CHAPTER 01

1573 Words
Hari ini adalah jadwal bagi Lily untuk melakukan pemeriksaan rutin di rumah sakit. Dia sudah ada janji dengan dokter Dave yang merupakan dokter sekaligus kekasihnya. Ya, Lily memang menjalin hubungan dengan dokternya sendiri. Hubungan mereka memang belum lama terjalin, namun Lily mengenal dokter Dave sudah cukup lama. Dulu Lily sempat di rawat di rumah sakit ini dalam jangka waktu yang cukup lama karena penyakitnya. Hal itu membuatnya dekat dengan dokter maupun perawat disini. Dan disitulah dia bertemu dengan Dave. Saat itu Dave belum menjadi dokter spesialis seperti sekarang. Mereka bertemu ketika Dave sedang menjalankan co-ass untuk menyelesaikan program pendidikan spesialisnya. Kebetulan dokter pembimbing Dave adalah dr. Richard―dokter yang menangani Lily saat itu. Sejak saat itulah Lily dan Dave mulai dekat dan berakhir menjalin hubungan seperti sekarang ini. Jika diingat-ingat rasanya masih seperti mimpi. Lily sama sekali tidak menyangka bahwa dia dan Dave akan berakhir menjadi sepasang kekasih. Dia memang menyukai Dave, bahkan sudah sejak lama. Namun dia tidak menyangka Dave akan membalas perasaannya. Semuanya terasa seperti mimpi―mimpi yang indah hingga rasanya Lily enggan untuk kembali bangun. “Pagi, Mrs. Johnson,” sapa Lily ketika berpapasan dengan perawat yang ia kenal. Lily mengenal hampir seluruh perawat disini dan Mrs. Johnson merupakan salah satu perawat yang cukup dekat dengannya. “Pagi, Sayang. Hari ini jadwal check-up mu?” balas wanita itu begitu ramah. “Ya, aku sudah membuat janji dengan dokter Dave dari seminggu yang lalu.” Karena pasien Dave bukan hanya dirinya saja, maka dia harus membuat janji terlebih dahulu. “Kau pasti sudah menantikan hari ini,” kata wanita paruh baya itu sembari tersenyum menggoda. Lily memutar bola matanya malas. Dia lelah selalu digoda seperti ini. Seluruh perawat―bahkan juga para dokter disini sudah mengetahui hubungan antara Lily dengan Dave. Mereka sering menggoda Lily setiap kali dirinya datang ke rumah sakit untuk menemui Dave. Padahal niatnya kemari memang murni untuk pemeriksaan rutin saja, bukan untuk yang lainnya. Lagipula Dave pria yang sibuk. Lily tidak mungkin datang kemari hanya untuk merecoki Dave saja. Meski ia sering merindukan Dave, sebisa mungkin Lily berusaha untuk tidak menganggu pekerjaan kekasihnya itu. Lily paham bagaimana sibuknya menjadi seorang dokter. Dia tau karena selama bertahun-tahun dia juga ikut mengamati bagaimana pekerjaan para dokter selama ia berada di rumah sakit ini. Dan Lily bisa melihat bagaimana sibuknya mereka. Jadi, meskipun Dave tidak pernah meluangkan waktu untuknya atau bahkan tidak sempat untuk mengabari dirinya, dia akan berusaha untuk mengerti. Kekasihnya bekerja untuk kehidupan orang banyak. Dia bekerja siang malam untuk memperjuangkan hidup banyak orang, jadi dia tidak boleh egois. Dave bukan hanya miliknya, waktu Dave juga bukan hanya untuknya. Banyak pasien disini yang lebih membutuhkan Dave dibanding dirinya. “Berhenti menggodaku, Mrs. Johnson.” “Baiklah, aku tidak akan menggodamu lagi. Pipimu sudah semerah tomat, aku jadi tidak tega melihatnya,” kata Mrs. Joshnson sambil tertawa kecil. Tanpa sadar tangan Lily terangkat meraba kedua pipinya. Dia memang merasakan panas di kedua pipinya. Padahal Mrs. Johnson sudah sering menggodanya seperti ini, namun dia masih belum juga terbiasa dan selalu bereaksi seperti ini. Benar-benar memalukan! “Aku pergi dulu Mrs. Johnson. Semoga harimu menyenangkan,” pamit Lily sesegera mungkin. Dia tidak mau Mrs. Johnson melihat pipinya yang kini semakin memerah. “Ya, hati-hati anak manis.” Lily melangkahkan kakinya dengan cepat. Sesekali dia masih meraba kedua pipinya, memastikan pipinya tak lagi memerah. Akan sangat memalukan jika Dave melihat dirinya dalam kondisi yang seperti ini. Janji temunya dengan Dave adalah jam sembilan. Masih ada waktu sepuluh menit lagi, mungkin dia bisa mampir ke toilet sebentar untuk merapikan diri terlebih dahulu. Lily melihat ada toilet di ujung sana, tanpa ragu dia langsung memasukinya dan berjalan menuju wastafel disana. Dia menyalakan kran air kemudian mulai mencuci tangannya disana, sesekali dia melirik cermin di depannya untuk memastikan bahwa penampilannya hari ini sudah cukup baik. Setelah mengeringkan tangannya dengan hand dryer di samping wastafel, Lily pun mulai membenahi tampilan rambutnya yang terlihat sedikit mencuat. Hari ini dia harus tampil sempurna di hadapan Dave. Bertemu dengan Dave adalah sesuatu yang langka, jadi dia harus bisa memanfaatkan pertemuan kali ini dengan baik. Selesai dengan rambutnya, Lily kini mulai meraba bibirnya. Dia merasa liptint yang ia pakai kini sudah mulai memudar. Haruskah ia memolesnya lagi?―pikirnya dalam hati. Dengan segera Lily menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Dia merasa begitu konyol. Dia kesini untuk pemeriksaan rutin bukan untuk kencan. Lagipula selama di rumah sakit, Dave adalah dokternya bukan kekasihnya. Seharusnya dia lebih bisa menempatkan diri, bukannya bersikap kekanak-kanakkan seperti ini. Karena waktu sudah hampir menunjukkan pukul sembilan, Lily pun bergegas menuju ruangan Dave. Dia harus tiba tepat waktu. Dia tidak boleh membuat Dave yang ‘super sibuk’ menunggunya. Ruangan Dave sudah terlihat di depan. Lily melirik jam tangannya sekilas, syukurlah dia tiba sesuai dengan janji temunya dengan Dave. Lily mulai memelankan langkahnya, dia melirik sedikit pintu ruangan Dave yang terlihat agak terbuka. Sepertinya Dave sedang ada tamu―pikirnya ketika melihat ada seseorang di dalam ruangan Dave. Lily juga bisa mendengar sayup-sayup pembicaraan di antara mereka. Lily merasa tidak sopan jika dia mendengarkan pembicaraan mereka di dalam sana, jadi dia memutuskan untuk pergi menjauh. Namun dia mengurungkan niatnya ketika dia mendengar namanya disebut-sebut dalam pembicaraan kedua orang tersebut. “Perawat disini bilang namanya Lily, apa dia cantik?” Itulah sepenggal obrolan yang membuat Lily mengurungkan niatnya untuk pergi. “Jangan termakan gosip,” balas seseorang yang Lily hafal betul suaranya. Itu adalah suara Dave, Lily yakin itu. Lily semakin penasaran. Jika saja ini bukan menyangkut dirinya mungkin dia tidak akan peduli. Namun mereka membawa-bawa namanya, wajar kan jika Lily ingin tau? “Ck, aku yakin berita itu benar. Jadi kapan kau akan mengenalkan Lily kepada ibumu? Mrs. Hamington terus saja menanyakan siapa kekasihmu kepadaku, hal itu membuatku pusing,” keluh pria yang Lily sendiri tidak tau itu siapa. Suaranya terdengar asing bagi Lily. Dia yakin pria itu bukanlah salah satu dari dokter atau perawat disini. “Jangan dipedulikan.” Nada suara Dave terdengar tidak peduli, membuat Lily tiba-tiba merasa sedih. Dia jadi ragu akan pentingnya dirinya bagi Dave. “Akan lebih baik jika kau mengenalkan Lily kepada ibumu. Dia kekasihmu kan? Lagipula cepat atau lambat kalian juga akan menikah, anggap saja ini langkah awal untuk mengakrabkan Lily dengan ibumu.” Lily menunggu jawaban Dave dengan cemas. Dia penasaran dengan jawaban Dave, namun disisi lain dia juga merasa takut. Lily memilin jari-jemarinya, tanda bahwa saat ini dia sedang gugup. “Kami tidak akan menikah.” Dan ketakutan Lily menjadi kenyataan. Tiba-tiba dadanya terasa nyeri, rasanya seperti ada palu raksasa tak kasat mata yang memukul tepat di jantungnya. Rasanya sakit sekali. “Apa maksudmu?” “Hubungan kami hanya cukup seperti ini saja. Lagipula alasanku menjadikan Lily kekasih hanya sekedar untuk menyemangatinya agar sembuh. Jadi, berhenti bicara omong kosong.” Kalimat demi kalimat yang dilontarkan Dave membuat nyeri di dadanya semakin menjadi-jadi. Lily tidak tahan lagi. “Kau tidak mencintainya?” “Jangan berpikiran terlalu jauh.” Sudah cukup! Lily menyeret kakinya menjauh dari sana. Dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk segera pergi dari ruangan Dave. Untungnya keadaan lorong rumah sakit sedang sepi, sehingga Lily tidak perlu khawatir ada orang yang melihat dirinya terseok-seok seperti ini. Nyeri di dadanya terasa semakin menyakitkan, membuat Lily tak lagi sanggup untuk berjalan. Kakinya sudah lemas. Lily terjatuh bersimpuh dengan isi tasnya yang kini ikut berserakan di lantai. Dilihatnya botol pill yang selalu ia bawa kemana-mana menggelinding menjauh darinya. Dengan sisa tenaga yang tersisa, Lily merangkak mencoba untuk menjangkau. Ya, Tuhan… rasanya begitu sulit―batin Lily merasa frustasi. Dia membutuhkan obat itu sekarang, jika tidak mungkin dia akan mati saat ini  juga. Dan entah mendapat kekuatan dari mana, tangan yang tadinya terasa lemah akhirnya mampu untuk menjangkau botol obat miliknya. Dengan segera Lily segera mengambil sebutir obat dengan serampangan membuat beberapa butir obat lainnya ikut berserarakan keluar. Namun Lily tidak peduli. Dengan segera dia menenggak pill tersebut tanpa pikir panjang. Namun rasa sakit di dadanya masih tak tertahankan. Tangannya meremas d**a kirinya dengan begitu erat. Dahinya terlihat berkerut menahan sakit. Lily tidak tahan lagi, ini terlalu menyakitkan. Entah kapan obat itu akan bekerja. Lily mencoba menenangkan dirinya. Mencoba mengatur nafasnya perlahan seperti yang diajarkan Mrs. Johnson dulu. Panik hanya akan membuat rasa sakit ini semakin menjadi-jadi, Mrs. Johnson bilang tenang adalah kuncinya. Selama dia sudah meminum obatnya, maka semuanya akan baik-baik saja. Dia hanya perlu tenang sembari menunggu obatnya bekerja. Sedikit demi sedikit sakit pada dadanya mulai berkurang. Lily menghela nafasnya lega. Dia selamat dari maut, lagi. Tiba-tiba Lily merasakan matanya memanas. Tetes demi tetes mengalir dari sudut matanya. Rasa sakit di dadanya sudah menghilang, namun dia masih belum beranjak dari tempatnya. Dia masih bersimpuh di atas lantai lorong rumah sakit yang sepi dengan isi tas yang berserakan di sekitarnya. Lily merasakan air matanya semakin deras. Rasa sakit di dadanya kini berganti dengan sesak. Rasa sesak karena lagi-lagi perasaan itu datang lagi. Perasaan tidak berguna, perasaan putus asa, dan perasaan-perasaan menyakitkan lainnya. Rasa yang sudah lama ia kubur, kini kembali muncul ke permukaan. Dulu ia merasa percaya diri dengan kondisinya sekarang karena Dave, dan lucunya laki-laki itu juga yang kini merusak rasa percaya dirinya. Mungkin kalimat-kalimat menenangkan dari Dave dulu hanyalah sebuah bualan belaka. Lily salah mengartikan ucapan dari Dave dulu. Lily pikir ucapan laki-laki itu tulus, namun ternyata tidak. Lily juga berpikir bahwa pernyataan cinta Dave kepada dirinya juga tulus, namun ternyata juga tidak. Semuanya bohong. Semuanya palsu. Lily merasa begitu bodoh. Harusnya dia bisa membedakan mana rasa cinta dan mana rasa kasihan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD