Sesuai yang dijanjikan, Ian dan Nadin datang di sore hari. Kedatangan mereka ternyata hanyalah bercengkrama lalu membiarkan Ian dan Lucia menentukan tema pernikahan mereka sendiri. Lukman menyuruh Lucia untuk mengajak Ian melihat-lihat rumah mereka agar mereka berdua menjadi lebih dekat dan semakin terbiasa.
Dan di sinilah mereka, di belakang rumah yang memperlihatkan sebuah kolam renang luas, Ian tiba-tiba bertanya, “Acara pernikahan seperti apa yang kamu inginkan?”
Berdiri di sebelahnya, Lucia mengerjapkan matanya beberapa kali.
“... seluruh biaya serahkan pada saya.”
Lucia masih mengingat ucapan pria ini sangat jelas. Ian tidak ingin menggunakan uang dari ayahnya. Tapi jika dia minta dibuatkan yang sederhana saja, bukankah itu akan merusak harga diri pria ini? Apakah harus pernikahan yang sangat meriah dan mahal? Bagaimana jika itu memberatkan Ian?
“Jangan khawatir masalah biayanya. Pikirkan saja dulu. Ini pernikahan seumur hidup, jangan sampai kamu menyayangkan sesuatu yang tidak bisa kamu dambakan kelak,” tambah Ian.
Seumur hidup ....
Masih dalam diam, Lucia bertanya pada dirinya sendiri. Pernikahan seperti apa yang dia dambakan untuk seumur hidup?
“Cia, kamu di sini?”
Masih dalam keadaan berpikir, suara Zion mengganggu Lucia. Dia dan Ian menoleh ke belakang melihat kedatangan Zion yang memegang sebotol anggur merah.
Pria itu mendekat seraya berkata, “Aku sedang mencari minuman di rak dapur dan melihatmu di sini. Cia, kamu tidak ingin memperkenalkanku dengan dia?”
Saat tatapan dingin Zion menyapa mata tenang Ian, Ian tidak tampak gemetar ketakutan. Tidak seperti Lucia yang berdiri kaku.
Kenapa pria ini muncul di situasi seperti ini?!
Lucia sungguh tidak memprediksi kedatangan Zion di belakang rumah. Rumah seluas ini kenapa pria ini masih bisa mencarinya, sih?!
Melirik Lucia yang diam di sampingnya, Ian mengulurkan tangannya kepada Zion. “Ian.”
Zion memiringkan sedikit kepalanya menatap remeh tangan yang terlihat kuat itu. Setelah itu dia kemudian tersenyum miring sebelum menjabat mantap tangan tersebut. “Zion.”
Dan jabatan tangan itu terlepas cepat seolah tidak ingin berlama-lama melakukannya.
“Oh kakak Lucia, benar? Om Lukman dan Adeline banyak membicarakan dirimu saat kami makan malam.”
Ketika Ian berkata begitu, lirikan mata Zion seketika berhenti pada Lucia.
Lucia menelan saliva. Dengan suara kering, dia berkata, “Kak, ini Ian, calon suami Cia.”
“Ah ...,” gumam Zion samar.
Dia menunduk sambil mendenguskan tawa pelan untuk waktu yang singkat. Mengangkat kembali wajahnya, dia memberikan tatapan yang lembut pada Lucia. Tangannya terangkat kemudian diletakkan di atas kepala Lucia yang menegang, mengusapnya.
“Cia .... Adikku yang cantik. Kenapa adik tercintaku tidak mengatakan apa pun tentangku pada calon suaminya?”
Ketika tangan itu bergerak turun dan berhenti menangkup rahang Lucia, dia menjadi bergidik. Kedua tangan di sisi tubuhnya gemetar kecil dan mengepal. Wajahnya mulai kehilangan warna perlahan. Akan tetapi, ekspresi Lucia masih tampak tenang sehingga baik Ian maupun Zion tidak menyadarinya. Seperti biasa, dia selalu bisa menutupi ketakutannya dengan sangat baik.
Sementara itu, Ian sedikit menyipitkan matanya melihat tatapan Zion yang terasa aneh lalu beralih pada tangan pria itu. Seperti ada yang mengganjal dengan situasi sekarang ini.
“Karena pertemuan kami sangat singkat, kami tidak bisa membahas lebih banyak tentangmu. Tapi, setelah kami menikah, kita akan banyak bertemu. Banyak hal yang bisa kita bicarakan bersama.”
Bibir Zion menukik ke bawah melepaskan Lucia. “Sayangnya kita tidak.” Menatap Ian, sudut bibirnya terangkat sedikit. “Aku akan sibuk bekerja di perusahaan keluarga kami.”
Pernyataan itu sungguh membuat Lucia terkejut. Sejak kapan Zion ingin menyibukkan dirinya dengan hal seperti itu? Pria ini hanya tahu menindas yang lemah dan menghabiskan uang saja.
“Kamu tidak percaya padaku, Cia?” tanya Zion yang menyadari raut wajah adik tirinya.
“Aku ... terkejut Kakak akan bekerja.”
Zion terkekeh pendek. “Aku juga terkejut dengan diriku sendiri. Yah, pokoknya jangan membuatku menyesali keputusanku ini, oke?”
Lucia terdiam karena tidak mengerti maksud Zion.
“Cia-ku sangat cantik, bukan? Jaga dia untukku sampai waktunya tiba, oke?” Zion menatap Ian.
Walaupun ia heran dengan pertanyaan terakhir Zion, Ian tetap menjawab tanpa menunggu waktu yang lama, “Kau tidak perlu khawatir. Aku akan menjaganya seumur hidupku.”
Jawaban itu sontak saja menyebabkan Lucia dan Zion menatapnya kaget. Terlebih Lucia, dia bahkan tertegun dengan hati bergetar. Apakah ini artinya ada kesempatan untuknya tidak akan kembali ke rumah ini lagi? Apakah dia boleh berharap?
Zion yang melihat tatapan Lucia diarahkan ke mana tidak bisa tidak berdecak sebal. Dia tidak senang dengan itu. Jadi, dia menatap Lucia dengan cemberut. “Aku ikut tersentuh. Cia-ku pasti akan merindukanku, iya, kan? Selama seminggu ini, ayo kita habiskan waktu bersama sebelum kamu pergi.”
“... Kakak pasti mabuk, kenapa ... tidak kembali ke kamar?”
“Aku bahkan belum membukanya.” Zion terkekeh sambil mengangkat botol wine.
Zion tiba-tiba saja memeluk Lucia hingga wanita itu kembali menegang dan matanya terbelalak ketakutan. Merasakan tubuh dalam pelukannya gemetar membuat Zion tersenyum bahagia
“Kakak—”
“Ssstt diam dulu,” ujar Zion dengan nada malas.
Sementara itu Ian bisa melihat betapa tidak nyamannya Lucia pun memotong pelukan mereka. Dengan tangan kuatnya, dia memisahkan Zion dari Lucia. “Maaf, tapi kami masih ingin mengobrol untuk membahas pernikahan.”
Zion jelas sekali memberinya tatapan dingin yang bermusuhan namun Ian dari awal tetap tidak gentar sama sekali.
Dia memegang tangan ringkih dan pucat di sebelahnya. Seketika dia menatap Lucia cepat setelah merasakan tangan tersebut gemetar dan kedinginan. Tanpa berbicara, dia mengajak Lucia untuk masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Zion yang masih di posisinya memegang sebotol wine dan menyaksikan kepergian mereka dalam diam.
Sampai waktunya tiba .... Apa maksudnya? Lucia tidak. bisa berhenti memikirkan ucapan Zion yang ini.
Sebelum berbelok masuk ke dalam, Lucia menyempatkan dirinya untuk melihat Zion. Walaupun penerangan di sana sangat minim, dia bisa melihat wajah sendu pria itu kemudian berubah tersenyum. Bibirnya bergerak mengatakan sesuatu tanpa mengeluarkan suara hingga Lucia panik. Dengan cepat dia kembali melihat ke depan.
Tidak mungkin .... Dia tidak mungkin ....
Lucia menatap ke depan dan bayangan bibir pria itu masih terus diulang dalam kepalanya.
‘Tunggu aku.’
Lucia mengernyit. Pria itu merencanakan sesuatu. Dan sesuatu yang tidak dia ketahui membuatnya takut.