CHAPTER 02

1718 Words
Saat ini Lily sedang duduk di salah satu bangku taman rumah sakit. Lily bersyukur karena taman hari ini terbilang sepi. Sejujurnya dia membutuhkan waktu sendiri, dan kondisi taman saat ini sangat mendukung keadaan Lily. Sekarang Lily sudah mulai sedikit tenang. Saat ini dia sudah tidak lagi menangis. Sakit di dadanya juga sudah agak baikan. Untung tadi dia masih sanggup untuk meraih obatnya. Jika terlambat sedikit saja, mungkin Lily akan berakhir di ICU. Lily bersyukur karena tuhan masih memberikannya kesempatan hidup. Tangan Lily terangkat manyentuh d**a sebelah kirinya―tempat dimana jantungnya berada. Hati Lily selalu saja gundah setiap kali penyakitnya kembali kambuh. Padahal beberapa hari ini kondisinya sudah membaik. Dia juga sudah mulai jarang mendapatkan serangan seperti tadi. Namun hari ini dia mendapati penyakitnya kembali kambuh, dan dia jelas tau apa penyebabnya. Dari dulu dia memang sudah diwanti-wanti oleh dokter maupun para perawatnya untuk selalu bisa mengontrol emosi dan perasaannya. Dengan kata lain dia tidak diperbolehkan untuk terlalu membebaskan isi hatinya. Dia tidak boleh terlalu senang dan dia juga tidak diperbolehkan untuk terlalu sedih. Dia tidak punya kebebasan untuk melakukan sesuatu, baik untuk fisik maupun untuk perasaannya. Setiap kali Lily merasa terlalu senang atau terlalu bersemangat, jantungnya akan terasa nyeri seperti tadi. Dan jika dia terlalu banyak berpikir dan merasa tertekan maka jantungnya juga akan mengalami serangan seperti tadi. Dan kali ini alasan kenapa jantungnya kembali terasa nyeri adalah karena alasan kedua. Hari ini Lily merasa begitu sedih, tertekan, dan juga hampa―dan itu semua disebabkan oleh satu orang, yaitu Dave. Lily menghela nafasnya perlahan. Dia tidak menyangka sosok yang dulu pernah membuatnya bangkit, kini justru menjadi alasannya kembali terpuruk. Hidupnya memang selucu itu. Di tengah kegiatan melamunnya, Lily merasakan ponsel di dalam tasnya berdering. Namun Lily mengabaikannya. Saat ini dia sedang tidak ingin berbicara dengan siapapun. Tidak lama setelah itu deringan pada ponselnya pun berhenti―membuat Lily diam-diam menghela nafas lega. Namun tidak lama setelahnya, ponselnya kembali berdering. Hal itu membuat Lily jengah dan mau tidak mau dia mulai mengambil ponsel tersebut dari dalam tasnya dan kemudian melihat kontak yang tertera disana. Ternyata Dave… “Halo,” sapa Lily yang pada akhirnya memilih untuk mengangkat panggilan tersebut. Awalnya dia ingin mengabaikannya lagi, namun setelah ia pikir-pikir pasti akan aneh jika ia tiba-tiba bersikap seperti itu. “Kau dimana? Masih di jalan?” tanya Dave dengan suara bass-nya.  Biasanya suara itu selalu bisa membuat suasana hati Lily membaik, namun tidak untuk kali ini. “Maaf, Dave. Sepertinya aku harus melewatkan jadwal pemeriksaanku untuk hari ini, bisa kita atur jadwalnya di hari lain?” “Kenapa? Kau sakit?” tanya Dave yang terdengar begitu khawatir di telinga Lily. Dengan cepat Lily menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba untuk mengusir pemikiran tidak berdasarnya. Sadarlah Lily! Dave tidak pernah mencintaimu, laki-laki itu hanya kasihan kepadamu! “Y-ya sedikit tidak enak badan. Tapi aku baik-baik saja,” jawab Lily sedikit ragu. Dia memang payah jika diminta untuk berbohong. “Kau di rumah?” Lily menatap sekitarnya dengan gugup. Apakah dia harus berbohong lagi? “Y-ya, aku di rumah,” jawab Lily dengan menelan ludahnya gugup. Pada akhirnya dia berbohong, lagi. “Kalau begitu biar aku yang kesana, kebetulan hari ini jumlah pasien juga tidak terlalu banyak.” “Tidak perlu!” ucap Lily panik. “A-aku…aku hanya ingin beristirahat. Tidak bisakah jadwal pemeriksaanku diundur di hari lain?” tanya Lily kepada Dave. Lily menggigiti ujung kukunya dengan perasaan cemas. Dia sangat berharap Dave mau mengiyakan permintaannya. “Jangan khawatir, aku tidak akan membuatmu melakukan prosedur pemeriksaan yang melelahkan untuk hari ini. Aku kesana hanya untuk melihat kondisimu saja.” Lily semakin gelagapan. Dia tidak bisa membiarkan Dave datang ke rumahnya. “Tidak perlu, kau tidak perlu kemari. Aku ingin beristirahat untuk seharian ini, aku sedang tidak ingin diganggu oleh siapapun.” “Termasuk olehku?” Terutama olehmu!―ucap Lily dalam hati. “Ya, termasuk olehmu.” Lily terlihat menundukkan kepalanya sedih. Jika saja dia tidak mendengar percakapan Dave dengan temannya tadi, mungkin saat ini Lily akan mengiyakan tawaran Dave dengan senang hati. Namun masalahnya kini ia sudah tau semuanya. Dia sudah tau bagaimana perasaan Dave yang sesungguhnya. Laki-laki itu tidak pernah mencintainya, baik dulu maupun sekarang. “Kau terdengar aneh, kau yakin kau baik-baik saja?” “Aku bilang aku baik-baik saja!” ucap Lily mulai kesal. Lily langsung menggigit bibir bawahnya begitu sadar akan sikapnya kepada Dave. Dia tidak bermaksud untuk membentak pria itu. Lily hanya kesal―bukan kesal kepada Dave, dia hanya sedang kesal dengan dirinya sendiri. Lily kesal karena ternyata dia masih belum bisa menerima kenyataan jika selama ini Dave tidak pernah mencintainya. “Bisa aku tutup telfonnya sekarang? Aku ingin segera tidur.” “Baiklah, selamat beristirahat. Jangan lupa kabari aku setelah kau bangun nanti.” Lily tidak membalas dan langsung menutup panggilan mereka begitu saja. Gadis itu terlihat menengadahkan kepalanya, mencoba mencegah air matanya yang ingin keluar. Cukup Lily, jangan menangis lagi… Lily kemudian mencoba untuk mengatur nafasnya. Dia harus tenang. Dia tidak boleh sampai lepas kontrol, atau jantungnya akan kembali kambuh seperti tadi. Setelah merasa agak baikan, Lily pun mulai menegakkan kepalanya kembali. Gadis itu terlihat memasang senyum termanisnya―hingga membuat lesung pipit di pipi sebelah kirinya terlihat. Orang mungkin akan mengira Lily gila karena tersenyum-senyum sendirian di tengah taman seperti ini. Atau mungkin orang akan mengira dirinya sedang dimasuki roh halus yang berasal dari rumah sakit ini. Tapi Lily tidak peduli. Mrs. Johnson bilang ini adalah terapi yang bagus untuk membuat perasaan selalu baik. Mrs. Joshson bilang dia harus selalu tersenyum meski tidak ada hal baik yang terjadi. ‘Kau tidak membutuhkan hal baik untuk bisa tersenyum. Karena dengan tersenyum hal baik akan datang dengan sedirinya kepadamu.’―Itu adalah kata-kata yang sering Mrs. Johnson katakan kepadanya dulu. Sewaktu kecil dulu, Lily memang jarang sekali tersenyum. Saat itu hidupnya selalu dipenuhi dengan tangisan. Dan itu semua disebakan oleh penyakitnya. Lily didiagnosa menderita panyakit jantung bawaan atau dalam istilah kedokteran disebut Congenital Heart Disease. Penyakit ini merupakan penyakit cacat dari lahir yang biasanya terdeteksi sejak dari dalam kandungan atau sejak masih bayi. Namun dalam kasus Lily berbeda, penyakit itu baru terdeteksi ketika Lily berusia lima tahun. Dokter bilang, ketika lahir kondisi Lily masih baik-baik saja. Semua organnya terbentuk dengan sempurna. Namun semakin bertambahnya usia, Lily merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Saat itu Lily kecil merasa begitu mudah kelelahan. Untuk menaiki tangga saja rasanya sudah begitu melelahkan untuknya. Dan puncaknya adalah ketika Lily bermain bersama teman-temannya, tidak lama setelah itu dia pingsan tanpa ada alasan yang jelas. Lily pun dibawa ke rumah sakit dan tidak lama setelahnya dokter mendiagnosa bahwa ia memiliki kelainan jantung. Sejak saat itu, dia sudah tidak punya lagi kehidupan normal seperti anak-anak kebanyakan. Hidupnya hanya berpusat pada pengobatan dan pengobatan. Tempat yang sering ia kunjungi adalah rumah sakit, selebihnya dia hanya akan berdiam diri di rumah. Dokter bilang dia tidak diperbolehkan untuk melakukan kegiatan fisik yang terlalu berat, oleh karena itu ibunya memutuskan untuk tidak memperbolehkannya pergi keluar rumah. Itu adalah saat yang paling sulit bagi Lily, apalagi sejak kecil Lily memang dikenal sebagai anak yang aktif. Jadi, tentu sulit baginya untuk beradaptasi dengan kondisinya kala itu. Hari-harinya saat itu ia habiskan dengan bolak-balik antara rumah sakit dan rumah. Bahkan tak jarang ia harus di rawat di rumah sakit hingga berbulan-bulan, hal itulah yang membuat dirinya mengenal para perawat baik disini yang salah satunya adalah Mrs. Johnson. Keberadaan Mrs. Joshnson saat itu cukup menguatkan Lily yang kala itu usianya masih terbilang muda. Hari-harinya di rumah sakit memang tidak begitu menyenangkan. Dia harus selalu berurusan dengan jarum suntik, infus, dan juga obat-obatan yang selalu berhasil membuatnya mual. Namun berada di rumah sakit juga tidaklah seburuk itu, karena disanalah Lily akhirnya bertemu dengan cinta pertamanya―Dave. Lily bahkan masih ingat bagaimana dulu ia dengan begitu nekatnya menyatakan perasaannya kepada pria itu. Saat itu dia masih remaja, dan Dave juga masih berstatus sebagai mahasiswa co-ass disini. Lily ingat saat itu mereka sedang berada di ruang pemeriksaan. Saat itu dr. Richard―dokter yang dulu menangani Lily sedang cuti, sehingga mau tidak mau Dave lah yang harus menggantikannya. “Dave, aku ingin membicarakan sesuatu.” “Ya, katakanlah.” “Mu-mungkin apa yang ingin aku sampaikan ini akan membuatmu merasa tidak nyaman,” kata Lily yang sempat merasa ragu dengan keputusannya. “Ada apa? Kedengarannya serius.” “A-aku…” “Aku menyukaimu.” Hening beberapa saat. Tidak ada respon dari Dave, Lily kemudian memberanikan diri untuk menatap laki-laki di depannya, meski kenyataannya dia juga agak merasa takut. “A-aku tidak bermaksud apa-apa, aku juga tidak meminta jawaban darimu. Aku hanya ingin mengatakannya saja, tidak lebih. Jadi, kumohon jangan menghindariku setelah ini.” Sejujurnya Lily tidak terlalu mempermasalahkan jika nantinya Dave akan menolaknya, Lily sama sekali tidak keberatan akan hal itu. Hal yang ia takutkan hanya satu, Dave membencinya dan mulai menjaga jarak darinya. “Hanya begini saja?” “Apa?” tanya Lily tidak mengerti. “Kau tidak ingin menjadi kekasihku?” Lily menatap laki-laki di depannya dengan mata yang terbuka lebar, “K-kau menyukaiku?” Dave hanya tersenyum tipis, tidak menanggapi pertanyaan Lily. “Apa kau menyukaiku? Kau mau kita berkencan?! Kumohon jawablah pertanyaanku, jangan diam saja!” kata Lily yang terlihat mulai kesal. Dave tertawa begitu melihat tingkah Lily yang menurutnya cukup menggelikan. “Aku akan memberikan jawabanku nanti, ketika kondisimu sudah pulih kembali. Semakin cepat kau pulih maka semakin cepat juga kau mengetahui jawabanku. Jadi, cepatlah pulih anak manis!” kata Dave sembari mengusap puncak kepala Lily dengan lembut. Saat itu Lily masih begitu naif. Dia hanyalah sesosok gadis remaja yang baru mengenal apa itu cinta, dan mendengar hal itu dari orang yang dia cintai tentu membuatnya begitu bersemangat. Kala itu keinginannya untuk sembuh begitu menggebu-gebu. Yang ia inginkan saat itu hanya satu, sembuh dan segera mendapatkan jawaban dari Dave. Dan waktu itu pun datang, dia sembuh dan tak disangka di hari itu juga Lily mendapatkan pernyataan cinta dari Dave. Lily sangat senang sampai-sampai jantungnya mulai terasa nyeri. Namun rasa nyeri di jantungnya masih tidak sebanding dengan rasa senangnya. Dia tidak menyangka orang yang ia kagumi selama ini ternyata juga memiliki perasaan yang sama. Saat itu matanya tertutup oleh euforia yang menggebu-gebu, sampai-sampai dia tidak sadar bahwa kesenangan itu hanyalah ilusi semata. Perasaan yang dimiliki Dave kepadanya tidaklah nyata. Dan bodohnya Lily baru mengetahuinya sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD