai. Panggil aja gue Mas Ganteng." Lelaki bernama Radit itu mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan. Ella melihat ke arah Ryan terlebih dahulu sebelum membalas jabatan Radit. Sahabatnya itu memberikan anggukan yang berarti oke saja. "Gue Devan." Lelaki si pelaku pemitingan itu berganti mengulur tangan. Dia memberikan senyuman ramah yang sangat meneduhkan. Aura tenang terpancar dari kedua matanya. "Ella." Gadis itu mengangguk canggung. "Ini yang namanya Nian." Ryan memperkenalkan lelaki terakhir yang sedari tadi hanya diam di tempatnya. Nian mengulurkan tangannya sambil tersenyum simpul. Tidak lebar, tapi masih bisa dikatakan bersahabat. Ella membalas uluran tangan itu sejenak dan segera menarik tangannya. Tangan lelaki itu sangat panas. Hal itu membuat Ella tercenung sesaat sambil memandang dan mengamati wajah Nian yang terlihat pucat. "Anjir!" Radit menyumpah saat petir besar menyambar dan suaranya sangat menggelegar. Angin bertiup lebih kencang dari yang tadi. Kelima orang itu melihat ke sekeliling. Cuaca hari ini memang sedang sangat tidak bersahabat. Bahkan tidak mendukung pertemuan Ryan dengan keempat temannya itu (meskipun yang satu belum juga datang). Sungguh sial. "Ryan." Ella bersembunyi di balik badan lelaki itu. Dia mencengkeram erat sisi pinggang seragam sahabatnya. Matanya sangat awas dengan perkembangan langit yang semakin ganas. Hal itu menarik perhatian Nian. Tidak. Tidak hanya hal itu. Akan tetapi, gadis itu. Sedari tadi, dia memperhatikan gerak-geriknya. Hatinya terasa hangat di sela angin yang terus berembus dingin, memenuhi segala arah. "Kamu takut hujan? Hujan gak gigit kok." Radit mulai mengeluarkan hobinya, menggoda siapa saja yang dia temui. "Tapi, basah." Ella menjawab dengan suara rendah, tapi dapat didengar oleh telinga mereka. "Ya, masa panas. Iya, kali hujan api bukan air." Radit memang tidak segan menggoda siapa pun. "Kalau di neraka mungkin bisa." Sungguh kuatkan tangan Radit untuk tidak mencubit pipi gadis itu. Gemas sekali melihatnya yang masih saja menimpali guyonannya meski matanya sedang was-was dengan langit. Wajahnya sungguh lucu. "Ryan, udahan, yuk. Kita ke sana," bisik Ella sambil menarik-narik lengan pendek seragam Ryan. Dia menunjuk ke tempat duduk di pinggir lapangan yang memiliki atap pengayom. Jarak mereka dengan tempat itu cukup jauh. Harus berjalan setengah lapangan. "Harus sekarang, ya?" Ryan ikutan menggoda gadis itu. Selamatkanlah Ella kita. Ella mengangguk pesimis. Terlihat sekali kalau dia dipermainkan di sini. Ryan kadang suka sekali menggodanya kalau sudah bersama temannya yang lain. Dia sebenarnya tahu itu hanya guyonan. Akan tetapi, ini cukup keterlaluan. Dia, kan, tadi sudah bilang untuk pulang dengan selamat dan tidak mau kehujanan. Ryan terkekeh. "Iya. Iya." "Kalau iya, ya, ayo." Ella sudah tidak bisa sabar. Belum saja mereka melangkah, rintik hujan menghujam bumi dengan begitu derasnya. Tanpa kata-kata lagi, Ella langsung berlari tunggang-langgang ke tempat yang ada atapnya itu. "Hujaaaannn!!!" Teriakannya mengundang tawa empat lelaki yang masih berdiri di tempat mereka itu. "Gemes!!!" Radit meremas-remas tangannya sendiri ke depan. Dia langsung kicep saat ketiga temannya memandangnya dengan tajam. "Cuma gemes doang, kenapa, sih? Tu cewek emang bener gemes. Gue salah?" Dia tidak terima dipandang seperti itu. Seakan dirinya melakukan kesalahan yang fatal. Padahal cuma gemes dengan tingkah Ella doang. "Iya. Iya. Maaf." Radit manyun dan tidak mendapat respons apa-apa dari yang lain. Kasihan memang cowok cerewet itu. *** Ryan menitipkan seragamnya yang setengah basah ke Ella yang sedang duduk di bangku di bawah naungan. Aman dari air hujan. Itu adalah poin terpenting saat ini, bebas air hujan. Dia harus menunggu hingga hujan reda. Juga menunggu permainan basket Ryan dan ketiga temannya itu selesai. "Aku Nian." Suara orang di samping membuat Ella mengalihkan atensinya dari bola yang dimainkan oleh keempat lelaki di sana. Iya, empat. Satu lagi adalah Harris yang tadi disebut Ryan. Ella sempat berkenalan sebentar meski harus merelakan telapak tangannya terbasahi air hujan. Juga ternyata tadi Radit sudah siap-siap bola basket. Makanya, dia riweh cari kunci sepeda motor tadi demi bolanya yang malas dia gendong. Ella memandang tangan yang terulur kepadanya sejenak. Bukannya mereka berdua tadi sudah berkenalan, ya? Namun, tak urung juga si manis membalas uluran tangan lelaki itu. "Aku Ella," jawabnya meski canggung. Nian mengulum senyuman sambil menarik kembali tangannya. "Aneh, ya, aku ajak kenalan lagi?" Mata lelaki itu sangat teduh bahkan lebih terlihat sayu. "Tadi, kan, cuma jabat tangan. Aku belum kenalin diriku siapa." Ella mengangguk mengerti. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi untuk menanggapi. Pun dia masih tertegun degan suhu kulit yang baru saja disentuhnya. Masih sama seperti tadi. Atau bahkan mungkin lebih tinggi? "Kakak sakit?" Akhirnya kalimat itu yang keluar dari bibirnya. Jujur, dia penasaran. Nian malah melebarkan senyumnya. "Cuma demam biasa kok. Gak parah." Aslinya, dia harus menahan hawa dingin yang sedang menyerang tubuhnya karena seragamnya yang masih sedikit basah karena air hujan. "Gak parah gimana? Itu sampe wajah Kakak merah. Tangan Kak Nian juga panas banget. Kak Nian dipaksa buat ke sini, ya, sama Ryan?" Nian tetap tersenyum sambil menggeleng pelan. "Gak mungkin." Ada kekhawatiran yang tampak di wajah Ella. "Kalau Kak Nian dipaksa sama Ryan, bilang aja. Aku nanti marahin Ryan." "Enggak, La." "Terus? Kak siapa itu yang cerewet? Itu? Itu yang maksa Kakak buat ikutan kemari?" Nian menggeleng lagi. Dia mengamati reaksi menggemaskan gadis di hadapannya. Mungkin ini yang selalu dirasakan Ryan saat bersama Ella, nyaman. Sekarang, dia bisa membayangkan bagaimana Ryan selalu menceritakan teman masa kecilnya ini kepadanya. Bahkan, menyebut-nyebut kesukaan gadis ini saat hang out bersamanya. Nian dan Ryan memang sedekat itu sejak Ryan bergabung dengan tim basket daerah di kelas tiga SMP. Dari reaksinya, Nian bisa tahu sedekat apa Ryan dengan gadis ini. "Aku yang ngajak mereka ketemuan di sini." Jawaban Nian itu cukup untuk membuat Ella mengatupkan bibirnya dengan cepat. "Aku yang maksa Ryan buat ke sini. Aku yang maksa Radit, Devan, dan Harris buat ikutan ke sini." Lalu, lelaki itu tersenyum lebar. "Jangan marahin mereka. Marahi aku." Seseorang, bisakah menutupi wajah malu Ella yang sudah memerah seperti tomat ini? Dia hanya bisa menunduk dalam sambil memegangi seragam Ryan yang ada di lengannya. "Maaf. Aku kira mereka yang kelewatan." Nian terkekeh. "Aku yang kebangetan." Hal itu menimbulkan tawa canggung yang hanya bisa dirasakan mereka berdua seiring ritme rintik hujan yang mulai jarang. "Kamu deket banget, ya, sama Ryan?" Pertanyaan itu membuat kepala Ella terdongak. Kemudian, dia mengangguk mantap. "Iya." Nian manggut-manggut, mengerti. "Udah kayak pacar." Mendengar kata-kata sakral itu, Ella refleks menyilangkan kedua lengannya di depan d**a. "Enggak. Tapi, kita beneran gak pacaran kok." Lagi, Nian terkekeh. "Iya, aku tahu. Ryan juga bilang begitu. Aku, sih, percaya aja." Lalu, dia mengulum senyum. Entah rasa apa yang tengah ada di dalam kulumannya itu. "Terdengar tak ikhlas." Ella memang sesensitif itu saat mendengar kata 'pacar', apalagi bila itu dimaknakan kepada hubungan Ryan dan dirinya. Sungguh, mereka hanya teman biasa. "Bukan tak ikhlas. Tapi, kalian bukannya terlalu nempel dengan ukuran teman?" "Kami temenan dari kecil. Jadi, biasa aja kalau kami kayak gitu, 'kan? Like ... memang saling mengerti aja gitu." Nian manggut-manggut. "Iya, juga. Bisa banget, sih, hubungan kayak gitu. Beberapa temenku juga." Akhirnya, dia mengalah. Melihat wajah bete Ella langsung membuatnya sadar bahwa dia sudah memberikan kesan jelek kepada dirinya sendiri. Bahkan bukan ini yang dia mau. Dia tidak mau dikenang dengan kesan yang tidak baik. "Jadi, beneran Kak Nian cuma demam doang?" Ella mengulang topik tadi. Sebenarnya, dia juga tidak bisa meneruskan pembicaraan dengan tema barusan. Sangat canggung dengan ukuran perkenalan mereka yang masih sebiji jagung bayi. "Iya. Habis ini mungkin bakalan sembuh." "Kok bisa?" "Soalnya aku sudah menemukan obat penawar sakitku sekarang." Ella mengernyitkan dahi sambil agak memiringkan kepala. "Di sini?" tanyanya. Nian mengangguk. "Di sampingku ini." Kedua mata lelaki itu menatap lurus ke sepasang mata milik Ella. Dia mencoba untuk menyalurkan keseriusan kata yang baru saja diucapkannya. Dia tidak main-main sama sekali. Kelak kalian akan tahu bagaimana seorang Ella membawa pengaruh besar dalam kehidupan Nian. Bahkan nyawanya. Tanpa disadari pemiliknya, pipi Ella sudah berubah seperti kepiting rebus. Namun, dia berusaha untuk tidak terbawa suasana beratmosfer aneh yang mulai menggelitik perutnya ini. Dia menunduk, tak kuasa melihat ke lawan bicaranya itu. "Maaf, cringe banget, ya? Aku bukan buaya, kok. Aku manusia tulen." Untung, lelaki itu menyadari kesalahan yang seharusnya menjadi pernyataan itu. "Tapi, aku sungguh-sungguh dengan perkataanku. Obatku, di sampingku sekarang." Ella terkekeh. "Kayak judul film ftv aja. Suamiku Sahabatku. Selingkuhan Ayahku Ternyata Bibiku." "Kucingku, Peliaharaanku. Ayahku Bukan Ayahku." Mereka tertawa. "Kamu receh juga ternyata." Nian menghentikan tawanya dan menatap lamat gadis di sebelahnya itu. "Aku bahkan sampai khawatir kalau gak bisa ngajak kamu bicara. Nyatanya, kita nyambung-nyambung aja." "Aku gak semembosankan itu." "Enggak. Bukan itu maksudku. Ryan bilang, kamu sulit bersosialisasi. Jadi, aku kira kamu bakalan canggung aja gitu dengan orang baru." "Memang." "Kok?" "Lama-lama aku terbiasa karena Ryan. Aku gak bakalan bicara dengan orang baru selain yang memang ada di sekelilingku kalau Ryan gak kenalin dan ... merekomendasikan?" "Sudah seperti perabot rumah tangga, ya, Bund?" "Hahaha ... aku gak tahu gitu nyebutnya apa. Pokoknya kayak gitu," jelasnya yang tidak menjelaskan sama sekali itu. "Iya. Iya. Aku paham." "Beneran Kak Nian paham?" Ella merasa aneh dengan lelaki di sampingnya ini. Unik. "Sedikit." Nian mendekatkan antara ujung ibu jari dan telunjuknya. "Mekanya aku ingin kenalan sama kamu biar bisa mengerti kamu banyak." "Ya ampun!" Ella sungguh tidak habis pikir. "Modus banget, astaga, temen Ryan." Nian tertawa lepas. Selepas dia mengumbar beban yang selama ini ada di hatinya. Meskipun ia masih bersarang di sana. Tapi, ini sungguh sangat meringankan. Lega. Hujan mulai mereda. Nian memandang rintik-rintik itu dengan senyuman lebar. Siraman sinar matahari juga ikut andil memberikan panorama setelah hujan di komplek AU ini menjadi indah. Lebih indah bersama gadis yang sekarang masih menunduk malu di sampingnya. Dia suka. Nian mengeluarkan gawainya dan menyodorkan ke Ella. Gadis itu mendongak dengan kedua alis yang terangkat. "Nomor kamu. Boleh aku minta?" Gugup. Ella tidak tahu harus apa selain mengambil benda itu dari pemiliknya dan mengetikkan nomor teleponnya di atas layar sentuh itu lalu mengembalikannya. Sepertinya, dia sedang salah tingkah. "Makasih." Nian berdiri dan diikuti dengan kepala Ella yang semakin mendongak. Lelaki itu sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari Ryan. Padahal Ella juga tidak bisa dikatakan pendek. "Nanti aku bakal nelpon. Gak papa, 'kan?" Lelaki itu menyuguhkan senyum hangatnya untuk ke sekian kali. Hujan benar-benar sudah reda sekarang. Matahari muncul kembali dengan sinarnya yang hangat itu. Ella beruntung mendapatkan dua hal hangat hari ini. Senyuman Nian dan sinar matahari setelah hujan. Suara klakson menolehkan pandangan mereka. Begitu juga dengan empat orang yang bermain basket di sana. Mereka berhenti bermain sejenak. Di seberang lapangan bagian luar sana ada mobil hitam yang terparkir. Kaca jendelanya terbuka dan tampak seorang wanita melambaikan tangannya ke arah mereka. "Aku udah dijemput." Nian menoleh untuk memberikan pamit. "Makasih." Kemudian, lelaki itu melangkah lebar sambil melambaikan tangannya ke arah empat temannya di sana. "Hati-hati!" teriak Radit di samping telinga Devan yang langsung mendapat balasan tempeleng. Ryan membalas lambaian itu. Namun, matanya tidak lepas dari sahabatnya. Ella sedang memandang punggung Nian dengan ekspresi yang tidak dia tahu maknanya. Ini pertama kalinya. Pertama kalinya dia tidak memahami dengan pasti apa yang dirasakan oleh gadis itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD