Bab 3 : Mendaki Gunung

1319 Words
*** Maggie tidak tahu harus bagaimana memperlakukan Sam. Setelah apa yang diungkapkan lelaki itu di hotel Beverly Hills. Kini jarak keduanya seakan renggang. Maggie lebih nyaman dengan pertemuannya pertama kali saat tak ada ungkapan cinta. Ketika tahu perasaan lelaki itu padanya, justru membuat Maggie gugup. Ada banyak pertanyaan di kepala wanita itu. Apakah ada seseorang yang jatuh cinta pertama kali bertemu? Maggie sulit mempercayai itu semua. Baginya pandangan pertama biasanya hanyalah n*fsu bukan cinta. Ada perbedaan yang jauh antara keduanya. "Maggie," panggil Sam. Lelaki itu muncul dari balik pintu. Kaos ketat melekat di tubuhnya hingga ototnya yang besar dapat terlihat. Penampilan itu sangat menggoda bagi Maggie. Kelihatan seperti Chris Evans, bukan Sam. "Ya," ucap Maggie gugup. Pandangan matanya menelusup masuk menembus kornea mata lelaki itu. Sam melangkah masuk kamar beberapa meter. "Aku akan berangkat mendaki gunung. Aku ingin mengajakmu. Tapi kalau tidak mau tidak apa." Sam sedikit lembut. Hal itu sangat aneh di mata Maggie. Dia lebih nyaman dengan sikap pemarah dan memaksa Sam. Kalau seperti ini, dia akan semakin luluh dengan Sam. Dia sama sekali tak berani menolak permintaan itu. Bagaimana caranya menolak keinginan lelaki bila mereka bersikap baik? "Tunggu sebentar, aku akan ikut. Tunggu aku di mobil," kata Maggie pada Sam. Lelaki itu mengangguk setuju lalu berjalan meninggalkan kamar. Maggie meremas rambut pirangnya. Dia frustrasi, bahkan dua hari bersama Sam seolah membuatnya lupa akan kehidupan mewah. Dia belum memakai sepeser pun uang di ATM milik Sam meski lelaki itu sudah memberinya hak penuh atas benda itu. Maggie memakai kaos berwarna putih Mark and jacob dan juga training bermerek Victorias secret Sport miliknya. Setelah siap, Maggie berlari turun dari lift. Berharap Sam belum pergi. Dalam satu menit, Maggie sempat mengetuk di pencarian google mengenai "Cara Menghadapi Cowok dingin". Artikel belum muncul dan Maggie langsung berlari keluar dari apartemen. "Maaf aku telat," kata Maggie saat memasuki Ferrari milik Sam. Lelaki itu hanya tersenyum padanya membuat dirinya merasakan ketenangan. Baru beberapa hari mengenal Sam sudah membuat dirinya serasa ditaklukkan. Dia bahkan lupa tujuan hidupnya yang glamour. "Tidak apa-apa." Maggie membaca beberapa tips menghadapi cowok dingin di google mana kala Sam menyalakan mobil tersebut. Berdua dengan Sam membuat dirinya tegang. Maggie merasa dirinya berubah menjadi cewek baik-baik. Maggie yang dulu hilang hanya satu malam. Biasanya ia cerewet dan manja. Namun, sekarang ia bagaikan wanita feminin yang baik hati. Maggie memikirkan sesuatu untuk diucapkan. Dia harus keluar dari zona yang menegangkan itu. "Sam, berapa jarak gunungnya dari apartemen?" Maggie memilih pertanyaan basa-basi sambil menaruh ponselnya di jok mobil. Pertanyaan itu sangat mirip dengan soal matematika anak SD. Mungkin ia memilih pertanyaan yang salah. Maggie menggigit pipinya dari dalam. "Sekitar dua kilo. Kenapa? Apa ada sesuatu?" tanya Sam. Maggie menatap lelaki di sampingnya dengan pandangan datar. Bahkan menjawab pertanyaan pria itu saja ia tidak bisa. Maggie meremas kedua tangannya karena gugup. "Jangan terlalu tegang. Ini hanya perjalanan biasa. berbeda dengan yang semalam." Sam menghibur Maggie. Wanita itu masih saja diam. Dia menatap ke arah luar jendela. Matahari pagi Los Angeles belum bersinar cerah. Cuaca hari ini sangat bagus untuk mendaki gunung. "Apa kau memikirkan kata-kataku semalam? Kalau iya, lupakan saja." Lupakan saja? Apa itu kata lain aku tidak mencintaimu lagi? Oh Tuhan, Maggie semalaman tak bisa tidur hanya karena memikirkan hal itu dan sekarang apa? Lupakan saja! Oh Tuhan, Maggie bisa gila. Maggie menoleh ke arah Sam. "Kurasa itu lebih baik." Maggie merasa malas untuk meladeni pria di sampingnya. Dia butuh waktu untuk memikirkan perasaannya. Dia tidak boleh berharap dengan Sam. Apalagi pria itu tampak mempermainkannya. Dia harus menemukan dirinya yang dulu. Tanpa cinta dan hanya memikirkan uang. Cinta adalah uang, cinta adalah uang. Dia mengulang beberapa kalimat itu di otaknya. "Sam, Mengapa kau memilih tinggal di apartemen? Kau seharusnya punya penthouse." Mengingat Sam sangat kaya. Lelaki itu semestinya memiliki istana. "Apartemen lebih sederhana. Apa kau merasa apartemen kita tergolong murah?" "Oh tidak! Aku tidak bilang begitu. Kau tahu bahwa apartemen itu sangat elit. Aku hanya bertanya-tanya. Di manakah istana pangeran satu ini?" Ada senyum miring ketika Maggie menyebut pria itu "Pangeran". Apakah selama ini Sam tak pernah mendapat pujian? Ataukah Maggie terlalu lucu untuknya? "Lain kali kuajak kau ke rumah mahalku. Itu peninggalan keluarga. Aku tak mau mengenang mereka..Jadi, kuputuskan tidak tinggal di sana. Rumah besar diperuntukkan untuk orang banyak." "Benar." *** Beberapa saat kemudian, mereka sampai di gunung. Mereka keluar dari mobil dan mulai mendaki. Sam memegang tangan Maggie. Sontak wanita itu merasakan detakan jantung seolah ingin lepas dari dalam sana. Sam menarik tangan Maggie untuk berlari menaiki gunung yang beraspal itu. Pemandangan alam gunung memiliki pesona sendiri. Sangat eksotis dan menggoda. "Sam, aku lelah," keluh Maggie pada pria itu. Sam tersenyum dengan napasnya terengah-engah. Dia juga mulai kelelahan karena aktivitas larinya yang sudah berlangsung satu jam. "Baiklah, kita istrahat di sana." Sam menunjuk batu besar yang berhadapan dengan jurang. Maggie mengangguk setuju. Keduanya berjalan dengan napas tak beraturan. Mereka membutuhkan oksigen dua kali lipat. Mereka duduk sambil memandangi indahnya kota Los Angeles. Kota yang tak akan pernah di hujani salju, Kota panas di belahan bumi Amerika. "Kau bisa memberiku air?" tanya Maggie pada Sam. Lelaki itu sedang meminum sebotol air. "Mau? Kau harus merebutnya dariku," goda Sam. Pria itu tersenyum. Mereka yang tadinya merasa tegang kini lebih nyaman kembali. Maggie mencoba meraih botol dari tangan Sam. Namun ia gagal. Naasnya ia terpeleset. Tubuhnya tidak seimbang, dengan cepat Sam menarik tangannya hingga keduanya terjatuh dengan Maggie di atas tubuh Sam. Bibir keduanya saling bersentuhan. Mata mereka memelotot satu sama lain, Jantung mereka seakan berdemo. Menemukan ritme satu sama lain. Sedikit pun mereka tak berkedip situasi itu membuat keduanya gugup dan mereka membiarkan hal itu terjadi. "Emm.. Maggie," panggil Sam membuat wanita itu tersadar dan segera bangkit berdiri. Dia menghindari kontak mata. Kejadian tadi membuatnya malu. Kenapa hidupnya begitu rumit? Kenapa ia bisa terjerat dengan lelaki bernama Sam. Maggie menggaruk lehernya karena rasa tegang yang semakin melanda. Tadinya mereka sudah mulai rileks tapi kembali merasakan kegugupan. Sam mengamati tingkah Maggie. Dia bisa merasakan bahwa wanita itu mulai risih dengannya. Sam memikirkan kata untuk melewati masa gugup mereka. "Apa itu tadi? Seperti adegan film romantis?" Sam mencairkan suasana. Ketika melihat keringat Maggie bercucuran, Sam langsung mengelapnya. Kejadian itu membuat Maggie menegang. Ya ampun, ternyata Sam sangat romantis. "Ya. Itu kelihatan seperti akting. Tapi, sungguh aku benar-benar hampir jatuh. Hampir saja kau akan masuk koran atas pembunuhan tidak disengaja terhadap gadis cantik." Sam terbahak padahal Maggie belum memberikan candaan terbaiknya. Apakah sesederhana ini membuat Sam bahagia? Maggie mengamati ekspresi lelaki itu. Gigi Sam tertata dengan sangat rapi. Pria itu pun memuji ketampanan yang luar biasa. *** "Haruskah kita pulang sekarang?" Sam bertanya beberapa menit kemudian. Berlama-lama di bukit juga tidak bagus. "Kurasa itu ide yang bagus. Lagipula aku juga sudah lelah," balas Maggie. Sam bangkit berjalan ke depan meninggalkan Maggie. Wanita itu pasti tidak nyaman dengannya. Sudah sepuluh langkah ia berjalan. Namun, suara langkah Maggie tak terdengar. Lelaki itu berbalik dan melihat wanita itu kesulitan berjalan. Sam mendekati Maggie. Tanpa aba-aba ia menggendong tubuh Maggie. Setidaknya ia masih kuat dan punggungnya juga masih kuat. Dia yang mengajak Maggie, jadi dialah yang harus bertanggung jawab atas wanita itu. "Kau tidak perlu melakukan ini," bisik Maggie. Perlahan ia mulai berubah menjadi lembut. Dia tidak mengerti kenapa dirinya berubah begitu cepat. Tak pernah dibayangkan Maggie bahwa dirinya akan digendong seorang cowok. "Aku harus melakukannya. Aku yang mengajakmu kesini," sela Sam membuat wanita itu bungkam seribu bahasa. Maggie tertegun merasakan rasa nyaman yang menjalar di tubuhnya. Perlakuan istimewa Sam membuatnya merasakan benih-benih cinta mulai tumbuh dalam dirinya. Dia merasa sangat tenang berada di dekat Sam. Lelaki itu bisa melindungi dirinya. Maggie mulai bertanya pada dirinya sendiri. Betulkah bahwa cinta adalah uang. Kejadian hari ini membuatnya sadar bahwa kasih sayang lebih membahagiakannya melebihi uang. Hanya sebentar bersama Sam saja ia sudah melupakan benda yang di sebut dollar. Harusnya ia memamfaatkan uang Sam yang banyak. Apakah ia mulai jatuh cinta?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD