3. Kesepakatan

1782 Words
“Apa? Logila Kak? Bendahara? Jangan ngadi-ngadi anjir. Tanggung jawabnya berat.”   “Terserah, gue sih simpel aja. Terima syarat gue ini atau gue kasih tahu Erlangga kalo gue cuma pura-pura jadi pacar lo biar dia jauh doang? See?”   Jihan mengerang. Menatap sebal pada Alvin yang menatapnya dengan tatapan dingin dan kedua tangan yang terlipat didada. Tampak tak peduli dengan pendapatnya sama sekali. “Tapi ... Bendahara banget? Please deh Kak masih banyak yang lebih bisa di andelin. Kenapa gue? Biasanya kan Kak Laura. Pas di acara fakultas aja gue ngeri megang duit berjuta-juta. Apalagi sekarang.”   “Gue gak mau denger alesan apapun lagi, sekarang lo tinggal jawab mana yang lo pilih. Gue gak ada penawaran lain.”   Jihan menyandarkan kepalanya pada meja, kemudian mengetuk-ngetukkan kepalanya pada meja itu selama beberapa saat tanpa ada niat untuk menjawab pilihan yang Alvin berikan. Pilihan ini benar-benar berat, tanggung jawabnya sangat besar. Ia tak bisa memutuskannya saat ini juga tapi pemuda itu terus saja menuntut. Tak bisakah dia mengasihaninya sedikit? Sejujurnya ia malas menjadi bagian dari BEM dengan posisi sepenting itu. Ia tak mau ... tapi ... .   “Gue gak punya banyak waktu. Kalo lo gak jawab sekarang itu berarti lo nolak, gue bakalan kasihtahu ke Erlangga sekarang juga.”   Jihan dengan cepat mendongak menatap ke arah Alvin yang tiba-tiba berdiri. “Jangan! Jangan! Iya iya! Iya! Gue setuju iya!”   Alvin menyeringai, pemuda itu kemudian membungkuk mendekatkan wajah mereka dengan tangan yang naik, merambat mengusak puncak kepalanya.   “Pilihan yang bagus.”   . . .   “Sebenernya aku kurang setuju sih deketin mereka berdua kayak gini. Ngeri hubungan mereka bakalan ngaruh ke hubungan kita deh Bii. Kalo mereka ada masalah pasti kita kena imbasnya.”   Fanya yang mendengar itu menoleh menatap ke arah Gibran yang berada di hadapannya. Setelah itu Fanya terkekeh pelan mendengar penyataan tersebut lalu mengerlingkan mata, menggoda yang lebih tua. “Hubungan kita? Emang kita punya hubungan apa Kak?”   ***   Han, aku gak bakalan nyerah   ---   Jihan mendesah pelan seraya menyandarkan kepalanya pada sandaran kursi. Ponsel di tangan kanannya ia hempaskan di atas sofa ruang tengah apartemen sahabatnya, Fanya yang selama beberapa hari ini sudah ia tempati.   Dadanya naik turun, matanya terpejam berusaha menetralisir rasa kesal yang kembali mencuat dalam hatinya pasca membaca pesan tersebut. Ia pikir Erlangga akan menyerah setelah melihatnya bersama Alvin. Tapi ternyata pemuda itu tak menyerah begitu saja, dia bahkan masih berani mengirimnya sebuah chat, seperti yang baru saja ia terima.   “Kenapa Han?”   “Erlangga.” Jihan menegakkan posisi duduknya, menghadap pada Fanya yang sudah duduk di sampingnya dengan membawa dua gelas jus. “Demi Neptunus! Kenapa dia gak nyerah juga sih Fan? Gue pusing! Gue capek banget ngadepinnya. Belum lagi teror dari pacarnya yang ngira gue yang deketin Erlangga.”   Fanya membelalakkan matanya. “Ceweknya Erlangga neror lo?”   Jihan mengangguk lalu memperlihatkan layar benda pipih miliknya itu pada sang sahabat. “Liat aja sendiri.”   ---   Gak usah kegatelan lo sama cowok gua! Jauhin Erlangga atau hidup lo gak bakalan nyaman! Gua gak akan segan sama cewek kayak lo! Anak beasiswa doang! Gak usah belagu! Gak usah sok cantik!   ---   “Ini gak bisa di biarin Jihan, sumpah yaanjir apaan! Dikira si Erlangga seganteng itu apa sampe lo ngejar dia? Cih! Cowoknya yang sok cakep malah nyalahin orang lain.” geram Fanya.   “Kayaknya beneran gak mempan deh cuma dengan pacaran sama Kak Alvin. Lo liat sendirikan tanggepan dia padahal dia udah kena semprot Kak Alvin waktu itu.”   “Gak bukan gak berhasil. Tapi belum. Lo sama Kak Alvin harus buat hubungan kalian lebih jelas. Bentar gue minta Kak Gibran bawa Kak Alvin ke sini deh. Kebetulan agak maleman dia mau maen ke sini, nganterin pesenan gue.” Ujar Fanya seraya meraih ponselnya sendiri, menghubungi sang tambatan hati.   “Eh eh eh! Gak usah! Fanya gak usah. Lagian gue besok ketemu kok, ada rapat perdana BEM.”   “Justru itu! Kalian harus keliatan senyata mungkin didepan orang-orang, apalagi gue yakin pasti ada antek-anteknya si Erlangga di sana. Lo harus tegasin sama dia, lo harus minta kesepakatan. Lo juga ngerasa dibebani bangetkan jadi Bendahara? Berarti yang lo terima dari dia harus sepadan.” Ujar Fanya dengan tangan yang sibuk mengetikkan beberapa kalimat pada ponselnya. Tak lama setelah itu Fanya menatap ke arahnya lagi. “Jangan mendadak lemot deh, lo ini pinter Jihan.”   Jihan hanya bisa pasrah saja dengan kepala yang berputar memikirkan kesepakatan terbaik yang akan ia ajukan pada Alvin beberapa jam yang akan datang. Sebab semua yang Fanya katakan memang benar adanya. Alvin memanfaatkannya untuk beban yang sangat berat baginya, ia pun seharusnya tak ragu mengajukan kesepakatan bukan? Terserah dia akan menerima atau tidak sebab jika hanya seperti ini tak ampuh juga untuk menghilangkan Erlangga dari hidupnya.   Jihan menoleh ke arah jam dinding lalu menatap ke arah televisi yang tengah menunjukan sebuah film. Fanya mengatakan mereka akan datang jam 11 setelah kedai kopi milik Gibran tutup, yang artinya setengah jam lagi mereka akan datang.   Ting nong!   “Kayaknya mereka deh. Bentar gue bukain dulu.” Fanya beranjak pergi meninggalkannya sendiri.   Jihan menarik nafas panjang, meneguk ludahnya kasar ketika merasakan kegugupan yang tiba-tiba menyerang dirinya. Jantungnya bahkan berdegup tak tentu ketika mendengar suara Gibran menyapa Fanya, itu artinya Alvin sudah bersama mereka.   “Kedainya tutup cepet, kasian juga kamunya kalo nungguin pesenan kelamaan.”   Jihan menoleh ke arah lorong dimana Fanya kini meraih sebuah paper bag dari tangan Gibran, di belakang Gibran muncul Alvin yang hanya mengenakan sebuah sandal, celana selutut dan sebuah hoodie berwarna hitam, berbanding terbalik dengan penampilan Gibran yang tampak begitu rapih dengan sepatu, celana jeans kaus dan sebuah jaket bomber, juga tak lupa sebuah topi di kepala. Penampilan Alvin kali ini terlihat sangat santai, sangat berbeda dengan Alvin yang selalu ia lihat di kampus.   “Han, lo masih nginep di sini?”   Jihan mengerjapkan mata kemudian mengangguk kecil. “Erlangga masih terus neror gue, dia terus-terusan bilang bakalan dateng ke kosan gue jadi gue putusin buat nginep di sini dulu sampe akhir minggu ini.”   “Apalagi sekarang ceweknya Erlangga neror Jihan juga Kak. Cewek itu pake ngancem Jihan segala, dia ngira Jihan yang ngejar Erlangga padahalkan cowoknya aja emang dasarnya buaya.” Sergah Fanya yang membawa dua piring berisi ayam goreng dan kentang goreng. “Karena itu juga aku minta Kakak bawa Kak Alvin. Kayaknya yang kemaren gak cukup Kak. Erlangga masih ragu sama hubungan kalian.” Lanjut Fanya sebelum kembali beranjak untuk mengambil minuman lain untuk dua orang pemuda itu.   Alvin yang duduk di kursi tepat di sebelahnya menoleh, menatapnya dengan tatapan penuh selidik, sebelum bertanya. “Jadi mau lo kayak gimana?”   “Kita harus pacaran.” Jawab Jihan mantap.   Kening Alvin bertautan. “Kan udah.”   “Gak cukup cuma didepan Erlangga.” Tambah Jihan.   “Terus?”   Jihan menarik nafas panjang, sebelum menghadap ke arah Alvin lalu berucap dengan berani. “Kita harus pacaran layaknya orang pacaran. Selama kita sama-sama menjabat, gue jadi bendahara lo yang bakalan gue usahain gue gak bakalan ngecewain lo Kak dan lo jadi pacar gue. Pacar selayaknya pacar pada umumnya. Gue gak maksa lo harus romantis, sebiasanya lo pacaran aja.”   Gibran tergelak membuat Jihan mengerutkan kening. “Kok lo ketawa sih?”   “Han ... Alvin kagak pernah pacaran lo nyuruh dia sebiasanya lo pacaran aja. Gimana caranya? Aneh lo. Palingan lo yang minta dia harus kayak gimana, gaya pacaran lo aja.”   “Kak, Jihan juga gak pernah pacaran.” Sergah Fanya yang sudah duduk di sampingnya. “Pacar dia itu cuma buku, sama laptop. Udah. Gak ada yang lain. Gak ada cowok yang dia pacarin.”   “Lah?”   Alvin dan Jihan saling berpandangan. “Serius?”   Alvin hanya mengedikkan bahu, merasa tak perlu menjawab.   Jihan kembali menghela nafas panjang. Bagaimana bisa mereka sama sama nol besar dalam urusan pacaran? Kalau begini bagaimana? Dalam sekejap mereka bakalan langsung ketauan kalo mereka ini sandiwara.   Fanya dan Gibran saling bertatapan kemudian menghela nafas juga sebelum ikut berbaur dengan percakapan sepasang kekasih palsu itu.   “Gini aja deh, lakuin yang kalian mau aja. Vin lo bisa bayangin kalo lo ada pacar lo bakalan kayak gimana. Lo juga Han. Pacaran gak selalu harus nunjukin romantis-romantisan kok. Banyak yang keliatan kayak sahabat biasa yang penting orang-orang tahu kalian deket, kalian pacaran.” Jelas Gibran.   Baik Jihan maupun Alvin hanya menatap ke arah pasangan yang sedang dalam pendekatan tak berujung itu. Menyimak ucapan Gibran dan Fanya yang sebenarnya mereka juga belum pernah menjalin kasih.   Fanya menautkan kedua tangannya dengan senyuman yang merekah, terlihat mendapatkan ide bagus. “Pertama gini. Kalo ada yang nanya sejak kapan kalian deket, kalian mau jawab apa?”   Jihan mengerutkan kening. “Harus mikirin sejauh itu?”   “Biar kalian kayak beneran Jihan.” Ujar Fanya gemas.   “Diesnatalis Fakultas.” Jawab Alvin.   Jihan, Fanya dan Gibran secara kompak menoleh ke arah Alvin. Gibran cukup terkejut dengan inisiatif Alvin yang memberikan solusi, padahal awalnya Alvin sangat menentang status palsu itu. Tapi sekarang kenapa Alvin terlihat semangat?   “Selama itu?” tanya Jihan.   “Itu pertama kalinya kita ada interaksi. Lo jadi bendahara event diesnatalis Jihan. Bilang aja gue mulai deketin lo pas itu, karena gue kagum sama kinerja lo.” Balas Alvin dengan santai, seolah tanpa beban apapun.   Jihan menarik nafas panjang kemudian menghembuskannya lagi setelah itu ia mengangguk setuju. Ucapan Alvin terdengar sangat masuk akal baginya.   “Kalo ditanya kapan kalian jadian. Kalian jawab apa?”   Jihan kembali memutar otaknya. Tak memiliki ide sama sekali. Ia kemudian menoleh ke arah Fanya meminta bantuan.   “Otak gue buntu. Gak bisa dibawa mikir beginian.” Keluh Jihan. “Gue dah pusing gara-gara teroran itu.”   “Satu minggu setelah pemilihan.” Ujar Alvin.   Lagi Gibran dibuat heran dengan ucapan Alvin yang diluar dugaannya. Begitu juga Jihan dan Fanya.   “Bilang aja gue bikin kesepakatan sama lo Jihan, kalo gue menang pemilihan lo bakalan jadi pacar gue. Menurut gue itu alesan terbaik biar bikin Erlangga makin jauh. Kelarkan?”   Gibran semakin tak habis pikir dengan ucapan Alvin. Darimana Alvin menemukan ide seperti itu? Padahal selama ini Alvin tak pernah memikirkan hal-hal romantis tentang skenario pacaran seperti ini. Apakah Alvin di depannya ini Alvin dari planet lain?   “Bagus! Gue setuju! Biar kena tuh mentalnya si Erlangga.” Seru Fanya seraya tersenyum sangat lebar. “Gue yakin orang-orang juga bakalan percaya.”   “Berarti secara gak langsung lo bilang lo yang ngejar gue Kak?” Tanya Jihan.   Alvin berdecak pelan. “Akting Jihan. Akting. Gak perlu lo pikirin seserius itu.” Alvin kemudian menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dengan iris mata yang masih menatap ke arahnya.   “Atau ... sebenernya lo emang tertarik sama gue?”   Mata Jihan membelalak, membulat sempurna.   “Enggaklah! Gilaya lo?!”    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD