PRESMA : Terlanjur Mencinta

2. Percobaan

“Tapi Kak ini bukan beneran pacaran kok. Gue sebenernya mau minta tolong supaya lo jadi pacar gue, pacar bohongan doang. Gue gak tau lagi harus minta tolong sama siapa biar orang itu pergi dari gue. Cuma ini yang ada di pikiran gue dan menurut temen-temen gue cuma cara ini yang bisa bikin dia pergi. Kak Alvin ... ayolah. Gue mohon, gue gak tau lagi harus minta tolong sama siapa biar lepas dari orang itu. Kak please ... .”

Alvin menghembuskan nafas kemudian menatapnya dalam diam selama beberapa saat sebelum berujar pelan. “Gue gak tertarik. Silahkan cari yang lain.”

***

Alvin Arsyadinata Jayanegara. Satu dari empat orang terpopuler di kampus. Pemuda bertubuh tinggi tegap dengan kulit tan yang sangat menawan layaknya aktor ternama. Wajahnya tak kalah tampan dari Oppa, dengan suara bariton yang terdengar begitu seksi yang begitu menawan setiap wanita. Alvin sosok yang dingin, dan tertutup. Dia tak pernah memiliki teman dekat lagi selain tiga temannya saat ini. Laura sahabat perempuan yang ia miliki sejak kecil, Gibran sahabat yang ia miliki sejak SMA dan Bastian sahabat yang ia temui di hari pertamanya menjadi mahasiswa. Hanya mereka bertiga orang yang paling ia percayai dan hingga saat ini menjadi sahabatnya.

“Jadi gimana hasil seleksinya? Udah nemu kandidat yang bagus buat jadi pengurus harian?” tanya Laura.

“Sejauh ini masih belum nemu yang meyakinkan buat di isi Bendahara sih. Sekretaris Satu sama Sekretaris Dua kita udah pilih dari Fakultas Kedokteran sama Fakultas Hukum. Koordinator juga udah kita ambil rata dari semua fakultas.” Jelas Bastian, yang ditunjuk Alvin sebagai wakil PRESMA. “Kita bener-bener cuma butuh posisi Bendahara aja, lo tau sendiri gimana pentingnya Bendaraha kan? Apalagi kalo kerja sama Alvin yang uangnya gak pernah abis.”

“Emang lo lagi nyari yang gimana sih Vin? Lo nyari Bendahara kayak nyari calon Bendahara di rumah tangga lo aja. Ribet bener deh, sumpah. Tinggal cari yang berpengalaman, atau gak lo liat evaluasi kerja anak buah lo pas di fakultas, siapa yang kerjaannya kepake sama lo. Comot aja. Tunjuk dia jadi Bendahara. Beres.” Kali ini Gibran yang memberi saran.

Mendengar hal itu Alvin mengalihkan pandangannya pada Laura.

“Ngapain lo liatin gue?”

“Lo harus jadi Bendahara gue lagi Ra. Gue gak mau tau.”

“Gue? Gak usah ngide Vin, lo tau sendiri gue gak bisa. Gue juga udah bilang kalo gue cuma bisa anterin lo sampe sini, sampe lo jadi PRESMA. Gibran gih.”

“Oh! Tidak bisa. Gue aktif di BEM gimana nasib Bapers? Café gue baru buka cuy, jangan aneh-aneh. Kalo bangkrut ribet entar urusannya. Gimana gue bangun masa depan yang mapan buat Bebeb gue?”

“Iya deh iya, Bebeb emang udah lebih penting dari segalanya. Kalian berdua emang bukan temen gue lagi. cuma Bastian temen setia gue.”

“Iya dong! Gue temen setia lo yang bakalan nemenin lo kemanapun.” Bastian merangkul bahu Alvin “Kalo gini ceritanya ... gue di traktir dong? Black card sehari boleh tuh kayaknya.”

Plak!

Belakang kepala Bastian di pukul. “Black card matamu?”

“Cek ... hallo selamat sore semuanya. Jihan di sini. Hari ini ... Jihan akan menemani sore kalian dengan beberapa lagu sampai menjelang malam, selamat mendengarkan.”

Alvin mengalihkan pandangannya kearah panggung kecil yang berada di tengah ruangan. Keningnya mengerut ketika iris matanya menangkap sosok gadis yang tak asing untuknya itu. Alvin menarik ujung bibirnya. Gadis itu mengejarnya hingga sampai di sini atau bagaimana?

“Penyanyi baru?” tanya Alvin.

“Baru? Enggaklah. Dia udah lama, kalian aja yang jarang ke sini sore. Dia manggung cuma dari jam tiga sore sampe jam tujuh malem doang.” Balas Gibran. “Dengerin deh Vin, suara dia mantep bro, bikin adem, untung aja Bebeb gue kenalin dia ke gue, orang-orang banyak yang mau nongkrong di sini berkat suara dia.”

“Lah ... dia kan emang terkenal di kampus, kalian aja yang gak tau.” Kali ini Laura yang menanggapi. “Eh Vin! Dia juga yang dulu lo puji laporan keuangannya rapih banget pas ada event di BEM Fakultas. Bawa dia aja gih jadi Bendahara lo.” Lanjut Laura.

Alvin melongos, Bastian tergelak. “Dia? Kalian tahu gak? Cewek itu ... tadi siang ... dia nembak Alvin bro. Dia minta Alvin jadi pacarnya. Mana maksa lagi. Gini. ‘Kak Alvin, lo harus jadi pacar gue!’. Hebat sih anjir sampe bikin Alvin ngelamun sepanjang dia jalan ke sini.”

“Tutup mulut lo Bas, gue ngelamun bukan mikirin dia ya. Gue mikirin calon Bendahara.”

“Tetep aja kan lo kepikiran?”

“Kagak lah, ngapain gue pikirin?”

“Tunggu. Masa iya sih Jihan kayak gitu? Setau gue dia gak pernah tertarik buat relationship, Fanya juga pernah bilang ke gue dia nolak banyak cowok yang cukup populer, dan terakhir gue denger dia lagi di kejar Erlangga, dia juga di tolak.”

“Dia gak bener-bener minta gue jadi cowoknya, dia cuma minta gue buat jadi pacar bohongan doang.”

“Terus lo tolak?”

“Iyalah. Buat apa pacaran? Mana status palsu lagi.”

“Jadi kalo dia ngajakin pacaran beneran lo mau?” Tanya Laura dengan tenang.

Alvin mendelik lalu menyeringai. “Sejak kapan gue tertarik pacaran?”

“Dua orang yang gak tertarik pacaran ketemu, kenapa gak lo coba deketin Vin? Kali aja cocok.”

“Cocok Mbahmu? Kalian makin sore makin hilang ya kewarasannya. Udahlah mendingan gue balik sekarang.”

“Orang salting gitu. Pasti ngibrit kabur gara-gara malu.”

“Gue gak salting Bambang! Gue ada kerjaan.”

“Vin tapi gue serius. Terlepas dari dia pernah nembak lo atau enggak. Gue rasa dia cocok kerja sama lo. Percaya deh sama gue.” Ujar Laura.

Alvin mengalihkan pandangannya pada Laura. “Gak ada yang lebih cocok sama gue kecuali elo Ra.”

“Pikirin lagi Vin, sampe kapanpun jawaban gue tetep sama. Gue gak bisa.”

Alvin menghembuskan nafasnya kemudian mengangguk kecil. “Gue pamit sekarang.”

“Gak mau kenalan sekarang Vin sama Jihan? Kali aja beneran jodohkan?” seru Gibran, yang membuat Alvin mengacungkan jari tengahnya sebelum berlalu meninggalkan café itu.

***

Duk duk duk!

Jihan terus menerus membenturkan kepalanya pada meja kantin sesekali meringis bukan karena sakit tapi karena meratapi rasa malunya yang sejak sore kemarin belum juga habis. Ia malu ... sungguh malu ketika mendengar namanya di sebutkan oleh Gibran pada Alvin. Apalagi ketika ia hendak pulang Gibran dan kedua temannya yang lain menatapnya seraya mengulum senyuman, seolah ada hal yang lucu pada wajahnya. Saat itulah ia sadar, sebelumnya mereka pasti membicarakannya. Mereka juga pasti membicarakan kejadian dimana ia memaksa Alvin menjadi kekasihnya.

Memalukan!

“Bodoh! Bodoh! Bodoh! Seharusnya kemaren lo gak ngomong kayak gitu Jihan. Harusnya lo gak senekad itu juga ngomong ke Kak Alvin. Gue gak tau malu banget. Malu ... .” rancaunya lagi.

“Udahlah Han lo gak perlu pikirin lagi, Kak Alvin pasti udah lupain kok. Gue yakin. Yang nembak dia bukan cuma elo doang, banyak yang udah nembak dia.” Ujar Dania seraya menepuk-nepuk kepalanya.

“Bener Han, gak usah lo pikirin lagi.”

“Tapi Di, Fan. Bukan masalah itu ... masalahnya temen-temen dia tahu dan sampe nahan ketawa pas liat gue. Dimata mereka gue pasti menggelikan, ngerti gak sih? Kayak cewek gak tahu diri banget gue nembak Kak Alvin. Gue cuma cewek biasa, Mahasiswa Bidikmisi lagi, nembak cowok sekelas Alvin, PRESMA, pangeran kampus yang selalu pake barang branded.” Rancau Jihan lagi seraya mencengkram rambutnya yang sudah tak terbentuk sama sekali.

“Makin lo pikirin makin malu yang ada. udah cuek aja kayak gak pernah kejadian apa-apa. Kalo lo cuek dia bakalan anggap angin lalu kok. Kalo lo kayak gini justru lebih malu.” Kali ini Kevin yang menimpali.

“Gitu ya?” tanya Jihan dengan bibir mencebik, cekung kebawah bagai kurva negatif.

“Han Han Han! Ini bukan saatnya mikirin Kak Alvin deh Han. Itu Si Erlangga lagi jalan kemari, Han. Mana gak ada Bang Dafi lagi.” ujar Fanya panik seraya menepuk-nepuk tangan Jihan dengan sangat cepat. “Gimana ini Han? Anjir. Gue kok ngeri liat mukanya.”

Jihan mencengkram tangan Fanya yang duduk di sampingnya. Ia mulai ketakutan saat melihat senyuman lebar yang diberikan pemuda itu. Senyuman yang menurutnya terlalu mengerikan, senyuman penuh obsesi dan tak mau kalah. “Fan ... gue kudu gimana? Gue lari aja apa ya?”

Terlambat. Erlangga lebih dulu sampai di dekat Jihan, dia bahkan sudah menarik satu kursi untuk duduk di samping kanan Jihan. “Hai Jihan ... Kemaren aku ke kosan kamu loh. Tapi Ibu kos bilang udah dua hari kamu gak di kosan. Kemana aja?”

“Gue rasa dimana pun dia itu bukan urusan lo Erlangga.”

Jihan terkesiap ketika mendengar suara yang ia kenal mengintrupsi ucapan Erlangga.

Erlangga berbalik kemudian terkekeh pelan. “Eh Vin. Ngapain lo di sini? Gue rasa lo gak perlu ikut campur deh. Ini urusan gue sama Jihan. Calon pacar gue.”

Ya! Dia yang tiba-tiba datang adalah Alvin. Jihan bahkan membulatkan matanya ketika melihat sosok tinggi tegap itu berdiri di belakangnya dengan iris mata dingin dan tajam menatap ke arah Erlangga.

Alvin menyeringai. “Calon pacar? Tapi Jihan pacar gue. Jadi siapapun yang gangguin dia itu urusan gue.” Tangan Alvin merambat, merangkul bahunya. Membuat matanya yang masih menatap tak percaya pada sosok itu mengerjap dengan cepat. “Bukan begitu sayang?”

Jihan mengerjapkan matanya lagi lalu meneguk ludahnya kasar, kemudian membasahi bibirnya yang mendadak mengering, gugup di tatap dan dirangkul sebegitu intensnya oleh seseorang yang baru saja kemarin menolaknya mentah-mentah.

“Sayang?”

“Hah? Kak ... bukannya ... .”

“Kalian pasti bersandiwara.” Erlangga mendengus. “Cowok yang gak tertarik pacaran kayak lo mendadak pacaran?”

Alvin mengedikkan bahu. “Sebenarnya kami gak ada niat ngumbar hubungan kami ini. Tapi sepertinya sangat berbahaya membiarkan Jihan berkeliaran tanpa orang-orang tahu statusnya.” Alvin tersenyum. “Apakah sudah cukup jelas Erlangga?”

“Gue masih gak percaya.”

“Terserah. Gue gak perlu pengakuan siapapun buat jalanin hubungan gue sama Jihan.”

Erlangga mengepalkan kedua tangannya, rahangnya bahkan mengatup tajam. Pemuda itu mendengus pelan sebelum akhirnya beranjak pergi meninggalkan mereka.

“Jangan balik lagi Er.” Ujar Alvin.

Jihan mengerjapkan matanya lagi dengan kepala yang masih mendongak ke arah Alvin. Apa yang baru saja terjadi ini? Apakah sekarang Alvin setuju menjadi kekasih pura-puranya?

“Kak ... .”

Alvin mencondongkan wajahnya, membuat ujung hidung Alvin yang lancip bersentuhan dengan ujung hidungnya. Kemudian menyeringai.

“Lo harus tahu Jihan ... pertolongan gue ini ... gak ada yang gratis.”