2. First Time in New Place

3132 Words
Seminggu sebelumnya .... _________________________ Claver Rose Luxury Apartement Melbourne, Australia 22 Maret 2019 *** Seorang gadis berparas Asia tampak baru keluar dari sebuah mobil SUV pabrikan Jerman. Ia menarik kaca mata hitam yang bertengger pada hidungnya. Membawa pandangannya ke atas untuk sejenak memperhatikan bangunan pencakar langit di depan sebelum akhirnya mulai mengambil langkah memasuki gedung bertingkat tersebut. Gadis muda itu berdecak kesal ketika ponsel dalam genggamannya bergetar. Tertera nama ibu di sana. Dengan malas ia pun mengusap layar ponsel. "Hem." Suaranya terdengar berat. Sanggup memberitahu sang ibu betapa kesal putrinya itu saat ini. "Kau sudah sampai? Maaf, ibu tidak bisa menjemputmu di bandara. Ada pertemuan penting dengan istri Konsultan. Ia meminta ibu untuk segera ke kanselari. Kau tahu kan, bagaimana kesibukan Ibu setelah ayahmu menjadi Kedubes," ucap sang ibu menutup kalimatnya dengan nada memelas. "Hem. Sudah, yah. Aku kerepotan membawa barang-barangku," dustanya. Padahal ia tak membawa apa pun selain tas selempang yang mempel di tubuhnya. Untuk apa repot-repot membawa barang jika dia bisa menyuruh sang supir. "Baiklah. Ayah dan ibu akan mengunjungimu besok. Kita akan makan malam bersama. Jaga dirimu. Ibu sangat menyayangimu, putriku." "Hem." Gadis berparas Asia itu melipat smartphone di tangannya. Wajah cantiknya langsung berubah masam. Ia sangat kesal. Hari ini adalah hari pertamanya di Australia. Bulan lalu, ayahnya dipindahkan ke Australia sebagai Kedutaan Besar perwakilan Korea Selatan untuk Australia. Keluarganya harus rela pindah dari Seoul ke Canberra. Jadi, dirinya sebagai anak semata wayang, mau tidak mau harus ikut dengan ayahnya. Namun orang tua Yiseo telah berangkat lebih dahulu setelah ayahnya mendapat surat tugas sementara Yiseo harus rela tinggal di Seoul untuk mengurus beberapa hal, seperti berkas pindah sekolah dan juga perpisahan dengan teman-temannya. Setelah semua urusan itu dituntaskannya, Park Yiseo akhirnya berangkat ke Australia. Ia tak langsung mengunjungi tempat kedua orang tuanya di Canberra melainkan lebih memilih untuk langsung menuju ke Melbourne tempat di mana ia akan melanjutkan studinya. Sebuah apartemen mewah di kawasan elit Melbourne telah dipesankan khusus untuk putri semata wayang sang Kedubes. Hanya seorang supir pribadi dari ayahnya yang menjemput kedatangan gadis itu di bandara. Ini sudah biasa. Orang tua Yiseo kerap kali mengabaikannya. Alasan sederhana dan terlalu sering mereka buat, yah ... hanya seputar pekerjaan. Sejak kecil Yiseo sudah terbiasa diabaikan. Sepanjang hidupnya, ia hanya diurus oleh seorang asisten rumah tangga yang bahkan menjadi ibu kedua Yiseo. Gadis itu sempat berharap jika wanita yang telah membesarkannya itu bisa ikut bersamanya ke Melbourne. Hanya saja, sang wanita telah berumur lanjut dan tak bisa berpergian jauh apalagi menggunakan pesawat. Jadinya, Park Yiseo harus rela berangkat sendiri tanpa pendamping. "Nona," panggil seorang pria bersetelan serba hitam. Yiseo menoleh menatapnya tanpa menyahut panggilan si pria. "Apartemen Anda di unit 08 lantai 101." Yiseo menjawabnya dengan anggukan kepala. Ia berbalik dan langsung masuk ke dalam lift tepat saat pintu lift telah terbuka. "Hahh ...." Hembusan napas kasar terlalu kentara. Ia melipat kedua tangan di depan d**a sambil menatap bayangannya dengan wajah kesal. "Astaga! aku harus ke salon," gumamnya. Lift berjalan dengan cepat membawanya ke atas. Hanya dalam hitungan menit, ia telah tiba di lantai 101. Sebuah apartemen mewah dan megah. Gedung 102 lantai yang dibangun di kawasan strategis Melbourne. Berdekatan dengan sebuah sekolah elit yang dikhususkan bagi anak-anak para kaum eksekutif. TING Pintu lift terbuka. Gadis Seoul itu keluar dari dalam lift. Tangktop dan hotpants berwarna maroon, ditutup dengan outer coat berwarna coklat potongan panjang hingga ke bawah lutut, padupadan dengan sepatu boots beludru maroon membuat kakinya terlihat jenjang. Tampilannya bak idol K-Pop yang terkenal dari negara asalnya. Gadis berambut hitam sebahu itu melangkah menyusuri lorong lantai marmer kemudian tiba di depan sebuah unit VVIP dengan angka 08 di bagian pintu. Dengan santai ia memasukan enam digit angka pada deretan tombol yang terpasang di pintu. Setelah bunyi dari alat itu terdengar, ia pun mendorong pintu. Sejenak gadis itu membawa pandangannya mengitari ruangan. "Ini yang disebut apartemen?" gumamnya dengan raut wajah kecewa. Ia melipat tangan sambil mulai melangkahkan kaki. Matanya masih sibuk mengitari ruangan ini. Sebuah apartemen duplex berada di lantai 101. Terlihat elegan dengan warna putih yang mendominasi. Langit-langit tinggi dengan beberapa lampu mewah yang menggantung di atas. Sebuah lampu kristal tepat di tengah ruangan. Tataan elegan dari lantai satu ke lantai dua. Seluruh ruangan dibuat padat pada sisi kanan. Tampak jelas dengan anak tangga yang disepuh dari pahatan kayu mahoni dengan warna coklat. Di dalam anak tangga tertutup untuk bergerak dari lantai satu ke lantai dua. Park Yiseo mendongak, sejenak memperhatikan apa yang ada di lantai dua. Sepanjang balkon yang dipagari dinding kaca setengah meter. Terdapat perpustakaan kecil di sana, ruang belajar dan sebuah studio. Rak buku masih begitu kosong. Hanya ada beberapa furniture mewah di lantai dua, masih memerlukan banyak sentuhan. Ruang duplex dimaksimalkan dengan kaca tempered yang menjulang tinggi dan membentang luas, seluas isi ruangan. Menampilkan keindahan langit biru dan kota yang ramai di bawahnya. Di ruang tengah ini, Park Yiseo bisa bersantai sambil memandang keindahan kota Melbourne. Menoleh lagi ke kanan, di bawah balkon lantai dua tertata rapi nan cantik sebuah mini kitchen set. Benar-benar minimalis dan mampu memberikan semua kebutuhan yang ia perlukan. Mesin pembuat kopi, dan sebuah mini bar yang tentu saja hanya akan dihiasi beberapa botol minuman tanpa alkohol. Di bagian yang luas samping kiri berjejer dua pintu berwarna putih dengan desain elegan. Pasti salah satu dari tempat itu akan menjadi kamarnya dan satunya lagi akan digunakan sebagai kamar tamu. Sesuai dengan keindahan dangkal duplex, interior dan furniture apartemen ini tidak hanya dipilih dengan cermat dan dari bahan berkualitas tinggi juga dari merek paling bergengsi tetapi juga faktor keamanannya ada di atas untuk bisa menjamin kenyamanan sang pemilik. Park Yiseo menganggukkan kepalanya lambat-lambat. Sedikit mengagumi tempat ini. Hanya saja ia perlu menambah beberapa furniture untuk membuat tempat ini memiliki sentuhan yang sesuai dengan kepribadiannya. "Wow ...." Tanpa sadar Park Yiseo bergumam. Alam bawah sadarnya berdecak kagum melihat suguhan pemandangan di depannya. Park Yiseo semakin melangkah, menghampiri dinding kaca yang membentang luas kemudian membuka pintu kecil di sudut kanan. Ia ingin menyapa udara Melbourne dari teras yang terhubung dengan ruang tengah. Ia semakin melangkah. Sambil memeluk tubuh, Park Yiseo menyandarkan badannya pada besi pembatas balkon. Seketika ia menarik napas panjang. 'Ingat, jangan buat kesalahan apa pun di hari pertama. Aku tidak akan mentolerir jika kau mendapat kasus di hari pertamamu.' "Aish!" Park Yiseo menggerutu kemudian berdecak kesal. Kelebat perkataan ayahnya muncul begitu saja. Tangannya yang terlipat di depan d**a terlihat mengepal dengan kuat. "Sial!" umpat gadis itu lagi. "Park Yibeom sialan!" Yiseo memutar tubuh. Ia sudah terlanjur kesal. Gadis itu kembali menerobos pintu dan masuk ke dalam rumahnya. Ia langsung membanting tubuh pada sofa tunggal berwarna merah yang terletak di tengah ruangan berhadapan langsung dengan sebuah tungku perapian yang tampak elegan dengan sentuhan lukisan Sydney Opera House. Salah satu spot iconic di Australia. Sebuah gambar bangunan cerminan kapal besar. Telah dianggap sebagai salah satu karya terbaik abad ke-20 yang dibangun oleh arsitek Jorn Utzon. Menambah kesan mewah apartemen ini. Hanya saja untuk ukuran remaja seumuran Park Yiseo, ia tentu lebih mengharapkan dekorasi yang lebih cozy daripada elegan. Sesuai dengan kepribadiannya dan cara berpakaiannya. Yiseo jadi harus memikirkan beberapa properti yang harus ia tambahkan untuk membuat ruangan ini bukan hanya nyaman, namun juga berkesan. Park Yiseo tentu harus memamerkan hunian barunya kepada teman-temannya di Seoul. Mereka pasti akan sangat cemburu. Namun, semua itu bisa ia lakukan nanti. Sekarang ia hanya ingin berisitirahat. Astaga, hampir sepuluh jam di dalam pesawat tentu membuat siapa saja merasa kelelahan. "Hahhh ...." Lenguhan napas panjang kembali mengalun kasar dari dalam mulutnya. Gadis itu menutup mata sambil menaruh kedua tangan ke atas sandaran tangan. Tak lengkap rasanya jika tidak memangku kaki. "Hemm." Kini, Park Yiseo tengah berusaha menenangkan diri. Beberapa hari lagi ia akan memulai kehidupan baru. Sekolah dan lingkungan yang baru. Jauh berbeda dari budaya dan kulturnya. Sedikit merasa penasaran dengan kehidupan baru yang sedang menantinya. Apakah ia akan mendapatkan julukan yang sama yang sudah lama ia dapatkan di tempat asalnya? Apakah ia akan memiliki kekuasaan yang sama? Akankah lebih menyenangkan?  "Tentu," gumamnya masih dengan menutup mata. "Aku Park Yiseo dan aku akan selalu menjadi nomor satu." "What the hell ...," gumam seseorang menyahut ucapan Yiseo barusan. Park Yiseo mulai membuka kelopak matanya lambat-lambat. Tampak di depannya, presensi seorang pria dalam balutan kaos oblong berwarna putih dan short pants berwarna abu-abu. Park Yiseo menaikkan tatapan, dilihatnya sebuah kain kecil berwarna putih melingkari leher sang pria. Rambutnya acak-acakan, menetes setitik air dari ujung rambut berwarna hitam nan tebal tersebut. Park Yiseo mengecilkan mata. Perlahan, ia mulai mendorong punggungnya menjauh dari sandaran kursi. Raut wajahnya tampak tenang tak seperti pria di depannya yang terlihat sedikit terkejut. Tampak dari keningnya yang mengerut disertai tatapan penuh curiga. TEK Bunyi sepatu boots yang menabrak lantai marmer dengan kasar terdengar menggema memecah suasana hening. Park Yiseo berdiri. Ia kembali melilit kedua tangannya dan menumpuknya tepat di depan d**a. Sorot matanya tajam menikam pria muda yang tak mau kalah memberikan tatapan sinis padanya. Langkah kaki Yiseo terdengar jelas hingga ke bawah sadar sang pria. "Who are you?" Pria di depan Yiseo kembali bersuara. Keduanya masih saling menatap dengan tatapan menyelidik dan sinis. Yiseo masih tidak bersuara sampai akhirnya ia tiba tepat di depan sang pria. Yiseo mengangkat dagunya tinggi. Mengubah tatapan sinis menjadi arogan. "Who's me?" Akhirnya ada kalimat yang keluar dari bibir Yiseo. Pikir sang pria, Yiseo tidak bisa berbicara atau mungkin tidak mengerti bahasanya namun, melihat bagaimana gadis itu begitu lafal mengucapkan kalimat dalam bahasa Inggris, pria di depannya menarik prespektifnya. Yiseo kembali melangkah, mengikis jarak antara dirinya dan sang pria. Refleks, pria muda di depan Yiseo memundurkan kaki. Ia tak pernah bertemu lawan jenis dengan posisi sedekat ini. Bukan. Sepertinya kalimat itu salah. Pria itu tak pernah bertemu orang lain dan berbicara empat mata dalam jarak sedekat ini dan situasi setenang dan sehening sekarang. "Stop!" teriak pria tersebut, spontan. Yiseo mengerutkan dahi, makin heran. "Hei," panggil Yiseo. Suaranya berubah serak dan pelan. "Seharusnya aku yang bertanya. Who's the f**k'ing are you!" Sang pria tergelak. Sedikit tidak menyangka jika gadis yang telah berani masuk ke dalam apartemennya mampu melayangkan kalimat seperti itu. Ia menatap sang gadis dengan posisi tersinggung lalu berkata dengan penuh percaya diri, "Aku pemilik apartemen ini." Decihan halus mengalun pelan dari bibir Yiseo. Ia mengeleng pelan seraya membawa tatapannya pada dinding kaca di samping tempat mereka berdiri. "Lelucon sialan macam apa ini," gumamnya dengan bahasa Korea sontak membuat sang pria mendelik kaget. "Tunggu, apa kau dari Korea?" tanya pria itu dengan bahasa Korea namun Yiseo tidak terkejut. Ia sudah menimbang semuanya sejak pertama kali bola matanya menatap pria di depannya. Tampak jelas paras Korea Selatan terpatri di wajah sang pria. Hanya saja Park Yiseo terlalu malas menanyakan. Tidak penting juga. "Aku tidak perduli denganmu. Sekarang keluar dari apartemenku. Ck! kenapa juga apartemen semewah ini menampung manusia seperti dia," ucap Yiseo tanpa basa-basi. Yah, gadis sosiopath itu memang tidak pernah menyaring perkataan sebelum keluar dari bibirnya. Apa yang ada dalam hati langsung keluar begitu saja tanpa pertimbangan lebih. Sang pria melongos. Merasa ada satu hinaan yang terselip dari ucapan gadis Park di depannya. "Apa?!" pekiknya. "Apa katamu?" tanya pria itu dengan nada suara yang makin tinggi. Ia berjalan menghampiri Park Yiseo yang tampak santai memeluk d**a. Yiseo mendengus pelan. Ia memutar tubuh lantas menatap penuh celah pada pria yang sejak tadi sudah merusuh dirinya. "Hei, Nona!" Pria itu mendekat. Jantungnya mulai bertalu kencang oleh amarah yang terlanjur mencuat ke permukaan. "Kau yang harus keluar dari sini. Sudah kubilang ini apartemenku. Keluar!" bentaknya sambil menunjuk pintu keluar. Sekilas Park Yiseo mengikuti arah jari telunjuk sang pria. Ia masih terlihat santai walau sudut bibirnya telah terangkat membentuk seringaian. Ia memiringkan kepala dengan tatapan arogan. "Kau bercanda?" tanya Yiseo dengan nada sarkastik membuat pria di depannya cukup tersinggung. "Duplex sweet room nomor 08 lantai 101 adalah milik Park Yiseo," ucap Yiseo sambil menekan setiap kalimat yang ia ucapkan. Bola matanya membulat. Yiseo mendekat, ia mengangkat jari telunjuknya kemudian menekan d**a sang pria lalu kembali berucap dengan nada sarkasme, "Dan kau kecowa sialan, bagaimana kau bisa masuk kedalam apartemenku, ha?!" "Kecowa?!" pekik sang pria. Yiseo mengangkat sebelah alisnya sambil menambah senyum miringnya makin berkembang. Pria di depan Yiseo lagi-lagi tergelak. Ia mendengus. Membuang muka lalu meremas dahinya. "Hei!" bentaknya. Wajah putih sang pria mulai berubah merah padam. Amarahnya makin berkembang menguasai seisi pikirannya. "Aku sudah disini sejak kemarin dan aku sudah membayar lunas tempat ini. Jadi kau!" bentak sang pria lagi. Yiseo menatap sinis jari telunjuk sang pria yang kini tepat berada dua inci di depan hidungnya. "Berhenti mengeluarkan perkataan apa pun dan keluar dari sini," lanjut si pria. Yiseo terkekeh sinis. Ia memutar bola mata lantas menggelengkan kepala. Walaupun gadis itu tahu pasti jika pria di depannya sedang tidak main-main, Park Yiseo tetap tidak mau mengalah. Kalah tak pernah ada dalam kamus seorang gadis bernama Park Yiseo. Demi alam semesta, ia akan menentang siapa saja demi membenarkan pikirannya apalagi haknya. Lagipula ini memang apartemennya. Sesuai dengan yang dikatakan oleh supir ayahnya. Jika memang ia salah masuk apartemen, mana mungkin pintu yang dilengkapi keamanan canggih di depan sana bisa terbuka. Itu mustahil. Yiseo sudah bertindak benar. "Ahh ...." Yiseo kembali memberikan atensinya penuh kepada sang pria yang tengah menatapnya berang. "Di sana," ucap Yiseo sambil menunjuk pintu masuk. "Jika ini apartemenmu, mengapa aku bisa membuka pintu di depan sana, hah? Kau tidak sebodoh itu hingga aku perlu menjelaskan bagaimana fungsi tombol di depan sana." Seketika sang pria terdiam. Ia tak langsung menjawab. Ucapan gadis di depannya ada benarnya. Pintu apartemen ini dilengkapi dengan kode keamanan yang hanya bisa dibuka oleh pemiliknya. Namun, bagaimana bisa dia tahu kode yang hanya diketahui oleh dirinya dan kedua orang tua. "Aku tidak perduli!" kata si pria dengan nada menyentak. "Sebaiknya kau keluar dari sini sebelum aku memanggil petugas keamanan untuk menyeretmu keluar." Yiseo merespon ucapan sang pria dengan tawa sinis. "Astaga ...," gumam Yiseo seraya menggoyangkan kepala. "Ck ck ck!" Yiseo memutar lutut lalu kembali berjalan menghampiri sofa tunggal warna merah yang menjadi tempat duduknya semula. "Hei, ck! Argghhh!" Si pria menggeram. Ia membawa kedua tangan mengusap wajahnya dengan kasar. Sementara itu, di tempat duduknya, Park Yiseo mulai kesal. Selain tidak mendapatkan jemputan yang sesuai keingannya, ia kembali dikejutkan dengan kemunculan seorang pria yang mengaku sebagai pemilik apartemen yang juga milik Yiseo. Ini sulit dipercaya namun gadis Park itu tetap memperlihatkan confidence-nya. Maaf saja, harga dirinya terlalu dijunjung tinggi. Mana bisa ia kalah dari seorang pria yang tak dikenal. Park Yiseo menghela napas lantas merogoh smartphone dari dalam tas selempang yang sejak tadi menempel dengan tubuhnya. Sambil mendengus ia membuka ponsel kemudian segera mencari nama supir ayahnya pada deretan nama di menu kontak. "Ya Nona," "Cepat kau kemari dan urus kekacauan ini," ucap Yiseo dengan bibir yang terkatup. "Kekacauan ap—" TUT TUT Yiseo menutup telepon secara sepihak. Ia kembali memutar pandangan, melayangkan tatapan keras pada pria yang masih berdiri di sampingnya. Yiseo memangku kaki dengan santai. Satu tangan terlipat di depan ulu hati sebagai tempat menaruh siku tangan. Ia menatap jemari jenjangnya dan mulai memainkan kuku-kukunya. "Sebaiknya kau pergi sekarang selagi aku masih menanggapimu dengan ramah. Kau tahu, gadis Korea tak selalu ramah pada sesama manusia yang berasal dari negara mereka," ujar Yiseo tanpa sedikitpun menatap lawan bicara. "Cih!" Sikap Yiseo membuat pria di depannya terus mendecih sinis. Ia berkacak pinggang seraya menggeleng tak percaya. "Apakah seperti ini sifat asli orang Korea? Sepertinya aku harus bersyukur tidak dibesarkan di sana," ucap si pria. Yiseo mengulum bibirnya malas, tampak sangat remeh. "I don't f*****g care," ucap Yiseo. Ia kembali memberi tatapan pada si pria lalu melanjutkan, "kalau begitu kau akan diusir dengan paksa." TING TONG Sang pria mengalihkan tatapan ke arah pintu saat mendengar bunyi bel. Sekilas memberi tatapan keras pada Yiseo yang hanya memanyunkan bibir sambil terus menatap kukunya. Pria berparas Asia itu berdecak kesal. Ia berjalan cepat menghampiri pintu rumahnya dan betapa kagetnya ia saat melihat seorang pria bertubuh kekar dalam balutan jas hitam sedang menunggu di depan pintu rumahnya. Sang pria menurunkan tatapan menatap lima buah koper yang berbaris di samping tubuh si pria bersetelan jas hitam. "Halo," sapa pria bertubuh kekar itu dengan ramah. Sejurus kemudian ia mengerutkan dahi. Dalam hati menimbang keberadaan si pria muda di depannya. "Maaf, Anda ini siapa?" Pria muda itu tergelak ironi. "Astaga! lelucon gila macam apa ini. Apakah ini April mob?" gumamnya lalu meremas dahi. Si pria bersetelan jas hitam sontak mengambil langkah mundur untuk memastikan jika ia telah membunyikan bel rumah milik majikannya. Saat melihat angka 08 di bagian atas pintu, ia kembali mengarahkan tatapan pada pria muda yang masih menunggu dengan raut wajah kesal di depannya. "Permisi," ucap si pria bersetelan jas hitam. "Apakah Anda teman nona Yiseo?" Si pria mengerutkan dahi. "Teman?!" pekiknya sinis. Ia lalu menoleh. Sikapnya membuat sang pria bersetelan jas hitam bisa mendapat celah untuk melihat ke dalam. Seketika Park Yiseo memutar tubuh menghadap pintu masuk. Ia tersenyum dan dengan santai menggerakkan jari menyapa kedua orang pria yang masih mematung di pintu masuk. "Jangmi!" seru Yiseo. Pria bersetelan jas hitam itu pun menjawab dengan penuh sopan, "Ya, Nona Park." "Katakan pada pria itu siapa pemilik apartemen ini," teriak Yiseo. Pria muda yang sejak tadi terlibat adu mulut dengan Yiseo makin mengerutkan kening. Kedua tangan mulai mengepal pada kedua sisi tubuh. Ia menengadahkan wajahnya ke atas, menarik napas panjang sambil membujuk hatinya, mencoba untuk tidak meledak. "Tuan muda, apartemen ini milik nona Park Yiseo dia adalah anak dari—" "Arghhhh!" Ucapan pria bernama Jangmi terhenti saat pria muda di depannya berteriak sambil menghentakkan kaki lantas menggaruk kepalanya frustasi. "Tunggu di sini!" kecamnya. Jangmi hanya bisa terdiam dan mematung saat pria muda di depannya membalikan tubuh dan bergegas ke dalam. Hidungnya kembang kempis. Kedua tangannya mengepal dan ia kembali melayangkan tatapan penuh kebencian yang ia layangkan tepat pada Park Yiseo yang menatapnya dengan pandangan mengejek. Pria muda itu bergegas ke kamarnya. Ia membanting tubuh ke ranjang lalu meraih gagang telepon yang terletak di atas nakas. Dengan kesalnya menekan nomor telepon bagian resepsionis. "Claver Rose Luxury Apartement, ada yang bisa dibantu?" "Suruh petugas keamanan segera ke unit 08 lantai 101," ucap si pria. "Baik, Pak. Sebelumnya apakah Anda bisa mengatakan masalah yang saat ini sedang Anda alami?" Sang pria menghela napas panjang seraya mengencangkan kepalan tangan di atas lutut. Ia mendesah kesal lantas membawa tatapannya ke langit-langit ruangan. "Ada seseorang yang menerobos masuk ke dalam apartemenku dan lebih gila lagi dia tahu password rumahku, bahkan dengan sangat berani mengklaim tempat ini sebagai miliknya. Apakah kalian sedang membuat lelucon?" "Maaf, Pak. Sepertinya ada kesalahan. Kami sedang mengirim tim terkait untuk segera ke unit 08," ucap suara dari seberang sambungan telepon seketika sang pria kembali menghembuskan napas gusar. "Cepatlah. Aku hampir gila," ucapnya kemudian mematikan sambungan telepon. Pria itu berdiam diri di dalam kamar menahan emosi yang mulai meledak. Kepalanya berdenyut nyeri lantas pria itu membanting punggungnya lalu kembali menggeram, "Argghh ... menyebalkan!" _____________ To Be Continue~
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD