bc

ADIKKU (BUKAN) SAINGANKU

book_age16+
295
FOLLOW
3.0K
READ
family
opposites attract
like
intro-logo
Blurb

Ratna dan Farah adalah sepasang adik kakak yang selalu di bandingkan oleh kedua orangtuanya. Perbedaan pengasuhan membuat keduanya tumbuh menjadi gadis yang masing-masing memiliki sifat dan karakternya sendiri.

Ratna yang tetap sabar meskipun sering mendapat diskriminasi, dan Farah yang keras kepala andai semua yang dia inginkan tidak terpenuhi.

Selalu mengalah, banyak bersabar, dan tidak pernah menuntut adalah hal-hal yang selalu di tekankan oleh kedua orangtuanya kepada Ratna. Hal tersebutlah yang membuat Farah merasa seakan-akan dia sedang berada di atas angin.

Lambat laun, kedua orangtua mereka pun menyadari akan kekeliruan yang selama ini mereka lakukan dalam mendidik anak-anaknya. Perlahan, mereka mulai memperlakukan Ratna sama dengan Farah.

Namun, hal tersebut justru menimbulkan rasa tidak suka dalam diri Farah. Bersama Alicia, dia merencanakan hal-hal buruk terhadap kakak mereka. Sampai membawa Farah dalam petaka yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Niat buruknya pada saudara yang berasal dari benih yang sama namun rahim yang berbeda tersebut, membawanya ke dalam keputusan yang tidak dia sangka.

Keputusan fatal yang di ambil Farah, membuat sang ibu kembali membenci Ratna. Terlebih dia hanyalah seorang anak sambung yang bagi sang ibu sama sekali tidaklah berharga.

Hari-hari suram yang di lalui oleh Ratna, membuatnya mengambil keputusan tegas bahwa dia akan ikut bersama dengan Kakek Hadi. Sosok yang selalu mengayominya, dan satu-satunya di keluarga ibu sambungnya yang mau menerima kehadirannya meskipun mereka tidak memiliki hubungan darah.

Bahkan, Ratna sendiri sampai melupakan ibu kandungnya yang dianggap sudah bahagia dengan keluarga barunya. Terlebih, anak dari sang ibu kandung lah yang menjadi dalang dari setiap penderitaan yang di alami Ratna.

Bagaimanakah akhir kisah dari Ratna setelah keluar dari rumah ayah dan ibu sambungnya? Nantikan lanjutan kisahnyaa yaa...

chap-preview
Free preview
Ampun, Ibu!
“Ketika keadilan hanya milik mereka yang bersuara lebih nyaring, maka diam ku adalah luka yang tak pernah disembuhkan.” Semua anak pasti punya keinginan sederhana saat liburan sekolah tiba: pulang ke tempat yang mereka rindukan. Bagi Ratna, tempat itu adalah rumah kakek dan nenek di kampung halaman ibunya. Rumah kayu sederhana di tengah sawah yang sejuk, tempat di mana ia merasa dicintai tanpa syarat. Ratna sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Dia menabung diam-diam, menyisihkan uang jajannya selama berbulan-bulan demi bisa pergi ke sana. Tapi, seperti biasa… rencananya tak pernah jadi kenyataan. Farah, adik yang selalu dimenangkan, tiba-tiba merengek ingin menghabiskan liburan di villa keluarga mereka di pegunungan. Dan seperti biasa pula, ayah dan ibu langsung menyetujuinya. Ratna hanya bisa menelan kecewa. Sudah berapa kali ini terjadi? “Kenapa keinginan Farah selalu jadi prioritas, sementara keinginanku selalu dianggap angin lalu?” pertanyaan itu tak pernah terjawab, bahkan oleh waktu. Kesal? Ya, tentu Saja. Ratna merasa ini adalah ketidakadilan yang sudah berulang kali dia alami. Ketidakadilan atas keinginannya sendiri yang tidak pernah terpenuhi. Berbeda dengan Farah yang hanya dengan sekali ucap saja keinginannya akan langsung terwujud. Ratna tidak mengerti, mengapa kedua orang tuanya selalu mendahulukan keinginan Farah. Apakah karena ia adalah anak pertama yang memang harus selalu mengalah? Apakah menjadi anak pertama akan semenyebalkan ini? Ratna pun sangat tidak mengerti. Padahal jika menelisik kehidupan teman-temannya di sekolah, tidak ada yang bernasib seperti Ratna meskipun mereka sudah memiliki adik. Bahkan, ada diantara mereka yang memiliki adik lebih dari satu. Pernah terfikir dalam benaknya apakah dia adalah anak pungut? Atau anak yang di adopsi dari panti asuhan seperti di film-film yang suka dia tonton? Ah sepertinya tidak seperti itu konsepnya. Lantas, mengapa? *** Suatu ketika, Ratna bertanya kepada Ningsih ibunya. "Bu, Kenapa ibunya Hanin ngomongnya ngga sopan sih sama ibu?" Tanya Ratna kecil kala itu. Sebuah pertanyaan sederhana yang mengubah kehidupan Ratna di masa depan. Sebab, tidak di temukannya lagi Ratna yang ceria dan berganti dengan Ratna yang murung dan tidak pandai bergaul. "Iya, soalnya ibu tadi nasehatin si Hanin. siapa suruh dia tadi isengin Farah." Jelas Ningsih, sang Ibu. "Tapi kan Farah emang yang nakal duluan Bu, tadi dia lempar-lemparin b4tu ke Hanin, sampai tangannya Hanin luka. Makanya ibunya Hanin jadi marah balik ke ibu." Ucap Ratna kepada Sang ibu dengan polosnya. Namun, kesalahan fatal yang di lakukan Ratna kecil adalah berusaha menjadi sosok pahlawan kesiangan untuk teman main adiknya tersebut. "Heh elu tuh gak usah deh belain orang lain. Lu tau apa hah? Adik sendiri di salah salahin, orang lain di bela-belain. Lu mau gua pukul hah? Biar lu tau rasanya di pukul ya sini lu b4ngs4t." Berang Ningsih. Kepala yang penat sehabis berperang mulut dengan ibu dari Hanin teman main anak bungsunya, membuat Ningsih tidak dapat menahan emosinya yang seketika meledak. Mendengar ucapan sang anak sulung yang terkesan lebih membela orang lain dari pada adiknya sendiri, otomatis bagaikan bom atom yang siap meledak saat itu juga. Dia bangkit dari tempatnya saat ini, dan mendekat ke arah Ratna. Bugh bugh bugh Ningsih pun kalap. Dia memukuli anak sulungnya dengan membabi buta. Dalam pandangan Ningsih saat ini, seolah Ningsih mendapatkan sasaran empuk untuk melampiaskan amarahnya yang belum tuntas habis terkuras. "Ampun Bu, Ratna cuma ngasih tau yang sebenernya doang Bu." Bela Ratna kepada Ningsih, dia pun meminta belas kasihan dari sang ibu. Namun, ia sungguh tidak menyangka bahwa reaksi dari sang ibu akan seekstrim ini. "Halah b4cot lu setan. Mulut lu gak bisa di jaga, kurang ajar emang lu." Balas Ningsih lagi dengan sengit. Dia tidak mengindahkan jerit kesakitan dari sang anak sulung. Dia sama sekali tidak peduli, karena memang Ratna bukanlah anak yang dilahirkan Ningsih dari rahimnya sendiri. "Ampun Bu. Ratna minta ampun." Ucap Ratna sambil menahan sakit di sekujur tubuhnya akibat serangan dari sang ibu. Air mata Ratna pun menetes dengan derasnya. Dia teramat sedih dan tak menyangka ibu kandungnya sendiri akan tega berlaku demikian kepadanya. Ningsih pun terus memukuli Ratna tanpa ampun. Dia tidak membiarkan sedetikpun tubuh kecil Ratna lolos dari pukulan tangannya sendiri. Dia benar-benar tidak terima ketika ada yang dengan sengaja menyalah-nyalahkan anak bungsunya. Meskipun yang melakukan itu adalah anak sulungnya, Ningsih tidak gentar. Dia terus saja melampiaskan amarahnya yang kembali memuncak akibat perkataan Ratna. Ningsih betul betul definisi ibu yang tak punya hati. Rasa sakit yang menjalar di tubuh Ratna membuatnya tidak mampu berkata apapun. Apalagi sekedar memohon ampunan kepada ibunya pun dia sudah tak kuasa. Hanya lelehan air mata yang mengalir deras ke pipi sebagai pertanda betapa hancur hatinya saat ini akibat dari perbuatan sang ibu kandung. Bugh Bugh Bugh Ningsih belum merasa puas melampiaskan amarahnya yang sedang berada di puncaknya saat ini. "Ampun bu. Ampun." Tangis Ratna dengan suaranya yang semakin melemah dan bergetar. Ia hanya bisa pasrah andaikan detik ini juga Dia akan menemui malaikat maut. "Makanya elu tuh kalo mau ngomong di pikir dulu. Jangan sembarangan ngomong. Anak gak tau diri dasar lu. Masih untung ya gua mau ngurusin elu. Dari orok lu gua urusin, gede malahan gak tau diri. Sial bener lu anak." Ucap Ningsih, masih dengan emosi yang menggebu. Tidak hanya tangannya yang bergerak lincah di tubuh putri sulungnya. Tapi, bibirnya pun mahir untuk mengeluarkan segala sumpah serapah dan caci maki. Seakan Ningsih lupa jika ucapan seorang ibu akan sangat mudah di aamiin kan malaikat dan menembus langit. "Masuk kamar lu Sono, jangan lu berani keluar kamar kalo kagak gua suruh. Jaga itu mulut, jangan sampe gua m4ki m4ki lu anak si4l." Tambah Ningsih kepada Ratna. Setelah berkata demikian, Ningsih segera berpaling muka tak ingin menatap anak sulung yang baru saja menjadi samsak hidupnya tersebut. Ratna tidak menjawab perkataan sang ibu lagi. Dia langsung beringsut menjauh dari Ningsih. Tidak seperti anak-anak lainnya, saat ini dia tidak ingin berlama-lama berada di dekat Ningsih. Sekarang, tidak hanya fisiknya yang sakit. Hatinya pun telah teramat sakit. Luka psikis yang di alami Ratna tidak akan terlihat dari luar, dan hanya dapat di rasakan oleh Ratna sendiri. Dia tidak menyangka bahwa ibunya akan bertindak se-anarkis ini. Memang ini bukanlah kali pertama Ratna merasakan bogem mentah dari sang ibu. Tetapi, sebelumnya pun sang ibu tidak pernah memukulinya sebrutal itu. Usia Ratna kala itu baru memasuki usia 7 tahun dan saat itu adalah saat-saat tersuram yang dia alami. Tidak ada yang menghiburnya untuk mengobati luka hatinya. Tidak ada pula yang membantu mengompres luka pukulan dari ibunya yang membabi buta. Tidak ada teman yang dapat membantunya mengeluarkan unek-unek dalam hatinya. Semua dia lakukan sendiri, dan hal tersebut yang membentuk Ratna menjadi pribadi yang penakut dan tidak pandai bergaul. Bahkan, dia pun menjadi korban perundungan dari teman-temannya di sekolah. Sungguh miris sekali bukan kisah Ratna ini? *** Hari ini, Ratna kembali menatap koper kecilnya. Ia sudah menabung, merencanakan, bahkan menyiapkan hadiah kecil untuk kakek dan neneknya. Tapi koper itu tetap kosong. Rencana tinggal rencana. Karena seperti biasa, keinginan Ratna tak pernah jadi prioritas. Farah lagi-lagi menang. Dan Ratna, hanya bisa kembali belajar untuk diam. Tapi jauh di lubuk hatinya, ada tekad kecil yang tumbuh perlahan: "Suatu hari, aku akan pergi dari sini. Mencari tempat yang benar-benar menerimaku." ... Bersambung...

editor-pick
Dreame-Editor's pick

bc

Takdir Tak Bisa Dipilih

read
10.2K
bc

(Bukan) Istri Simpanan

read
50.9K
bc

Kusangka Sopir, Rupanya CEO

read
35.6K
bc

Jodohku Dosen Galak

read
30.9K
bc

Pacar Pura-pura Bu Dokter

read
3.0K
bc

Desahan Sang Biduan

read
53.7K
bc

Silakan Menikah Lagi, Mas!

read
13.4K

Scan code to download app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook