Empat: Pergi ke Salon

1366 Words
*** Sam begitu mengkhawatirkan Maggie. Pria itu menatap serius ke arah kaki Maggie yang sakit. Dia merasa bersalah telah membuat wanita itu merasakan sakit. "Apa kita perlu ke dokter?" Mata pria itu tak mengalihkan perhatian dari kaki Maggie. Mata itu tidak terlalu lebar dan sipit pun tidak. Mata hitam yang menggambarkan bagaimana misteriusnya Sam Nicholas. "Tidak perlu, aku masih bisa menahan sakitnya," balas Maggie tegas seolah ia wanita kuat. Keram di kakinya begitu menyiksa dirinya. Melihat ekspresi Maggie membuat Sam tidak percaya. Sam memegangi kaki Maggie membuat wanita itu memelotot, Dia sudah bisa menebak apa yang akan dilakukan Sam padanya. Dia tidak akan membiarkan lelaki itu membuat kakinya semakin sakit. "Jangan, Sam. Kumohon. Ini tidak sakit, Jangan lakukan itu, Please!" Maggie memohon. Sam tidak peduli, Wanita itu terlihat menderita. Preegg... "Ahh... sakit. Sam, kau--!" jerit Maggie pada Sam. Di satu sisi ia tidak tahan untuk mengumpat tapi anehnya umpatan di bibirnya sulit ia keluarkan. Setelah Sam melepaskan kakinya, ia mulai merasa sedikit nyaman. Dia menggoyangkan kakinya, dan ajaib tidak ada lagi yang sakit. "Sudah lebih baik?" "Ya. Terima Kasih." Sam tersenyum melihat Maggie. Akhirnya wanita itu tidak kesakitan lagi. Sam bangkit dan memasuki kamarnya. Setelah mengungkapkan perasaannya, ia merasa ragu untuk meminta jatah pada Maggie. Dia takut wanita itu menolak untuk disentuh. Maggie merasa bersalah, harusnya ia lebih banyak mengobrol dengan lelaki itu. Bukannya malah diam dan tak bicara sama sekali. Semakin sering mereka bicara maka semakin dekat dengan Sam. Maggie dilanda keraguan, Dia bangkit dan memberanikan dirinya untuk menemui Sam. Langkahnya sangat pelan, wanita itu menghela napas. Bertemu Sam seolah bertemu Presiden Trump. Dia gugup, sangat gugup. Sejak beberapa hari, dia yang dulu agresif seolah mati dan kini digantikan dengan dirinya yang super feminin, seolah ia wanita baik hati dari negeri dongeng. "Sam," panggil Maggie di depan pintu kamar lelaki itu. Jantungnya seakan ingin lepas. Debarannya begitu cepat. Dia tidak sanggup menatap Sam. Mata lelaki itu seperti mengalirkan listrik dan membuat dirinya tersengat. "Ya, ada apa?" Saat melihat Maggie melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dia sulit percaya bahwa wanita itu mau menemui dirinya. Ini sama seperti kejutan Santa Claus di hari natal. Maggie mulai mendekat ke arahnya. "Aku ingin mengucapkan terima kasih sekali lagi. Terima kasih telah menolongku. Sekarang kakiku mulai lebih baik," jelas Maggie. "Kau sudah berterima kasih tadi." "Ya, tapi aku rasa aku harus lebih banyak berterima kasih di masa depan." Maggie dulunya sombong. Perlahan-lahan, ia akan merubah sikap buruknya. Mendengar ucapan Maggie tadi membuat Sam semakin tenang. Hatinya terasa teduh, tak ada lagi beban di hatinya. "Sama-sama. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan," balas Sam. Keduanya tertegun, kalimat terakhir Sam membuat Maggie tak bisa berkata apapun lagi. "Oh iya, aku ingin pergi ke salon kecantikan. Apa kau bisa mengantarku? Hmm... aku... Aku tidak bermaksud menyinggungmu. Aku hanya merasa tak enak jika harus pergi sendiri," ujar Maggie ragu. Andai ia bisa lari, mungkin dia sudah melakukannya sejak tadi. Dia menyesal mengajak Sam. Harusnya ia pergi saja, tanpa harus meminta bantuan Sam. Belum tentu juga Sam mau ke salon. "Salon? Bukankah kakimu baru saja sembuh? Bagaimana kalau sakit lagi? Apa harus sekarang?" Sam khawatir. Dia tidak ingin Maggie terlalu lelah, dan menginginkan wanita itu cepat sembuh. Kalau pergi lagi, bisa saja kakinya bertambah parah. Maggie mengangguk. "Harus sekarang. Rambutku mulai terasa tidak nyaman. Warna pirangnya mulai pudar. Hari ini adalah jadwal rutinku mengecat rambut." Maggie akan kembali ke kehidupan lamanya. "Tampaknya kau lelah, aku rasa aku bisa berangkat sendiri. kau tidak perlu mengantarku. Aku bisa naik Bentley pemberianmu," ucap Maggie. "Aku bisa mengantarmu. Aku ganti baju dulu." Perkataan pria itu membuat Maggie entah kenapa merasa senang. Ada hal aneh yang muncul di dalam dirinya. Sesuatu yang hangat. Baru kali ini ada cowok yang mau diajak ke salon. Apalagi cowok itu merupakan CEO, yang punya seperenam saham industri Hollywood. "Baiklah, Aku juga akan mengganti pakaianku. Aku pergi dulu," pamit Maggie, Sam mengangguk setuju. Maggie berjalan masuk ke kamarnya. Dia merasa senang, hatinya bersorak bagai sekumpulan cheerleaders. Dia bahagia karena Sam menerima ajakannya. Sekali lagi, apakah ia sudah jatuh cinta? Apa ia mulai menyukai Sam? Apa yang terjadi dengannya? *** Maggie sudah siap, pakaian hitam bermerek Balmain Paris melekat di tubuhnya yang indah. Dia sangat menyukai mengoleksi pakaian-pakaian mewah. Kehidupan wanita itu sama seperti kehidupan para selebritis wanita di Los Angeles. Dia tidak pernah ketinggalan soal mode. Setiap harinya ia membuka majalah seperti Vogue Magazine, ELLE, V Magazine dan beberapa majalah ternama lainnya hanya untuk mengetahui gaya berpakaian terbaru. "Kau sudah siap?" Maggie membalasnya dengan anggukan kepala. Sam memegangi tangannya menuju mobil Ferrari miliknya. Maggie sekarang mirip Cinderella yang bertemu pangeran tampannya. Dulunya ia tidak peduli dengan laki-laki. Namun kedatangan Sam di hidupnya merubah segalanya. Dia mulai memikirkan tentang kehidupannya di masa depan. Dengan siapa ia akan menikah?Lalu bagaimana hidupnya? "Mungkin lebih baik kita naik Bentley. Aku mau menyetir," tawar Maggie. Sayang sekali mobil mewah itu kalau tak dipakai. Sam semringah dan menyetujui ide wanita itu. "Kau cantik, Maggie. Pakaian itu cocok untukmu," puji Sam pada Maggie. Penampilan wanita itu membuatnya tidak tahan untuk berkomentar. Pujian Sam membuat Maggie tersipu. Namun, ia berusaha menyembunyikan wajahnya yang merona. Harinya bagai bunga yang mekar, dengan wangi semerbak. "Kau juga tampan," balas Maggie membuat Sam tersenyum. Kenapa dia harus tersenyum? Kini pria itu terlihat begitu rupawan dengan senyuman itu. Balutan jas topman sangat cocok di tubuh ideal Sam Nicholas. Rambutnya yang hitam pekat membuat lelaki itu semakin terkesan maskulin. Dia adalah segala yang diinginkan wanita. "Oh, ya? Aku senang dengan pujianmu," balas Sam membuat Maggie tidak tahan untuk terkekeh. "Aku hanya bercanda," kata Maggie jail. Wanita itu tak bisa berhenti tertawa kecil. "Aku akan tetap menganggapnya serius," balas Sam. Maggie menatapnya tanpa berkedip, sedetik kemudian wanita itu menatap ke arah luar jendela. "Terserah kau saja," ucapnya. Mobil terus melaju dengan cepat atas kendali Maggie. Di tengah jalan, Maggie sempat berteriak puas karena berhasil berkendara dengan mobil mahal baru. *** Tiga puluh menit kemudian, Maggie sampai di salon mewah di Los Angeles. Dia di layani oleh tim salon profesional. Dia ditangani oleh tim David Bellemere. Tim penata rias yang menjadi langganan majalah ternama, sekaligus penata rias model Victorias Secret. "Maggie!" seru salah seorang pegawai yang mengenalnya. Dia sudah dikenal karena sudah berlangganan di sana. "Hei Alli!" sapa Maggie. Allison adalah penata rias yang selalu membantunya dalam hal merawat rambut dan kuku. Wanita itu sungguh lihai dalam hal kecantikan. "Mewarnai rambut? Ouww .. siapa yang datang? tampan sekali!" puji Allison. Maggie memberikan senyum. Matanya menoleh ke arah Sam dan melupakan pertanyaan Allison. Maggie salah fokus pada penampilan Sam yang luar biasa. Tampan ala aktor Hollywood. Hingga Alli menyadarkan dirinya. "Maggie!" panggil Allison. Seketika Maggie tersadar. Dia kembali ke dunia nyata. Kenapa ia bisa terbius dengan wajah Sam? Ini adalah pertanyaan besar untuk dirinya sendiri. Inikah yang disebut cinta? "Ya... itu .. aku datang untuk mewarnai rambut dan... kenalkan dia Sam. Dia adalah...." Maggie gugup. Bahkan memperkenalkan diri lelaki itu saja sangat sulit baginya. Allison menatapnya meminta penjelasan lebih rinci. Penjelasan yang mudah ia mengerti. Sam dengan cepat mengulurkan tangannya. "Aku adalah pacar Maggie," kata Sam pada Allison. Maggie berusaha tampak lebih santai. Sam selalu seperti itu, membuatnya terbang di atas awan lalu kemudian acuh. Dia bingung apakah Sam benar-benar mencintainya atau tidak. "Benarkah? Kau beruntung sekali Maggie. Apa ada pria seperti Sam satu lagi di dunia?" Allison antusias. Pesona Sam Nicholas menghipnotis dirinya. Wajahnya lelaki itu memang tidak semulus wajah Shawn Mendes tapi tetap tampan di mata para wanita. "Kurasa tidak ada lagi. Sekali pun ada. Pastinya mereka adalah aktor terkenal yang sudah ada yang punya," jawab Maggie datar. Wanita itu mencoba menenangkan dirinya. Detak jantungnya seolah ingin membunuhnya. Lagi dan lagi berdetak lebih dari batas kenormalan. Bersama Sam membuat jantungnya semakin sehat. Apakah Sam adalah pria yang diutus untuknya? Oh tuhan tunjukkan jalan yang benar untuk mereka. Bukan hanya merias tubuh. Allison banyak bergosip. Dia memberitahu Sam bagaimana dia berpikir kalau Maggie dulunya lesbian. Allison mengira kalau wanita itu belok, dikarenakan jarang membawa cowok. Kini terjawab 'lah sudah pertanyaan Allison. Selama mendengar cerita Allison, Sam terus mengukir sebuah senyuman lalu membalas ala kadarnya. Dia sangat seksi. Seksi dan manis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD