Membuka pintu rumah, Nadin menjadi bahagia menatap tamu yang datang.
“Halo, Tante Nadin.” Lucia tersenyum lembut.
“Oh Lucia rupanya, masuklah. Ian sedang membetulkan kran air.”
Lucia mengulurkan kedua tangan yang memegang paper bag. “Ini, Tan. Cia—”
“Duduk, Lucia. Tante panggil Ian dulu. Ian!”
Dan Nadin pergi begitu saja meninggalkan Lucia yang masih memegang bingkisan. Dengan sedikit canggung, dia berjalan ke sofa lalu menunggu dengan tenang.
Sesampainya mendekati Ian, Nadin segera berseru tergesa-gesa, “Cepat ganti pakaian yang lebih rapi. Lucia sudah datang. Ajak dia keluar!”
“Ajak ke mana? Dia bilang cuma ingin ke sini.”
Nadin terlihat bersusah payah untuk mengangkat tubuh besar Ian agar anaknya itu berdiri. Akan tetapi Ian sama sekali tidak bergerak. Dia yang geram memukul pria besar itu bertubi-tubi. “Dia sudah dandan rapi dan cantik, masa iya cuma di rumah? Kamu ini bagaimana, sih? Cepat ganti pakaian, pakai parfum dan bawa dia ke mana saja! Jangan biarkan Lucia menunggu terlalu lama!”
“Tapi, krannya—”
“Nanti Ibu panggil layanannya saja nanti. Apa lagi yang kamu tunggu?”
Melihat betapa aktifnya Nadin, Ian hanya bisa mendesah sebelum melangkah ke kamarnya. Setelah itu Nadin kembali ke ruang tamu dengan senyum lebar. “Tunggu sebentar ya, Lucia. Ian sebentar lagi keluar.”
Lucia mengangguk. “Uhm ini, Tante. Bingkisannya ....”
“Apa ini?” Nadin menerimanya dengan penasaran.
“Kue yang Cia beli sebelum kemari.”
Melihat isi di dalamnya, Nadin tertawa senang. “Oh ya ampun. Pasti merepotkan. Terima kasih, ya.”
“Tidak kok, Tan.”
Ian kemudian datang beberapa saat berikutnya. Dia muncul dengan pakaian yang lebih rapi. Dan Lucia tidak bisa pura-pura tidak menyadari kehadirannya. Ia akhirnya menoleh menatap pria itu yang juga sedang menatapnya.
Ian mendadak termangu. Ia tidak bisa melepaskan pandangannya pada Lucia untuk beberapa saat karena wanita itu terlihat mengagumkan dan sangat cantik.
Nadin yang melihat arah pandang Lucia segera berseru, “Akhirnya keluar juga. Ya sudah, kalian bisa pergi sekarang.”
Ucapan itu membuat Lucia menatapnya cepat dan bingung. “Pergi?”
“Nak, apa lagi yang kamu tunggu? Bawa Lucia jalan-jalan. Ayo, Lucia, berdiri.” Nadin memegang bahu Lucia dan mengajaknya ke luar rumah
Sambil diseret keluar, Lucia menatap Ian yang hanya diam mengikuti mereka berdua dari belakang. Dan akhirnya, mereka berdua sudah berdiri di depan pintu utama. “Anu, Tan—”
Memegang pintu sambil tersenyum, Nadin kemudian berkata, “Have fun, ya.”
Dan pintu tertutup di depan wajah Lucia. Menoleh ke samping tanpa suara, pria di sebelahnya hanya mengedikkan bahu dan berkata, “Ayo.”
***
“Apa tidak masalah meninggalkan Tante Nadin sendirian?” tanya Lucia ketika mereka sudah di jalan raya.
“Ibu akan baik-baik saja,” Ian menjawab, “Jadi, ada tempat yang ingin kamu kunjungi?”
Sambil tersenyum, Lucia mengedikkan bahu. “Entahlah. Mas Ian bisa menentukan tempatnya.”
Jujur saja, itu jawaban yang sulit untuk Ian. Apakah dia membawanya ke mall saja? Dia berpikir jika wanita menyukai tempat seperti itu, seperti adiknya.
Ian menoleh ke samping dan menatap Lucia yang melihat ke luar jendela. Kepala wanita itu bergerak lambat mengikuti area di sana yang merupakan tempat wisata. Dia kemudian berkata, “Kita ke sana saja.”
Lucia pun tersenyum.
Ian dan Lucia menghabiskan waktu sore mereka dengan berjalan santai, berkeliling menatap keindahan tempat wisata tersebut sambil mengobrol singkat tentang berita-berita terkini. Dari apa yang Ian dengar dan perhatikan, dia mengetahui bahwa wanita ini merupakan wanita yang cerdas. Sesekali mereka akan berhenti untuk membeli makanan ringan.
Tanpa sepengetahuan Lucia, Ian memperhatikannya yang sedang menatap permen kapas dengan mata berbinar. Di saat dia menggigitnya dan mengerang pelan, Ian tanpa sadar tersenyum samar.
Mendadak, Lucia menyodorkan permen kapas ke arahnya. Sungguh hal yang mengejutkan Ian.
“Cobalah. Ini sangat enak.”
Ian memperhatikan Lucia sejenak sebelum menunduk canggung dan mengigit sedikit.
“Bagaimana?” Lucia menatapnya penuh harap dan juga antisipasi.
“Manis,” jawabnya jujur dan mendapatkan tawa indah wanita cantik tersebut. Rasanya, tangannya ingin bergerak melakukan sesuatu. Namun, dia dengan sangat cepat mengepalkan mereka ke belakang tubuhnya. Sedangkan matanya menyipit.
Lucia yang menyadari raut wajah tajam itu, bertanya gugup, “A-ada apa, Mas?”
Dia sedikit panik, takut jika dia baru saja membuat kesalahan.
Lalu, ketika Ian menggeleng singkat, Lucia tidak bisa berhenti lega.
“Tidak ada. Ayo ke tempat lainnya.”
“Hmm!” Sambil berjalan di samping Ian, Lucia melirik pria itu diam-diam. Walaupun Ian bilang tidak ada, dia masih bingung dengan apa maksud dari tatapan tajam tadi.
Malam tiba dengan cepat. Sambil menikmati udara dingin malam, mereka berjalan di jembatan kayu di atas laut. Di ujung dari jembatan tersebut terdapat sebuah tempat dengan banyaknya stan untuk jajanan malam hingga makanan berat.
“Kamu yakin tidak apa-apa makan di sini?”
Menoleh, Lucia tersenyum. “Memangnya kenapa? Mas Ian sudah tiga kali menanyakan itu.”
“Aku pikir lebih baik makan di restoran terdekat.”
Tersenyum indah, Lucia berkata, “Kita makan di sini saja.”
Ian dengan ceroboh memberikan senyuman pendek kepada Lucia yang seketika terpana dan mematung. “Oke.”
Ketika Ian lanjut berjalan dan tidak melihat wanita tersebut di sebelahnya, dia sekarang berhenti lagi dan menoleh ke belakang. “Ada apa? Ingin ganti tempat makan?”
Mengerjapkan matanya beberapa kali, Lucia mulai melangkahkan kaki. Tepat saat dia sudah berada di samping Ian, hujan pun turun tetes demi tetes tanpa diundang. Dia mendongakkan kepalanya. Kemudian yang tadinya hanya gerimis berubah menjadi hujan lebat dalam waktu singkat.
Sebuah tangan menggenggam pergelangan tangannya yang tipis menyebabkanya terkejut. Lucia memandangi tangan yang besar tersebut. Dalam sekian detik yang singkat, dia kehilangan akalnya sejenak dan tidak dapat memikirkan apa pun.
“Kamu akan basah, ayo.”
Belum sempat Lucia mengatasi keterkejutannya, Ian sudah menariknya. Dia sengaja berlari lambat agar Lucia bisa mengimbangi langkahnya menuju tempat makan tujuan mereka.
Tiba di sana, tempat itu sudah penuh pengunjung. Sebagian karena masih makan. Dan sebagian lagi datang sebab berteduh karena hujan lebat. Dan karena itu, mereka berdua tidak mendapatkan tempat duduk seperti beberapa orang lainnya yang baru tiba.
“Apa tidak masalah jika menunggu—” Ketika Ian menoleh ke arah Lucia, tatapannya secara naluriah mengarah ke pakaian wanita itu yanh basah dan tembus pandang hingga memperlihatkan bentuk bra. Dia dengan sigap melepaskan jaket yang ia kenakan.
Dan Lucia yang tidak tahu tentang kondisi pakaian bagian depannya hanya melihat gerakan yang dilakukan Ian. Pria itu mengenakan t-shirt berlengan pendek berwarna hitam yang sangat pas di tubuh kekarnya. Bicara tentang kekar, mata Lucia tidak bisa berhenti menatap bisepnya. Itu terlihat besar dan keras. Sangat keras .... Apakah semua tentara seperti ini?
Belum selesai menonton pemandangan yang mengagumkan, dia sedikit kaget ketika merasakan sesuatu disampirkan di atas bahunya. Dia kemudian menunduk dan menatap jaket Ian dengan bingung.
“Kenakan itu.”
“Tapi, bagaimana dengan Mas Ian?”
“Kenakan itu,” Ian mengulangi perkataannya seolah tidak ada tempat untuk Lucia berkompromi terlebih dahulu. Karena Lucia tidak menanggapinya, dia menambahkan, “Pakaianmu basah, kamu akan kedinginan nanti.”
Lucia menunduk. Begitu melihat baju bagian depannya yang basah, kedua pipinya dengan cepat bersemu. Setidaknya pria ini tahu bagaimana caranya mengatakan sesuatu tanpa harus diperjelas. Lucia dengan cepat menggunakan jaket pria itu dan menarik ritsletingnya. Sepanjang dia melakukannya, dia tidak bisa menutupi fakta bahwa dia menyukai aroma Ian yang masih melekat di jaket itu. Bahkan, Lucia sengaja berlama-lama agar dia tetap menunduk untuk mencium aroma khas tersebut.
Baru saja selesai, Lucia kembali dikejutkan dengan gerakan yang tiba-tiba dari Ian, lagi. Dia melirik ke atas saat pria itu membawa rambut panjangnya yang hitam pekat dan basah ke belakang telinga.
“Aku pikir itu mengganggu pandanganmu saat menarik ritsleting,” Ian berkata pelan. Dan setelah itu anehnya tangannya tidak melepaskan rambut Lucia.
Pria itu memandangnya dengan serius. Kemudian sebuah gumaman keluar dari bibir tipisnya, “Lembut.”
“Itu basah.” Lucia tersenyum lucu hendak membalas sentuhannya. “Kening Mas Ian basah juga.”
Baru saja menyentuhnya, Lucia menangkap kerutan tipis di ruang antara alis tebal pria itu. Sebelum dia bisa bertanya, Ian dengan cepat menangkap tangannya membuat dia takut jika aksinya akan dianggap sebagai sebuah rayuan.
“Maaf—”
“Tanganmu dingin,” potong Ian.
Lucia mengerjap bingung dan membatin. Tentu saja dingin, mereka kehujanan.
Ian mengambil tangan Lucia lainnya dan tenggelam dibalik lengan panjang jaket. Setelah memegang kedua tangan wanita itu, dia kemudian menyentuh kedua rahang tirus Lucia. “Kamu kedinginan.”