Part 2

1521 Words
Clara mematutkan dirinya pada cermin besar di hadapannya. Ia sedang memilih pakaian apa yang akan ia kenakan untuk menghadiri acara salah satu teman orang tuanya. Sebenarnya ia telah mengetahui dengan nanti ia akan bertemu. Clara sudah menguatkan hatinya dan memilig untuk datang lebih dahulu dari orang tuanya meskipun waktu yang dijanjikan masih ada sekitar dua jam lagi. Hati kecilnya sudah tak sabar ingin berjumpa dengan seseorang yang selalu ia rindukan selama lima tahun. Namun selama lima tahun itu juga ia tak berani menyampaikan perasaannya pada orang tersebut. Bagaimana pun luka dihatinya masih belum kering walaupun sudah lima tahun berlalu. Dan lima tahun bukan waktu yang sebentar. Sebesar itukah perasaannya pada orang itu? Clara menghela nafasnya. Akhirnya ia memutuskan memakai sebuah dress bunga-bunga yang panjangnya menutupi lutut. Rambutnya telah ia buat sedikit bergelombang dengan alat curly dan ia biarkan terurai. Tak lupa juga memoleskan make up yang selama lima tahun ini berhasil menambah kecantikannya. Padahal dulu Clara tidak mengenal yang namanya make up. Ia selalu berwajah polos tanpa make up dan memakai pakaian kebesaran. Namun karena orang itu-lah Clara memutuskan untuk berubah. Setelah yakin bahwa penampilannya cukup menambah keberanian saat ia menghadapi orang itu nanti, Clara mematutkan dirinya sekali lagi sebelum akhirnya berjalan keluar dari kamarnya. "Kamu yakin akan berangkat sekarang? Tidak mau bareng sama mami dan papi nanti?" tanya mami heran. "Iya. Ara akan baik-baik saja, kok. Lagipula Ara tinggal naik taksi dan duduk manis. Jadi Mami nggak perlu khawatir," kata Clara meyakinkan Maminya. Meski sudah lima tahun meninggalkan tanah air, bukan berarti Clara lupa ingatan. Ia masih dapat mengingat dengan baik arah jalan menuju rumah tersebut. "Tapi sayang..." Clara menyela ucapan maminya. "Mi, Ara sudah besar. Sudah bisa jaga diri sendiri. Mami lihatkan Ara baik-baik saja selama lima tahun ini hidup sendiri?" Mami terdiam sejenak. Dan dengan terpaksa mengizinkan putrinya yang sifat keras kepalanya hasil turunan dari suaminya berangkat seorang diri. *** Clara menekan bel rumah teman orang tuanya. Jantungnya sejak tadi berdebar tidak karuan. Dalam hati ia merapalkan doa agar hati, mata dan bibirnya tidak mengkhianati dirinya. Pintu di hadapan Clara terbuka perlahan. Jujur Clara tidak berdoa agar orang itu yang membukakan pintu untuknya. Namun, sepertinya sang pencipta sedang berbuat baik padanya atau sedang mempermainkannya. Entahlah... Pandangan mata kedua anak manusia itu bertemu. Masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri. Bahkan Clara harus menahan nafas saat melihat orang itu yang membukakan pintu untuknya. Ia tidak berubah sama sekali. Mata yang bulat, hidung yang runcing, bibir yang tipis dan rahang yang kokoh tetap sama seperti lima tahun yang lalu. Perlahan degup jantung milik Clara berpacu semakin cepat. Ia tak boleh terlihat gugup! Ia mengepalkan tangannya erat dan bersiap menyapa. "Hai..." Clara membuka suaranya lebih dahulu. Dalam hati batinnya terus memberinya semangat bahwa ia mampu bersikap biasa saja. "Hai! Kamu...?" dahi pria itu bertautan. Seakan sedang berusaha mengingat sesuatu. Dengan pahit Clara harus mengakui jika pria dihadapannya telah melupakannya. "Tentu saja kamu tidak akan ingat padaku," masih dengan senyum manisnya, "Aku Clara, Dre." Andre masih terdiam. "Clara?" hanya kata itu yang keluar dari bibirnya. Tak lama kemudian seorang wanita paruh baya keluar menghampiri mereka. Clara tahu jika wanita itu adalah tante Riri, ibu dari Andre. Ia pernah bertemu beberapa kali dulu. Wajah beliau tidak berubah banyak seiring pertambahan usianya. Tante Riri masih terlihat muda dari usia aslinya. Hal itu tampak jelas dari guratan kecantikan wajahnya. Tante Riri menegur Andre yang sejak tadi tidak mempersilahkan tamunya masuk. Setelah dipersilahkan masuk, disinilah sekarang Clara berada. Di dapur bersama Riri dan Andre. Andre mengambilkan minuman untuk Clara, bukan karena inisiatif pria itu. Tapi semua itu murni suruhan Riri. Dapat dilihat dari mata Clara jika Andre terlihat dingin dan cuek. Rasanya Andre yang sekarang bukanlah Andre yang dulu ia kenal, Andre yang ramah dan hangat. Tapi entah mengapa Clara dapat merasakan tatapan dingin itu sedang menatapnya. Karena waktu terus berjalan, Tante Riri menyuruh Andre untuk bersiap-siap. Clara melirik jam tangannya. Ternyata acara akan dimulai sebentar lagi. Untuk mengisi waktu kosong Riri menemani Clara mengobrol di ruang keluarganya. Ia memandang Clara dengan hangat dan keramahan. "Maafkan anak tante ya, Clara. Tapi kamu jangan khawatir meski di luarnya ia tampak dingin, di dalamnya ia tetap saja si polos dan si imut Andre." Clara tersenyum. Riri merasa bersalah dengan perlakuan dingin Andre terhadap Clara yang dilihatnya tadi. Padahal mereka itu dulu begitu dekat. Bahkan rasanya sulit untuk dipisahkan. Tapi siapa yang sangka, kejadian itu mengubah segalanya. "Nggak apa-apa kok tante. Mungkin Andre masih sedikit terkejut dengan kedatangan saya yang tiba-tiba." Riri dapat melihat senyum pahit yang terlukis di bibir Clara. Ingin rasanya Riri memberitahukan apa yang terjadi pada Andre ketika Clara memutuskan untuk meninggalkan Andre tanpa pamit. Namun Riri tak mau ikut campur. Biarlah mereka berdua yang menyelesaikan kesalahpahaman ini. "Setidaknya tante senang kamu mau datang jauh-jauh dari Singapore." "Singapore dekat kok tante. Lagipula aku memang berniat kembali ke tanah air, sudah kangen dengan sambal di negara ini." Clara berharap Riri dapat mengurangi rasa tidak enak terhadapnya. Karena Clara dapat merasakan hal itu akibat sikap Andre yang dingin. Suara pintu utama terbuka membuat keduanya berdiam dan tak lama kemudian muncullah sosok Erick, Ayah dari Andre. Tante Riri yang melihat sosok suaminya langsung menghampiri pria itu yang sepertinya baru saja pulang kerja. Tak lama kemudian disusul putera bungsu mereka yang berjalan di belakang ayahnya. "Clara, tante tinggal dulu ya. Tante mau siap-siap dulu. Tapi tenang aja tante tidak akan membiarkan kamu sendirian. Bagaimanapun kamu salah satu tamu tante malam ini." Clara tersenyum dan menganggukan kepalanya. Dia bingung harus menjawab apa. Ingin menolak juga tidak mungkin. Jadi akhirnya ia mengiyakan perkataan Riri. "Iya tante. Take your time." Setelah kepergian Riri, tak lama kemudian Clara dapat melihat kedatangan Andre yang sudah terlihat lebih segar dibandingkan sebelumnya. Kaos putih berkerah V menghiasi tubuhnya yang berotot, hasil kerja kerasnya di gym. Dipadu celana khaki selutut berhasil membuat Clara terpesona. Namun gadis itu langsung membuang pandangannya, tidak mau tertangkap sedang mengagumi pria itu. "Hai..." sapa Clara demi menutupi suara detak jantungnya yang berdetak semakin cepat setiap kali ia berada di dekat pria ini. Ia tak mau Andre mendengar suara detak jantungnya yang mulai mengkhianati dirinya. Andre yang telah duduk di sofa panjang memandang Clara. Masih tak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Karena tak ada sambutan dari Andre maka Clara melanjutkan, "Mama dan papamu juga adikmu sedang bersiap-siap." Tapi sayangnya Andre hanya mengucapkan ber- 'Oh' tanpa suara. Sehingga kesunyian kembali memenuhi suasana diantara mereka. Sedangkan dua insan itu saling sibuk dengan pikiran masing-masing. Setelah beberapa menit yang penuh dengan keheningan, bel pintu berbunyi. Clara langsung menoleh ke arah pintu utama rumah Andre. Mungkin itu papi dan mami, pikirnya. Clara hendak bangkit untuk menyambut orang tuanya. Namun Andre lebih dahulu bangkit dari duduknya. "Biar aku saja." Pria itu pun langsung melangkah menghampiri pintu tanpa menunggu jawaban dari Clara. *** Setelah makan malam yang dihiasi dengan masakan lezat hasil karya sang pemilik rumah. Mereka semua memilih duduk bersama di ruang keluarga. Tawa dan canda menghiasi seluruh ruangan. Tak ada yang menyadari bahwa hanya dua manusia saja yang hanya menjawab seperlunya saja. Hingga akhirnya kedua orang tua mereka mulai membicarakan inti pertemuan ini. "Bagaimana usaha farmasimu, Hen?" tanya Erick pada Hendra, papinya Clara. "Baik-baik saja kok. Rencananya aku mau memasukkan sebagian produk-ku ke dalam supermarket punyamu jika memang kau mengizinkan proposalku," jawab Hendra. Mereka telah berteman sejak zaman sekolah menengah atas. Hanya baru kali ini mereka hendak bekerja sama dalam bisnis. Barulah setelah mereka mengetahui jika anak mereka ternyata teman sekolah mereka baru bertemu kembali Erick tertawa. "Tanpa proposal pun aku sudah mengizinkanmu. Seperti aku mempercayakan anakku Andre padamu nanti." Seakan tersadar namanya disebut membuat Andre melirik papanya. Dalam hati ia bertanya-tanya apa maksud ucapan ayahnya. "Tenang saja, anakmu bisa mengganti kedudukanku nanti jika ia berhasil memberikanku cucu kelak." Mereka berdua tertawa keras. Isteri mereka hanya tersenyum dan menggelengkan kepala mereka saat mendengar pembicaraan suami mereka. Berbeda dengan Andre, wajahnya yang oada awal penuh kebingungan mulai berubah menjadi marah setelah berhasil menangkap inti pembicaraan papanya dengan temannya itu. Namun sepertinya Andre masih bisa mengontrol emosinya dengan baik. "Ma, apa maksud pembicaraan ini?" tanya Andre. Ia hanya ingin memastikan dugaan dihatinya. Sekarang gantian, wajah Riri yang menampakkan kebingungan. "Clara tidak memberitahumu mengenai pertunangan diantara kalian? Mama pikir ia telah memberitahumu saat kalian berdua tadi." Kali ini rasanya Andre sudah benar-benar geram. Bagaimana bisa mereka memutuskan sebuah pertunangan antara dirinya dengan gadis itu? Gadis yang meninggalkannya tanpa pamit. Pandangan Andre berpindah menatap Clara. Gadis itu menatapnya dengan permohonan maaf. Seakan ingin minta maaf karena tidak memberitahunya. Clara lupa akan tujuannya datang lebih dahulu kemari. Awalnya orang tuanya ingin jika orang tua Andre-lah yang memberitahukan perihal pertunangan ini pada Andre. Tapi saat itu Clara bersikeras ingin mengatakan hal ini sendiri pada Andre. Salahnya sendiri ia lupa akan tujuannya. Andre pasti benar-benar marah besar padanya. Walaupun sejak lima tahun lalu Clara yakin Andre sudah marah pada dirinya. Clara melihat Andre yang berdiri dan pamit kepada orang tuanya sendiri lalu beralih kepada orang tua Clara dan berjalan keluar pintu. Bahkan panggilan Riri yang memanggil namanya pun tidak ia hiraukan. Tak lama kemudian terdengar suara mesin mobil yang menyala dan semakin lama menghilang, yang berarti Andre telah pergi. Karena pria itu sedang marah besar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD