1. Prolog
Raja ampat, salah satu daerah yang sering disebut sebagai surga dunia sebab tempat tersebut memiliki keindahan yang begitu luar biasa indahnya.
Mega terkagum-kagum melihat keindahan yang kini ada di depan matanya, ciptaan Tuhan yang begitu sempurna.
Mega banyak mengabadikan momen indah di tempat itu dengan menggunakan kamera ponselnya. Bahkan di beberapa titik yang menurutnya sangat indah, tidak luput dari bidikkan kamera Mega. Puas memotret, Mega harus segera kembali ke ruangan dimana ia akan memulai meeting. Kedatangan nya ke tempat itu bukan untuk berwisata atau hanya sekedar jalan-jalan, tapi Mega datang bersama rombongan kantor untuk menyelesaikan proyek baru di tempat itu.
Ponselnya tiba-tiba berdering dimana nama Burhan muncul. Burhan adalah salah satu manusia yang paling dihindarinya di dunia ini, oleh karena itu Mega mengabaikannya dan lebih memilih menyibukkan diri dengan hal lain.
Proyek Raja Ampat meliputi pembuatan resort berskala besar, Mega dan tim yang berasal dari Mahendra grup bertugas untuk memantau secara langsung proses pembangunan resort. Mega salah satu arsitek yang bertugas mendesain bangunan resort bersama dua orang lainnya.
“Bukankah sebelumnya proyek ini dikerjakan oleh Venus bersama Regan?” Tanya salah satu rekan bernama Dion.
“Benar.” Jawab Mega singkat.
“Kenapa sekarang berpindah tangan pada Rei?” Tanyanya lagi.
“Saya kurang tahu, permisi.” lebih baik menghindari obrolan yang akan membuat Mega kembali teringat akan pengkhianatan yang dilakukannya pada Venus, yang membuat Mega di pecat secara tidak hormat oleh Regan. Hubungan baik yang terjalin selama ini dengan Venus hancur seketika hanya karena uang.
Mega sangat butuh uang, sekeras apapun ia berusaha nyatanya penghasilan yang didapatkannya tidak sebanding dengan pengeluaran yang harus ia tanggung setiap harinya. Jika hanya menanggung diri sendiri, bekerja di Mahendra group sudah sangat cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Gaji yang didapatnya lumayan besar, tapi Mega tidak hanya menanggung dirinya sendiri tapi juga Ayahnya, Rizal.
Ayahnya adalah sumber masalah yang kini menjadi tanggung jawabnya. Mabuk dan berjudi adalah hobi Rizal. Selain itu Rizal pun kerap memukul Mega jika keinginannya tidak terpenuhi.
Langkah Mega tergesa-gesa untuk segera menuju kamar dimana ia tinggal selama di Raja Ampat. Setelah memastikan pintu tertutup rapat, Mega pun meraih ponselnya dan menghela lemah sebelum menerima panggilan dari Burhan. Lelaki itu tidak kunjung berhenti menghubunginya.
“Iya,” Jawab Mega, setelah panggilan terhubung.
“Jangan coba-coba lari dariku, Mega. Kamu sudah telat membayar hutang selama dua minggu!” Ucap Burhan dari seberang sana.
“Minta saja uangnya sama Ayah! Itu uang Ayah, bukan utang ku!” Tegas Mega untuk yang kesekian kalinya.
“Ayahmu sudah tidak sanggup membayar dan sebagai gantinya dia menjadikanmu sebagai jaminan.” Burhan terkekeh penuh kemenangan, sementara Mega hanya bisa mengepalkan tangannya, menahan amarah.
“Jangan mengulur waktu terlalu lama Mega, atau aku akan menjemput paksa kamu di Raja Ampat.” Bahkan lelaki tua bangka itu tahu dimana Mega saat ini.
Mega kalah, bukan berarti ia tidak bisa membela diri tapi kenyataanya sang Ayah memang sudah menjadikannya sebagai jaminan hutang. “Kamu saja jaminan untuk membayar hutang. Lagipula kamu tidak akan rugi dan hanya perlu memuaskan mereka saja.” Ucap Rizal di suatu pagi. Kalimat yang tidak pernah Mega duga akan keluar dari bibir seorang lelaki yang seharusnya melindungi dan menjaganya. Tapi sayangnya lelaki itu justru menjualnya, menjadikannya sebagai alat penebus hutang.
“Aku akan menjemput paksa jika dalam waktu dua hari kamu tidak kembali ke Jakarta.” Tegas Burhan sebelum akhirnya lelaki itu mematikan sambungan secara sepihak.
Mega hanya bisa menghela, meratapi nasibnya yang mungkin akan berakhir sebagai wanita pemuas nafsu. Membayangkannya saja sudah membuat Mega ingin mati saja atau mungkin lebih baik ia mati, menenggelamkan diri di laut sana.
Pikiran Mega benar-benar kacau, ia harus mencari cara untuk melepaskan diri dari ancaman Burhan. Atau lebih baik menyerahkan diri dalam keadaan hancur. Mega mondar-mandir dengan terus menatap layar ponselnya, hingga saat ia melihat Rei sedang berdiri di dekat dermaga, ide gila itu muncul.
Mega menatap pantulan dirinya di kaca, ia merapikan sedikit rambut dan riasan wajahnya. Setelah merasa cukup, Mega pun segera menghampiri Rei yang tengah berdiri seorang diri di dekat dermaga. Entah apa yang dilakukan lelaki itu di waktu sore hari seperti ini atau mungkin ia tengah menunggu matahari terbenam?
Rasanya masih terlalu siang. Apalagi dengan terik matahari yang masih terasa begitu membakar kulit, seharusnya Rei berada di dalam kamarnya menikmati sejuknya pendingin udara dan tidak perlu berpanas-panasan seperti yang dilakukannya sekarang.
Mega meyakinkan dirinya sebelum posisinya dan Rei semakin dekat.
“Pak Rei,” Panggil Mega, yang membuat lelaki itu langsung menoleh.
“Kenapa?” Tanya Rei dengan satu alis terangkat. Jangan harap lelaki itu akan bersikap ramah seperti manusia pada umumnya, ia akan langsung memperlihatkan wajah masam seolah Mega adalah pengganggu.
“Begini, saya mau menawarkan sesuatu.” Mega mulai dilanda gugup.
“Apa?” Rei melipat kedua tangan di d**a.
“Pak Rei mau tidur sama saya? Saya bisa memuaskan Pak Rei malam ini.”