PROLOG

523 Words
Harkatyanto memiliki anak-anak yang sangat cantik, anggun, dan memiliki tata krama. Tidak ada orang yang akan mencela Harkatyanto karena memiliki putri yang begitu tiada cela. Namun, dibalik semua hal luar biasa putrinya berkarakter Harkat harus menelan pil pahit dengan hubungan yang berjarak dengan putri-putrinya. Semua berawal dari jarak yang diciptakannya karena memilih berpisah dari istri pertama dan tinggal bersama istri keduanya. Sebelum meninggal, Harkat membuat pesan tertulis yang disampaikan oleh kuasa hukum kepercayaan keluarga. Bukan mengenai harta, karena Harkat tahu putri-putrinya tidak mau disokong dalam bentuk materi. Jadi, ketika isi wasiat tersebut dibacakan... semuanya tercenung. 'Untuk putri-putri ayah. Tidak ada yang lebih menyedihkan selain kalian yang menjauhi ayah. Maaf. Walaupun ayah tahu kata itu tidak akan pernah cukup, kalau kalian memutuskan membenci ayah yang bodoh ini, tidak apa-apa. Mengenai pembagian materi dan lain hal yang menyangkut harta gono-gini ayah Karta yang akan mengurusnya bersama kalian... "Tolong langsung pada intinya, Karta. Saya tahu ayah tidak akan melantur, jadi tolong, langsung pada intinya." Ebe-putri kedua-menyelak. Karta menatap ragu-ragu pada seluruh putri almarhum Harkat di sana. Terutama pada putri sulung keluarga tersebut, Akina. Karta tetap membacakan isi suratnya hingga usai. Sampai Karta selesai, mereka semua tidak paham kemana arah wasiat tersebut bermuara. Mengerti situasi, Karta segera memutus kasak kusuk para perempuan tersebut. "Salah satu dari kalian harus menikah dengan pria yang sudah almarhum ayah kalian tentukan."  "Kami dijodohkan?!" Blu menyeletuk. Sontak saja semua anak perempuan Harkat riuh. "Tolong semuanya dengarkan Karta lebih dulu!" seru Akina selaku anak tertua sekaligus sosok yang sangat mengurus adik-adiknya. Karta berdeham, agak tegang karena ditatap begitu serius oleh kelima putri Harkat. "Salah satu dari kalian saja. Tidak semua diwasiatkan untuk menikah dengan pria pilihan almarhum ayah kalian." "Jadi, siapa yang harus menikah dengan pria pilihan ayah?" Ebe tidak sabar. "Anak perempuan pertama," jawab Karta yang langsung membuat para anak perempuan itu menoleh pada kakak mereka. * "Biar saya siapkan air hangat, Mas." Akina memang selembut itu selama mengurus Darma. Sudah dua bulan pernikahan keduanya berjalan dan belum ada tanda-tanda Darma akan memperlakukan Akina layaknya istri sesungguhnya. Baru saja Akina akan bergerak, lengannya ditahan oleh Darma.  "Kenapa, Mas?" "Lakukan tugas kamu sebagai istri malam ini, Akina." Bukannya takut, Akina justru memberikan senyuman pada suaminya itu. * Kepala Darma serasa ingin pecah. Belum genap kebahagiaannya pasca momen bayinya dan Akina dilahirkan, masalah lain sudah merundung. "Mas?" panggil Akina. Perempuan itu sudah merasakan cinta yang besar pada Darma, dia jelas mencintai pria yang sudah membantunya menyokong kebutuhan hidup keluarganya tersebut. "Erlangga nangis, Mas. Boleh minta tolong gendong dia ke sini? Aku capek banget, Mas." "Iya, Sayang." Dikecupnya kening sang istri dengan dalam. Menggendong Erlangga yang merintih mencari sumber makanannya, Darma agak kalut. Kebahagiaan semu yang sedang dia rangkai bersama Akina dan putra mereka tidak akan bertahan lama karena... "Akina... Mas mau ngomong sesuatu." Mulai Darma setelah memberikan Erlangga dalam dekapan sang ibu. "Iya. Ngomong aja, Mas." Darma tahu ini berlebihan, tapi memang harusnya Akina tidak akan sesantai itu jika tahu apa yang akan dia sampaikan. "Akina... maaf." Ucapan Darma sontak mengejutkan Akina. "Mas Darma kenapa? Ada masalah di kantor?" Darma menggeleng keras. Dia tahu ini pasti menyakiti Akina sangat dalam. "Akina... kita harus bercerai."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD