2. Overheard their conversation

1572 Words
“Egois, arogan, tidak bisa berempati, minim emosional, dan mengerikan ketika marah. Jika suasana hatinya buruk, dia tidak segan menyiksa siapa pun. Dan kamu tahu bagian terburuknya? Dia melakukan perbuatan kurang menyenangkan selama menjadi marinir. Memperlakukan anggotanya semena-mena layaknya seorang tirani. Lalu ....” “Itu belum semuanya?” Lucia menatap Milda tidak percaya. wanita paruh baya itu menggenggam kedua tangannya dengan gelisah. Setelah melirik kanan kiri yang sepi, dia kemudian berbisik di telinga Lucia. Dan wanita cantik itu dengan perlahan menjadi terkejut. Menatap Milda, Lucia berseru kaget, “Gay?!” Lucia menghela napas pelan sebab perkataan Milda terus-menerus mengisi kepalanya. Awalnya terasa mengganjal. Mengingat Ian adalah anak teman papanya, dan Adeline yang bersikeras ingin menjodohkannya dengan pria ini. Tapi setelah mendengar sifat buruk Ian, dia segera tahu apa yang diinginkan ibu tirinya. Kenapa sifatnya tidak beda jauh dengan Zion? Kalau benar, bukankah sama saja? Dia tetap akan tersiksa. Lepas dari kakak tirinya, malah berakhir dengan kembaran pria itu. “Apa mereka sudah tiba lebih dulu?” Suara ayahnya membuat Lucia menatap ke pintu yang tertutup dalam diam. Ya, benar. Ini hari pertemuan dua keluarga. “Sudah, Pak,” jawab staf restoran yang berjaga. Staf tersebut membuka pintu sebelum menyilakan mereka masuk dengan ramah. “Jangan melamun, Lucia,” bisik Adeline tersenyum sebelum mengikuti suaminya masuk. Dia tampak sangat senang. Setelah menghela napas lagi, dia kemudian ikut masuk ke dalam. "Nadin! Apakah kami datang terlambat? Aku harap tidak." Lukman tersenyum lebar sambil memeluk seorang wanita paruh baya yang Lucia tebak ibu dari Ian. Wanita paruh baya yang bernama Nadin menggelengkan kepalanya setelah pelukan cepat itu terlepas. “Tidak sama sekali. Kami yang datang lebih awal.” Mereka pun saling menanyakan kabar sebagai basa-basi. “Ini Ian, anakku. Ian, beliau ini Om Lukman teman lama ayahmu,” Nadin memperkenalkan mereka setelahnya. Dari Nadin, Lucia kemudian menggeserkan pandangannya kepada seorang pria berbadan sangat besar. Melihat pria itu lebih nyata membuatnya tertegun. Ternyata pria ini lebih tampan dari yang di foto. Dan tubuhnya lebih besar dari yang dia bayangkan. Berhadapan dengan pria sebesar ini, Lucia merasa Ian seperti hewan buas. Kembali pada rumor buruk pria ini, dia tidak akan meragukannya. “Dia gay.” Masih ingat Lucia dengan bisikan Milda waktu itu sampai-sampai membuat dia terkejut. Hanya rumor ini yang membuat Lucia tidak yakin. Pria yang tampak kasar seperti Ian benarkah menyukai sesama jenis? “Senang bertemu dengan Anda,” suaranya terdengar dingin dan kasar ketika berjabat tangan dengan Lukman. Saat itu, Ian menyadari tatapan ingin tahu orang lain dan dia segera meliriknya hingga Lucia seketika menahan napas dan menegang. Dia sedikit kaget dengan cepatnya respons pria itu namun dia kembali memberikan senyuman terbaiknya. “Aku juga. Kamu terlihat bugar ya, Ian.” Lukman tertawa dan Ian kembali menatap Lukman sambil tersenyum tipis. “Ini istri dan anakku, Adeline dan Lucia.” “Salam kenal, Ian. Panggil saja saya Adeline.” “Istriku tidak suka dipanggil Tante. Bahkan Cia juga memanggilnya Adeline.” Ian mengangguk paham. Dia kemudian menatap Adeline sekilas sebelum kembali pada Lucia. Wanita itu tidak lagi tampak takut. Sekarang, dia sedang tersenyum manis. “Kamu ternyata lebih cantik dari foto, ya?” Nadin yang sudah terpana sejak Lucia muncul, mulai menggenggam tangannya. “Salam kenal, Tante Nadin. Saya Cia.” Ian yang mendengar suara sangat lembut itu tiba-tiba berdesir. Matanya berkedut ketika menatap Lucia. Sementara itu, Lucia bukannya tidak menyadari tatapan intens tersebut. Namun dia pura-pura tidak menyadarinya. Demi menjaga kesopanan, Ian mengulurkan tangannya kepada Lucia. Dan di saat mereka saling berjabat tangan, dia sedikit tersentak merasakan betapa lembutnya tangan seorang wanita. Di sisi lain, Lucia yang baru pertama kalinya menyentuh tangan pria selain tangan Lukman dan Zion, mulai mempelajari sesuatu sambil memiringkan kepalanya. Tangan pria besar di hadapannya ini sangat kasar namun terasa hangat. Mengedipkan matanya lambat, Lucia memperkenalkan dirinya, “Cia.” “... Ian,” Ian membalas dengan dahi mengerut. Dia sungguh bingung. Tangan Lucia benar-benar tenggelam dalam tangannya. Dia pikir tangan Maya dan ibunya yang paling kurus. Ternyata tangan wanita ini lebih kurus dari milik mereka. “Mari duduk. Kita bisa memesan makanan sekarang,” seru Lukman menarik perhatian Ian yang segera melepaskan tangan Lucia. Setelah duduk, mereka mulai memesan beberapa menu hidangan. Selama makan, Lukman dan Nadin banyak mengobrol untuk mengenang pertemanannya dengan suami Nadin di masa lalu. Adeline akan mencoba masuk tiap kali dia mengetahui hal baru tentang suaminya. Sedangkan Lucia dan Ian, mereka berdua hanya menjadi pendengar yang baik sambil makan dalam diam. Merasakan jika seseorang memandanginya, Lucia akan membalas tatapan Ian. Dan pria itu akan mengalihkan matanya dengan santai. “Jadi, Lucia. Apa kamu bekerja?” tanya Nadin tiba-tiba membuat dia menatap Nadin di seberang meja. “Tidak, Tante. Cia hanya membantu Papa mengurus dokumen kantor dari rumah.” Nadin mengangguk. “Lalu, apa yang kamu lakukan di waktu senggang?” “Cia suka baca buku.” “Novel?” “Ya. Selain itu, ada juga buku-buku tentang psikologi, motivasi sampai inspiratif.” “Wawasan dan pengetahuan kamu pasti luas ya, Lucia,” Nadin berseru kagum. Tidak menjawab, Cia hanya tersenyum rendah hati. “Oh ya, bukannya kamu bilang punya anak laki-laki, Lukman? Dia tidak ikut?” Tanpa semuanya ketahui, wajah Adeline sedikit berubah. Dia segera mengambil gelas dan meminum air untuk menutupi ekspresinya yang tidak sedap dipandang Lukman menjawab pertanyaan Nadin, “Zion tidak enak badan. Dia adalah kakak tiri Cia. Mereka hanya beda 5 tahun dan sangat dekat. Dia sangat menyayangi adiknya.” Nadin mengangguk paham. Bicara tentang Zion, mana mungkin Adeline membawa anak laki-lakinya kemari. Bisa-bisa Zion menghabisi Ian karena ketidaksabaran dan kecemburuannya pada pria ini. Meletakkan gelasnya, Adeline yang sudah bisa mengatur ekspresinya menambahkan ucapan Lukman, “Padahal dia ingin kemari karena penasaran dengan Ian. Maaf untuk itu.” “Bukan masalah besar. Anak bungsuku juga tidak bisa datang. Ada urusan pekerjaan di kantor cabang di Singapura. Jadi, dia pergi bersama keluarganya pagi tadi.” Adeline tersenyum. Dia kemudian menatap Ian dan berbicara, “Kita semua tahu, makan malam ini hanya bentuk formalitas saja. Tapi, ada yang ingin aku sampaikan dan aku tidak bermaksud menyakiti harga dirimu .... Aku harap kamu setuju dengan perjodohan ini. Jika iya, aku dan suamiku akan ikut membantu ekonomi kalian.” Ian menatap wanita paruh baya di depannya. Sejak tadi, wanita ini kerap kali meliriknya dalam artian buruk. Tentu saja dia bisa merasakannya. “Anda tidak perlu khawatir dengan penghasilan saya, Tante. Saya mampu dan menyanggupi apa pun yang diinginkan calon istri saya kelak.” Balasan dari Ian sontak saja membuat senyuman Adeline membeku. Belum lagi panggilannya menyebabkan dia menggertakkan giginya. Dia sudah bilang cukup panggil namanya saja. Tetapi pria ini tidak mendengarkannya. Sedangkan Lukman yang mendengar jawaban Ian diam-diam mengangguk puas. Selesai makan, mereka tidak langsung pulang ke rumah masing-masing. Mereka lanjut mengobrol sambil menikmati camilan dan minuman. Adeline melirik suaminya sejenak yang tampak menyibukkan Ian berdiri di dekat jendela sebelum berbicara pelan dengan Nadin, “Mbak Nadin, aku harap pertemuan kita malam ini tidak membuat kamu dan Ian merasa tidak nyaman. Jika ada ucapan atau perilaku kami yang kurang menyenangkan, mohon dimaafkan.” Nadin sontak saja tertawa pelan. “Tidak ada yang salah jadi jangan meminta maaf. Malah, bagiku pertemuan ini persis seperti yang aku inginkan, sangat kekeluargaan dan menyenangkan.” Adeline mendesah pelan. “Tapi sikap Lucia tadi kurang ... baik. Tolong maklumi Lucia kami. Dia memang pemalu dan pendiam. Tapi, dia anak yang manis.” “Itu bukan masalah besar.” Adeline bernapas lega. “Senang mendengarnya. Mungkin ini terdengar egois. Tapi, Mbak Nadin, jika takdir Lucia kami adalah Ian, tolong jaga dia. Saya khawatir jika mereka akan tinggal sementara di rumah Mbak Nadin dia akan membuat sedikit masalah di sana. Jika dia bangun kesiangan mohon maklumi. Jangan biarkan dia memegang sapu atau kemoceng dan pergi ke dapur, dia tidak pernah menyentuh itu semua. Kami pun takut jika kulitnya terkena minyak panas akan jelek. Dia mempunyai kebiasaan makan di dalam kamar dan mengurung diri seharian tanpa ingin melakukan apa pun. Tolong suruh pelayan mengantar makanan ke kamar Cia. Dan walaupun dia anak yang boros, Mbak Nadin tidak perlu khawatir. Kami akan mengirim uang tiap minggunya untuk Lucia. Saya yakin, Mbak Nadin dan Ian pasti bisa menjaga dan merawat Lucia kami sepenuh hati.” Selama Nadin mendengarkan perkataan panjang Adeline, wajahnya kehilangan senyuman. Di menghembuskan napas pendek seolah semua sesuai dengan perkiraannya. Kembali tersenyum, Nadin berkata sambil memegang bahu Adeline, “Tenang saja, Adeline. Ian adalah pria yang keras dan cermat. Itu sebabnya dia bergabung di ketentaraan alih-alih menjadi model sampul. Jika Lucia tidak melakukan tugasnya sebagai seorang istri, Ian akan memarahinya. Dan jika perlu, ia akan melakukan tindakan kekerasan seperti yang dilakukannya ke adiknya tersayang.” “Ian ... seperti itu?” Dia mengangkat alisnya merasa tertarik. Betapa mudahnya membuat Nadin menangkap pancingannya. Sekarang, dia semakin senang dengan rumor buruk Ian. Nadin mengangguk. Setelah itu dia secara naluriah menatap anaknya. Dan mendapati bahwa Ian menatapnya datar tanpa ditutup-tutupi, Nadin sontak saja tertawa sambil menutup mulut. “Ya Tuhan. Seperti yang aku duga, Ian selalu mencuri dengar pembicaraanku.” Adeline yang bingung menatap Ian dan Nadine bergantian. “Apa maksudnya, Mbak?” “Ian tahu apa yang sedang kita bicarakan. Makanya wajahnya menjadi tidak senang begitu. Panca indra Ian itu sangat tajam. Apalagi refleksnya yang sangat baik. Sampai-sampai komandannya sangat menyukainya.” Wajah Adeline berubah dan kehilangan warna secara signifikan. Lama sekali dia terdiam dan begitu membuka mulutnya, hanya satu yang dia katakan, “Apa?” Pria itu mendengar pembicaraan mereka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD