Bab 02

1064 Words
Kami duduk berhadapan di sofa ruang tamu. Sejak tadi Minseok menjelaskan soal kontrak kerja antara aku dan Tuan Oh. "Nah, setelah kau menandatangi kontrak maka secara otomatis kau akan tinggal di sini untuk sementara waktu. Semua fasilitas dan keperluanmu akan ku sediakan, ah satu lagi. Kau tak bisa keluar tanpa persetujuan Sean ataupun aku, mengerti?" aku mengangguk kaku. Tanpa ragu ku bubuhkan tanda tangan di atas materai, dan dengan ini perjalanan baruku akan dimulai. "Eum Minseok-ssi," "Minseok saja, anggap kita adalah teman," lagi-lagi dia tersenyum. "Jika aku boleh tahu ... Sebenarnya siapa Tuan Oh," di luar dugaan. Awalnya aku mengira Minseok akan memberikan tatapan tidak suka atau apapun itu karena aku menanyakan soal Tuan Oh. Tapi nyatanya ia justru tertawa terbahak-bahak. "Sudah kubilang kau itu tidak terkenal," kini ia tertawa kian lebar sembari menunjuk Tuan Oh yang memandangnya datar. Setelah selesai dengan acara tertawanya, Minseok menatapku serius. Aku heran, ia bisa merubah ekspresinya dengan begitu cepat, apa ia mempunyai kepribadian ganda? "Kau sungguhan tidak tahu siapa Sean?" dia mengira aku berbohong? Aku menggeleng kaku, memang kenyataanya aku tidak tahu siapa Tuan Oh. Itu terdengar cukup wajar karena kegiatanku selama ini hanya membersihkan rumah juga bekerja. "Wahhh daebak, aku kagum padamu. Pantas saja manusia satu ini mengincarmu," Mengincar? Apa maksudnya? "Jelaskan saja Hyung," "Oke, oke. Dia Sean, Oh Sean. Dia memiliki perusahaan yang bergerak di bidang textil, dia berumur 27 tahun. Anak kedua dari dua bersaudara …," "Apa Tuan Oh sudah memiliki Istri?" Apa yang salah? Aku hanya bertanya. Kenapa Tuan Oh juga Minseok menatapku seperti ingin menguliti? "Kenapa kau menanyakan hal itu?" oke, sepertinya aku salah bicara. Terbukti dari raut wajah Tuan Oh yang berubah menakutkan dan terlihat kian dingin, bahkan nada bicaranya juga. Tapi masa bodoh, sudah kepalang tanggung. Semoga saja setelah ini aku tidak dipecat. "Maaf atas kelancanganku. Aku hanya penasaran," aku tertunduk. Jujur saja aku takut ditatap seperti itu. "Aku sudah menikah." Jawaban singkat itu membuatku mendongak. Apa katanya? Sudah menikah? Lalu kenapa ia ingin melakukan surrogacy? Bukankah ia bisa mendapatkan anak dari Istrinya? Ku putuskan diam. Sebenarnya masih ada banyak hal yang ingin ku tanyakan, tapi setelah dipikir itu bukan urusanku. Jangan sampai aku kehilangan pekerjaan ini, begitu sulit untuk mendapatkan uang sebanyak itu. Jika aku benar-benar dipecat hanya karena rasa penasaranku maka aku takkan pernah bisa melunasi hutang-hutang keluargaku nantinya. "Eum ... Hana-ssi. Lebih baik kau ke kamarmu saja, ada di lantai dua. Kamar dengan pintu bercat putih," ujar Minseok kemudian. Aku mengangguk dan segera beranjak. Huft benar-benar. Ditatap dengan pandangan dingin juga mengerikan seperti itu membuatku mati kutu. *** Kamar yang ku tempati ternyata cukup luas. Dengan warna dominan putih juga ranjang berukuran besar dan satu lemari pakaian berukuran sama, juga meja rias kecil, terkesan sederhana namun elegant. Aku masih sibuk berkeliling hingga ketukan di arah pintu membuatku menoleh. Kubuka pintu dan mendapati seorang Bibi berusia kisaran lima puluh dengan seragam pelayan tersenyum ke arah ku. Ia menyodorkan beberapa paper bag juga kotak berukuran sedang ke arahku. "Apa ini?" "Pakaian juga ponsel. Tuan Sean memintaku memberikan ini pada Nona," Bibi pelayan menjawab ramah. "Sebelumnya perkenalkan. Nama saya Jung Su In, kepala pelayan di mansion ini, Tuan Sean menyuruhku untuk melayani Nona," aku tersenyum kikuk. Jujur saja ini mengejutkan. Untuk apa ia repot-repot meminta pelayan untuk melayaniku? Bahkan memberiku pakaian juga ponsel, aku bahkan belum mengandung anaknya. "Nona tak perlu bingung. Tuan Sean adalah orang yang baik, ia akan memperlakukan Ibu dari anaknya dengan sangat baik." Oke aku makin tak mengerti. Ibu dari anaknya, ah benar. Aku adalah surrogacy mother. Setelah kepergian Bibi Suin, ku putuskan untuk membersihkan diri. Tapi sebelum itu aku sempatkan untuk menengok hadiah pemberian Tuan Oh. Ya Tuhan. Ini adalah dress paling cantik yang pernah ku lihat. Dress selutut dengan hiasan kecil-kecil di bagian pinggang. Terlihat sederhana namun cantik. Juga... ponsel terbaru. Terlihat sangat mahal, apa ini akan memotong gajiku? Ku harap tidak. Selesai membersihkan diri ku putuskan untuk berbaring sejenak. Menghela napas sambil berpikir. Apa yang ku lakukan saat ini benar? Aku tahu bagi sebagian orang apa yang kulakukan terkesan murahan, tapi sungguh. Aku tak punya pilihan lain. Lagi Pula, keluargaku takkan peduli. Meski aku menghilang mereka tak akan peduli, tapi itu jauh lebih baik. Setidaknya tak ada yang mencariku selama aku tinggal di mansion ini, ya... kecuali sahabatku tentunya. Ketukan kembali terdengar, Bibi Suin berujar jika makan malam telah siap. Aku menyahut seadanya kemudian bersiap untuk turun. Saat aku membuka pintu, ternyata Tuan Oh melakukan hal yang sama. Dan aku baru tahu jika kamar kami bersebelahan. Lagi-lagi aku terdiam. Wajah dinginnya benar-benar membuatku takut, apa ia tidak bisa tersenyum? Aku yakin, jika ia tersenyum akan terlihat makin tampan. Astaga! Apa yang kupikirkan! Makan malam terasa hidup berkat Minseok yang terus menceritakan banyak hal. Ia mengatakan jika mereka memutuskan menginap malam ini, aku mengangguk sambil sesekali menimpali ucapan pria itu. Meski agak berisik, setidaknya kehadiran Minseok cukup membuatku nyaman. Aku tak bisa membayangkan jika hanya ada aku dan Tuan Oh di sini, pasti hanya terdengar suara peralatan makan yang saling beradu. "Hana-ya, kalau boleh tahu kenapa kau menerima pekerjaan ini?" Minseok bertanya dengan mulut penuh. Aku tersenyum kecil melihat tingkahnya yang menggemaskan, pipinya menggembung, membuatnya tampak seperti tupai yang tengah menyembunyikan kacang dalam mulutnya. "Untuk membayar hutang orang tuaku," tanpa sadar suaraku mengecil di akhir kalimat. Aku benci mengatakan ini, tapi setiap kali membicarakan orang tuaku, aku merasa lemah. "Maa...maafkan aku. Tapi, bukankah kau tahu resiko dari pekerjaan ini? Orang-orang bisa menilaimu sebagai gadis …." "Aku tahu. Tapi aku juga tak memiliki pilihan lain. Terlalu sulit mencari uang disaat seperti ini, ku pikir ini adalah jalan satu-satunya." Minseok terlihat gusar, mungkin merasa tak enak hati. Entahlah. Ku tolehkan kepala begitu Tuan Oh menyodorkan selembar cek. Tertera nominal dua puluh juta won di sana, jumlah yang sangat besar. "Sesuai permintaan, pembayaran di muka. Untuk sisanya akan ku bayarkan setelah kau melahirkan," ujarnya sebelum berlalu. Aku hanya diam. Separuh dalam diriku mengatakan jika aku benar-benar terlihat seperti w************n, tapi sebagian lainnya mengingatkan soal hutang yang harus ku lunasi. Entah bagaimana tanggapan orang lain soal aku. Yang ku pikirkan saat ini adalah membalas budi keluarga ku dengan hasil keringat ku sendiri. "Sabarlah. Dia memang seperti itu, tapi sebenarnya dia baik. Hanya saja dia tidak bisa mengekspresikan perasaannya. Dia terlalu kaku." Minseok mencoba menghiburku. Tanpa sadar aku tersenyum tipis. "Fighting!" katanya berbisik dengan dua tangan terkepal di udara. Entah kenapa pria ini terlihat begitu lucu di mataku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD