(Bab 2)

1020 Words
"Yah! Aya beneran belum siap nikah, Aya minta maaf." Cicit gue pasrah. Seberapa keraspun gue coba, gue gak bisa nemuin alasan yang mengharuskan gue nerima perjodohan gue sama Mas Juna, bukan cuma karena status Mas Juna yang dosen gue tapi Mas Juna juga Kakak dari sahabat gue sendiri, gue gak nyaman. Bukannya dalam membangun sebuah hubungan nyaman itu penting? Katakanlah gue gak cinta tapi setidaknya gue gak akan ragu dengan omperasaan gue sendiri, dan sekarang gue sama sekali gak nemuin keyakinan apapun dari Mas Juna. "Tapi kenapa Dek? Kasih Ayah alasan yang tepat jangan cuma nolak sepihak kaya gini?" Raut wajah Ayah terlihat cukup kecewa. "Yah! Aya gak cinta sama Mas Juna, Aya juga belum siap nikah, Aya gak mau terikat secepat ini." Jawaban gue yang lagi -lagi membuat Ayah menghembuskan nafas dalam. "Belum siap? Dek, nikah bukan cuma tentang kesiapan kamu, bukannya gak baik menolak laki-laki yang datang dengan niat baik pula, terlebih Adek nolak dengan alasan yang gak masuk akal kaya gini." Gue tertunduk tanpa jawaban. "Masalah cinta, cinta bisa dateng seiring kebersamaan kalian, ini semua cuma alasan kamu untuk nolak perjodohan kamu sama Juna kan Dek? Sebenernya kenapa? Kasih alasan yang bisa Ayah terima." Ayah terdengar belum berniat mengubah keputusannya. "Aya punya laki-laki yang Aya suka Yah!" Cicit gue memejamkan mata. "Siapa? Pacar? Ajak dia menemui Ayah sesegera mungkin." Hah? Ajak dia nemuin Ayah? Orangnnya aja tinggak dimana gue gak tahu. "Aya gak bisa Yah! Kita belum siap." Tolak gue, gue berasa kaya kemakan omongan gue sendiri, gue harus nyari orangnya dimana? "Itupun kamu belum siap?" Nada bicara Ayah berubah. "Dengarkan Ayah, bawa lelaki pilihan hati kamu menemui Ayah sesegeraka mungkin, akan Ayah pertimbangkan kalau memang lelaki yang kamu maksud cukup layak dijadikan suami." Hah? "Tapi ingat, kalau dalam waktu sebulan kamu gak bisa nemuin laki-laki yang kamu maksud, menikah dengan Juna tanpa bantahan apapun lagi." . . . "Lo kenapa nolak lamaran Mas Juna? Mas Juna kurang apalagi Ay? Lo gak mau jadi ipar gue?" Tanya Juni menatap gue frustasi. Jujur gue memang ada rasa gak enak sama Juni, bagaimanapun Juni adiknya Mas Juna, dia pasti ikut kecewa karena gue ngecewain Kakaknya sendiri, gue paham dan gue ngerti. Tapi gue juga mau Juni ngerti, perasaan itu gak bisa dipaksain, gue gak nemuin kenyamanan sama Mas Juna, gue juga gak bisa maksain diri nerima Mas Juna cuma karena dia Kakaknya sahabat gue sendiri. "Ni, gue beneran minta maaf tapi gue juga beneran gak bisa nerima Mas lo, gue gak punya rasa apapun sama Mas Juna." Cicit gue penuh rasa bersalah. "Tapi gue yakin lo tahu perasaan Mas gue gimanakan Ay? Mas Juna gak akan setuju gitu aja sama perjodohan kalian kalau dia gak punya perasaan apapun." Gue mengangguk pelan. "Gue tahu tapi gue bisa apa Uni? Gue nolak karena gue gak punya perasaan yang sama kaya Mas Juna." Ini kenyataannya. "Tapi Mas Juna kurang apa Ay? Gue yakin Mas Juna ngebahagiain lo, lo sama Mas Juna sama pentingnya bagi gue." "Tapi gue juga gak punya kewajiban untuk nerima Mas Juna cuma karena Mas Juna gak punya kekurangan apapun, karena lo sahabat gue makanya gue terus terang kaya gini Ni, gue gak mau nyakitin Mas Juna apalagi lo." Gue harap Uni mau paham situasi gue. Mencintai memang hak masing-masing tapi menerima atau menolak juga hak setiap orang, Mas Juna punya perasaan ke gue itu haknya tapi nerima atau nolak itu juga hak gue, gue gak mungkin maksain perasaan gue untuk seseorang. "Mas Juna pasti bakalan kecewa banget Ay, lo gak akan tahu gimana sakitnya perasaan seseorang saat ditolak orang yang dicintainya." Ck! Gue tahu, sangat tahu malah. "Gue tahu rasanya kaya apa, lo lupa dengan alasan gue terus nolak semua laki-laki yang ngedeketin gue selama ini? Gue tahu rasanya kaya apa Ni, gue sangat tahu." Gue sangat paham gimana rasanya saat perasaan lo itu gak terbalas, gue sangat tahu karena gue pernah melewati itu semua, mencintai seorang diri, gue sangat paham lebih baik dari siapapun. "Tapi itu udah cerita lama Ay, bukannya lo pernah ngomong kalau lo udah bisa melangkah maju, sampai sekarang gue sendiri gak paham, gue bahkan gak kenal siapa laki-laki yang lo maksud." Uni memang gak kenal karena gue gak pernah ngasih tahu siapa laki-lakinya. "Laki-laki mana yang bisa membuat seorang Aya menjomblo seumur hidupnya?" Gue tersenyum kecut. "Dia adalah lelaki pemdiam yang selalu naruk perhatian gue." Jawab gue tanpa sadar menyunggingkan senyuman cuma karena membayangkan wajah tenangnya. "Tolong sampain permintaan maaf gue ke Mas Juna, gue beneran gak bisa nerima lamarannya." Lanjut gue menatap Uni memohon. "Kalau lo beneran tulus minta maaf, temui Mas Juna secara langsung, ini masalah kalian, gue cuma seorang Adik dan seorang sahabat, tapi kalau harus gue milih, gue tetap berdiri dipihak keluarga gue Ay!" Jawab Uni tegas. Keluarga memang lebih penting, gue gak akan berdebat cuma karena ini, gue juga mau realistis, wajah Juni lebih mentingin kepentingan Kakaknya, gue gak bisa berharap kalau Uni akan berpihak disisi gue, itu bakalan aneh. Mas Juna udah dijalan ngejemput gue, sekarang gue pulang pake taksi jadi pergunain kesempatan ini untuk ngomong sama Mas Juna, gue memang berdiri dipihak keluarga gue tapi gue gak akan membenci atau nyalahin lo karena lo juga sahabat gue. "Bicarain baik-baik, gue balik duluan." Pamit Juni meninggalkan gue sendirian ditempat duduk gue. Memperhatikan Juni pergi, gue memgusap kasar wajah gue sembari nunggu kedagangan Mas Juna, gue harus ngomong jujur, gue harus ngasih penjelasan untuk gak nyakitin hati siapapun, termasuk Mas Juna. "Loh Ay! Uni mana?" Tanya Mas Juna yang sekarang berdiri disamping gue. "Uni udah pulang Mas, Aya mau bicara sebentar sama Mas." Ucap gue memaksakan senyuman. "Kamu gak perlu maksain senyuman kamu Ay, Mas tahu perasaan kamu, Mas juga mau ngomongin sesuatu tapi kamu bicara lebih dulu gak papa?" Mas Juna ngambil posisi duduk dihadapan gue menggantikan Uni. "Aya minta maaf tapi Aya memang gak bisa nerima lamaran Mas." Ucap gue tertunduk pasrah. "Kenapa?" Pertanyaan Mas Juna yang membuat gue menegakkan tatapan gue menatap lelaki yang duduk dengan tatapan tegarnya didepan gue. "Alasan Aya sederhana Mas, Aya gak punya perasaan apapun sama Mas, Aya cuma bisa menganggap Mas dosen Aya dan Kakak dari sahabat Aya." Jujur gue.   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD