“Apa kamu suka sesama jenis, Nak?” suara Nadin sangat lembut ketika mereka sedang makan malam dan membuat Ian seketika tersedak.
“Tidak apa-apa jika kamu malu mengakuinya. Ibu tidak marah, kok. Walaupun sedikit tidak setuju, lama-kelamaan Ibu pasti bisa menerima keputusanmu. Jadi, apa pria yang dekat denganmu itu Kevin? Dia memang pria yang manis.”
Ian memejamkan matanya dan membuang napas perlahan, mencoba untuk tetap tenang. “Bu, Ian masih normal.”
Wajah Nadin yang awalnya sedih sudah kembali ceria. “Sungguh? Nak, umurmu sudah matang dan pastinya kamu membutuhkan seorang wanita untuk menemanimu, iya kan? Apa kamu tidak ingin punya anak yang lucu seperti anak Maya? Jika kamu tidak punya waktu, Ibu bisa mencarikan wanita yang baik-baik untukmu.”
Ian sangat memahami maksud ibunya agar dia segera menikah. Jadi dia berkata, “Lakukan apa pun yang Ibu inginkan. Ian akan menerima apa pun keputusan Ibu.”
“Nak,” panggil Nadin menarik kembali perhatian Ian.
Setelah dari makan malam, pikirannya berkelana di hari Nadin menginginkan seorang menantu.
Dia menoleh kepada ibunya dan bergumam pelan sebelum kembali fokus menyetir.
Dua bulan yang lalu, Nadin tiba-tiba membicarakan mengenai wanita dan anak dengannya. Dia pikir itu hanyalah angin lalu. Ternyata, ibunya benar-benar serius dengan tugas mencarikan istri untuk anak laki-lakinya yang hampir dikira menyukai sesama jenis.
Dan kemarin pagi, dia langsung mengirimkan foto wanita cantik lalu menghubungi Ian. Nadin ingin dia pulang karena sudah mendapatkan calon istri untuknya.
“Lukman sudah mengatur pertemuan kita besok malam. Ibu sangat setuju. Karena jika terlalu lama, Ibu takut dia akan diambil orang lain. Kamu sudah lihat, kan wajahnya cantik. Pasti banyak yang menyukainya.”
Demi ibunya, Ian mengambil cuti hari ini.
“Lucia ternyata lebih cantik, ya?”
Ian mengangguk asal-asalan sambil menyetir. “Hm.”
“Kamu suka, kan?”
Ian kembali mengangguk.
“Tapi kamu tidak merasa tertekan, kan dengan keinginan Ibu ini?”
“Tertekan bagaimana, Bu? Ian sangat terbantu.” Ini sangat praktis untuknya.
“Ibu sedikit khawatir. Seperti yang Ibu kira dari orang kaya ....”
Ian menoleh sebentar. Ibunya memang tampak gelisah.
“Apa yang Ibu khawatirkan?”
“Ibu khawatir kamu tidak akan bisa menyesuaikan angaran bulanan untuk Lucia nanti. Belum lagi dia pasti membutuhkan asisten untuk mengurus rumah kalian setelah mendengar ucapan Adeline tadi. Tapi, kamu tidak miskin-miskin juga, iya kan?” Nadin mengusap bahu anaknya dengan senyum lugunya.
“Di tempat tinggal kita, keluarga kita yang paling kaya, lho. Bu RT saja sampai meminjam uang dengan Ibu. Jadi, satu orang asisten pasti bisa kamu sewa.” Nadin yang sebelumnya memiliki perasaan rendah diri mulai mengeluarkan energi positif.
Ian menggeleng pelan. Di saat dia kembali melirik Nadin, dia bertanya, “Apa Ibu tidak setuju dengan wanita pilihan Ibu sendiri? Ibu menjelekkan anak Ibu di depan Adeline.”
Nadin menghembuskan napas pelan. “Adeline berkata itu keegoisannya, tapi menurut Ibu dia terdengar seperti menjelekkan anaknya. Apa Ibu salah dengar, ya? Dan, Ian, apa kamu tidak masalah jika Lucia ingin membatalkan perjodohan ini begitu tahu kamu orang yang suka main tangan?”
“Hanya Ibu yang berpikir seperti itu.”
“Tapi Maya selalu mengadu ke Ibu tiap kali kamu merundungnya,” ejek Nadin.
Dan Ian menatap ke depan tanpa bisa mengelak.
“Besok kamu masih cuti?”
Ian mengangguk. “Lucia berkata ingin ke rumah kita besok.”
“Sungguh?” Nadin berseru nyaring. “Nak, sepertinya dia mulai tertarik denganmu. Ya Tuhan, ternyata Lucia suka tipe pria yang kasar!”
Dan Ian menatap ibunya datar. Mana ada wanita yang suka dengan pria kasar!
***
Di hari berikutnya, Lucia sedang membaca novel di kamarnya. Ketika mendengar ketukan pintu dari luar, dia mendesah. Akhirnya makan siangnya datang juga. Menoleh ke pintu dan hanya melihat Milda saja tanpa membawa nampan makanan, Lucia memiringkan kepalanya.
“Di mana makananku, Milda?”
Milda membasahi bibirnya sebelum berkata gelisah, “Zion ingin kamu makan bersamanya di ruang makan.”
Dan wajah Lucia berubah tidak senang.
Berjalan dengan santai di koridor panjang, Lucia bertanya, “Ketika kami pergi tadi malam, pelayan mana yang diganggu dia?”
“Itu Ainur.”
Mendapat jawaban dari Milda, Lucia langsung bergegas menuju ruang makan.
Tiba di ruang makan, dia melihat Zion yang sudah duduk di depan meja panjang yang penuh dengan hidangan lezat dari ujung ke ujung. Pria itu sedang menunggunya dengan tenang. Wajahnya terlihat cemberut dan jarinya yang berada di atas meja makan mengetuk meja dengan tempo teratur. Di saat dia mendengar suara sandal dari hak rendah milik Lucia matanya segera meliriknya.
“Duduk, Cia. Kita sudah lama tidak makan bersama, kan?”
Pria itu dalam suasana hati yang buruk, dia tahu itu.
Lucia mengambil napas dalam sebelum melanjutkan langkahnya dan duduk di mana piring kosong sudah diletakkan, yaitu di dekat kursi kepala di mana Zion duduk.
Memegang sendok dan garpu, Zion memandangi Lucia yang mengambil nasinya dengan santai dan makan dalam diam. Perilaku yang seolah tidak ada yang akan membuat wanita itu ketakutan membuat Zion murung. Dan karena itu dia menjadi tidak memiliki nafsu makan sama sekali walaupun menu makan siang hari ini sungguh menggiurkan. Bersandar di belakang kursi, Zion meletakkan peralatan makannya di atas piring dengan kasar dan menimbulkan suara.
Lucia di sisi lain hanya melirik piringnya sekilas dan kembali makan dengan tenang.
Sungguh menjengkelkan. Membawa kedua tangannya bersedekap di depan dadanya, Zion hanya memperhatikan Lucia. Setelah berjalannya waktu, wanita itu sengaja tidak responsif padahal jelas-jelas dia bisa melihat Zion yang tidak makan sama sekali. Bagaimana bisa wanita ini menelan makanannya ketika suasana hatinya sungguh buruk? Yang dia inginkan sekarang adalah Lucia yang menanyakan kenapa dia tidak makan lalu membujuknya.
Dia menatap ke pelayan yang bersiaga tidak jauh dari mereka dan berpikir sebentar. Mungkin melakukan hal yang sudah sering dia lakukan bisa membuat wanita ini kembali ingat akan dirinya yang lemah di dalam rumah yang besar ini. Dengan begitu, dia memanggil pelayan itu dengan gerakan jari. Setelah pelayanan itu berjalan mendekat, dia kemudian memberi perintah, “Panggilkan seseorang kemarin. Jika aku tidak salah ingat namanya Ainur.”
Nama itu membuat Lucia yang sedang minum secara refleks berhenti sejenak. Zion bisa merasakannya membuatnya tersenyum. “Urusan kami belum selesai tadi malam.”
“Ta-tapi, Ainur sedang sakit—” Pelayan itu gemetar saat Zion meliriknya dingin.
“Dia masih bernapas, kan?”
Lucia tiba-tiba berdiri. “Cia sudah selesai—”
“Kembali duduk,” Zion memotong ucapannya dengan tenang.
“Tapi—”
“Cia, kamu tahu kakakmu ini bukan orang yang sabar.” Tatapan dingin Zion sekarang diarahkan kepadanya.
Lucia mengepalkan kedua tangan. Dia menghirup napas dan membuangnya perlahan sebelum kembali duduk.
Menatap Lucia sambil tersenyum, Zion berkata ke pelayan, “Cepat panggil dia kemari.”
***
“Lima jam,” di ruang makan bergaya Eropa klasik, Zion berbicara, “aku menghabiskan waktu selama itu dengan penuh pikiran buruk.”
Suara isakan pelan terdengar samar dalam suasana suram tersebut, mirip seperti cicitan tikus bagi Zion.
“Seperti, apa yang dilakukan adikku tersayang di sana? Apakah dia sedang tertawa saat itu? Sampai, apa hasil akhir makan malam kalian. Yah, untungnya ada seekor tikus yang menemaniku bermain selama waktu itu.”
Isakan kembali terdengar.
Zion menurunkan pandangannya rendah ke lantai di mana seorang pelayan muda bersimpuh dengan wajah menunduk. “Kamu tidak ingin melihat mahakaryaku, Cia?”
Lucia yang sedari tadi menatap ke depan, berusaha untuk tidak melihat pelayan menyedihkan itu.
Zion mencondongkan tubuhnya dan menjambak rambut pelayan tersebut hingga kepalanya terangkat. “Hei, kau pasti marah, iya kan? Tapi jangan salahkan aku. Orang yang harusnya kau marahi dan hardik adalah Cia-ku. Dia mau saja pergi ke pertemuan sialan itu.”
Tubuh pelayan tersebut gemetar di depan Zion membuatnya terhibur. Ditambah lagi air matanya semakin kuat keluar. “Cia, lihat wajahnya.”
“Aku kelelahan—”
“Aku bilang lihat wajahnya,” Zion berkata dengan suara lembut yang membuat Lucia bergidik.
Lucia dengan perlahan melirik Ainur di samping, yang bersimpuh di antara dia dan Zion. Zion memaksa kepala Ainur untuk menghadap Lucia membuat dia bisa melihat wajah pelayan itu dengan sangat jelas.
Sudut bibir wanita itu memar dan area sekitar mata kanannya bengkak. Mengepalkan tangannya di bawah meja makan, wajah tanpa emosi Lucia menatap wanita menyedihkan dengan ekspresi memohonnya. Dia baru saja menyelesaikan makan siangnya. Karena tampilan itu, perut Lucia bergejolak ingin mengeluarkan apa yang dia telan sebelumnya. Dan dia berusaha untuk menahannya.
Lucia pikir dia akan terbiasa. Akan tetapi walaupun telah melihat ini setiap kali Zion kesal, dia tetap saja terganggu.
Memandang Lucia yang pasif membuat Zion menghela napas singkat. Dia berkata pada pelayan lain, “Ambilkan tongkat golf Lukman.”
Lucia terkesiap. Sedangkan Ainur segera bersujud dan tangisannya pecah.
“Tolong maafkan saya, Tuan Muda!”
“Gadis ini sungguh aneh. Kau tidak salah apa pun, kenapa minta maaf?” Zion tertawa. “Mana tongkat—”
“Kakak belum makan dari tadi. Ingin memakan hidangan lain?” Lucia bertanya lembut menghentikan pelayan yang ingin melangkah, sambil menatap Milda.
Dan Milda yang mengerti segera berlari kecil mendekat untuk mengambil piring Zion. Lalu Lucia dengan sigap mengisi piring baru untuk kakak tirinya.
“Bagaimana dengan salmon?”
“... Hm.”
Setelah dia meletakkan piring tersebut di depan Zion, pria itu mulai melepaskan Ainur kemudian mengulurkan tangannya di atas meja. Lucia melihat sejenak tangan itu sebelum meletakkan tangannya di atas tangan Zion.
Begitu pria itu menggenggam tangannya, dia seketika menegang.
Dalam diam, Milda yang tangkas segera membantu Ainur berdiri dan membawanya kembali ke kamarnya.
“Apa kamu menyukai pertemuan kalian tadi malam?” tanya Zion dengan suara pelan.
Lucia tidak menjawab.
Zion masih ingat perbincangannya dengan ibunya mengenai perjodohan kali ini. Dia tidak setuju dan hampir memecahkan seluruh barang di dalam kamarnya. Dan Adeline tiba tepat saat itu untuk menenangkannya.
“Tentu saja Mama tidak setuju dengan perjodohan itu. Dia pria yang kasar. Tapi, ini kemauan Lukman.”
“Mama bilang dia pria yang kasar. Kamu yakin ingin menikahi dia, Cia?”
Lucia pikir pria ini harus berkaca lebih dulu sebelum berkata seperti itu.
“Mau aku meminta Lukman untuk membatalkan perjodohan itu?”
“... Zion, Adeline yang mengajukan perjodohan ini.”
Zion tiba-tiba menegang setelah mendengar nama ibunya keluar dari mulut wanita yang ia cintai. Dia mendongak dengan perlahan dan menatap Lucia dengan tatapan kosong. “Apa?”