LOST

2661 Words
Akina sadar ada dunianya yang hilang ketika resmi memasuki rumah megah dengan aksen kayu yang mendominasi itu. Dia sekejap kehilangan arah karena yang dia pijaki saat ini adalah rumahnya—rumah di mana dia dan sang suami tinggali. Ya, suami. Akina resmi menyandang sebagai Nyonya Ardayakta mulai hari ini. Dia bukan lagi seorang kakak, ibu, sekaligus ayah bagi adik-adiknya. Kini dia harus mengabdi sebagai istri untuk Darma. Bicara mengenai Darma, pria berusia 42 tahun itu berperawakan sangat dewasa. Bagi Akina, tidak ada celah yang harus disesali dengan menyetujui pernikahan tersebut. Akina menyukai segalanya yang pria itu beri, meski sikap Darma belum begitu hangat padanya. "Kamu kalau mau tidur, sana istirahat duluan saja di kamar." Darma bersuara. Sejak masuk rumah, yang Akina lakukan adalah melihat setiap sisinya. Walaupun diperhatikan oleh Darma sesekali, Akina pura-pura tidak melihatnya dan memilih fokus pada setiap sudut rumah itu saja. "Mas Darma?" tanya Akina. "Saya mau ke perpustakaan dulu, nanti juga masih ada pekerjaan yang harus saya selesaikan. Kamu istirahat saja." "Tapi mas Darma pasti lelah. Lebih baik kita istirahat bersama." Darma mengangkat kedua tangannya, bersedekap sembari memerhatikan wajah Akina. "Kamu tidak pernah diperintah, ya?" ucap Darma. Akina mengernyit, pertanyaan Darma tidak masuk pada nalarnya. "Kalau kamu pikir, memperlakukan saya sama dengan memperlakukan adik-adik kamu, itu salah. Saya suami kamu, Akina. Berhenti berperan seperti kepala keluarga. Keputusan dan berjalan atau tidaknya sistem di rumah ini hanya saya yang menentukan. Saya kepala keluarganya di sini." Akina menyadari kesalahannya. "Maaf, Mas. Saya terlalu terbiasa mengatur selama di rumah." Darma mengangguk-angguk. "Ya... saya paham." Lalu keheningan menyapa. "Tunggu apa lagi?" Darma bersuara. "Heuh?" "Kamu bisa istirahat lebih dulu, Akina. Apa kamu tuli?!" Akina menurut. Tidak mau membuat kesalahan di depan suaminya. Sepeninggal Akina, Darma memijat pelipisnya perlahan. Pernikahan hari ini adalah bentuk penyamaran, dan tujuan tersembunyi yang sedang dia lakukan. Menyelamatkan keluarga Harkat dari kebangkrutan dan memasok keluarga almarhum Harkat agar tetap hidup tercukupi dengan Akina sebagai imbalannya. Akina akan menjadi perempuan yang melahirkan keturunan untuknya, dan setelah itu, kesepakatan berakhir. Pernikahan tersebut akan berakhir setelah Akina memberikannya anak. Bagi Darma tidak masalah jika harus membiayai keluarga Akina, asal perempuan itu melahirkan anaknya secepatnya dalam keadaan sehat dan normal. Setelah semuanya selesai, Darma resmi menjadi seorang ayah dan mendapatkan bagian tertingginya tanpa takut digeser lagi oleh saudara-saudara liciknya. Namun, dibalik semua alasan tersebut... nama istri pertamanya adalah sumber terbesar mengapa Darma tidak merasa tenang. Ini hari pertama pernikahannya dengan Akina, tapi Darma belum yakin untuk menyentuhnya. Sebab, bayangan istrinya yang sedang sakit jantung dan membutuhkan perawatan intensif adalah bayangan paling memilukan hati Darma. "Sabar, Darma. Tenang... ini hanya sementara. Akina hanya perantara agar tujuanmu berjalan lancar. Tenang... Darma... tenang." Pria itu mengucapkan kata-kata penenang untuk dirinya sendiri. Bahkan disaat seperti ini, Darma masih bimbang. Entah kapan dia akan merealisasikan rencana untuk mendapatkan anak dari Akina, karena jika Darma menunda sehari saja menyentuh Akina, tentu saja dia menunda beribu sel yang bisa menjadi calon anaknya untuk segera ada. "s**l!" maki Darma. Buru-buru dia mengambil wadah obat penenangnya berada. Dia ingin beristirahat saja di ruang kerjanya. Menghindari Akina adalah jawaban tepat saat ini.  * Akina mengernyap menyesuaikan cahaya yang masuk dari celah jendela kamar—oh, bukan celah lagi, tapi memang didominasi kaca. Akina tidak tahu kenapa rumah tersebut didesain sedemikian rupa antara kayu dan kaca. Namun, yang lebih mengherankan bagi Akina adalah ketiadaan sang suami disisinya. Apa orang yang baru menikah seperti ini? Walau ini pengalaman pertama, dan Akina berdoa pernikahan ini untuk selamanya, tapi bukan berarti dia tidak paham bahwa sang suami menghindarinya. "Ya ampun... mikir apa aku ini?" Akina menepuk kepalanya karena terlalu berharap bahwa pernikahannya berjalan seperti pernikahan normal lainnya. Dan bodohnya lagi, dia terlambat bangun karena rasa lelah yang mendera. Buru-buru dia berdiri dan mengikat rambut dengan asal. Akina bahkan lupa jika pakaian tidurnya adalah dress berbahan tipis dan dia tidak menggunakan b*a. Tergesa-gesa Akina berjalan menuju dapur. "Semoga mas Darma belum berangkat kerja," gumamnya seraya mengikat bagian rambutnya hingga menjadi satu. Akina bernapas lega karena belum ada tanda-tanda bahwa suaminya sudah berada di meja makan. Dia dengan cekatan menyiapkan bahan-bahan dan menjadikannya hidangan hangat di pagi hari. Bibirnya tersungging senyuman, merasa beruntung karena begitu cekatan sebab sudah terbiasa mengurus adik-adiknya. Satu piring lagi yang Akina bawa ke meja makan dan menatanya dengan apik. Darma datang tepat ketika Akina menuangkan air ke gelas. "Mas sudah bangun?" tanya Akina tanpa melihat secara langsung wajah suaminya. 'Uhuk... Uhuk...' Suara batuk Darma membuat Akina diserang panik. Dia sodorkan segelas air untuk pria itu. Namun, bukannya berhenti batuk, Darma justru semakin salah tingkah dengan menjatuhkan gelas yang Akina berikan. "Ya ampun, Mas." Suasana pagi itu menjadi ricuh karena Darma yang diam-diam tidak fokus pada Akina, tetapi pada bagian tubuh perempuan itu yang terlalu tercetak jelas. Darma pria normal, apalagi sudah lama tidak mendapat jatah dari istri pertamanya karena sakit, dan pagi ini Akina berhasil membuatnya hampir mati karena dadanya yang menyembul ketika menuangkan air dan kain dibagian dadanya ikut turun. "Sialan." Akina semakin tidak mengerti saat tiba-tiba saja Darma beranjak pergi ketika dirinya sibuk membersihkan sisa pecahan gelas. Gerakannya terhenti, dia menatap bingung punggung Darma yang meninggalkannya begitu saja. * Memberanikan diri Akina mengetuk pintu ruang kerja suaminya. Dia merasa tidak nyaman jika harus dibenci atau dimusuhi orang yang seharusnya dekat dengannya. Jika Darma belum bisa menerima dirinya, akan Akina usahakan apa saja agar bisa diterima. Akina hendak mengetuk untuk yang kelima kalinya, tapi belum terketuk, pintu sudah terbuka dan menampakan Darma dalam balutan yang lebih formal. "Kenapa?" tanya Darma. "Euh... Mas mau ke mana?" Darma tidak langsung menjawab. Dia amati Akina yang terlihat gugup. "Kamu ngetuk pintu hanya untuk tanya itu?" Terkesiap, Akina menelan ludah susah payah. "Bu—bukan..." Akina kebingungan. Padahal, biasanya dia mudah sekali mengutarakan apa yang ingin disampaikan pada adiknya atau orang terdekatnya. Mungkin karena Darma yang belum begitu dekat dengannya, Akina merasa sangat canggung. Darma hendak berjalan melewati Akina, tapi lengannya lebih dulu ditahan. Pandangan pria itu turun, melihat begitu eratnya Akina menahan. Lalu, Darma membalas tatapan Akina. "Mas. Saya mau bicara. Kalau dibiarkan terus, pernikahan kita enggak sehat. Saya mau semuanya jelas, Mas. Kalau memang saya ada salah atau saya tidak bisa menjadi istri yang mas inginkan, tolong katakan dan jelaskan pada saya." Akhirnya, Kina. Akhirnya....  * Akina menyisir rambutnya dengan gerakan super pelan. Dalam kepala cantiknya, Akina membentuk kembali reka adegan pembicaraannya dengan sang suami. Dia tidak tahu apakah harus bersikap histeris dan meluapkan kekecewaannya dengan cara anarkis atau... seperti ini saja sudah cukup? Kalau diingat lagi, memang aneh rasanya jika almarhum ayahnya membuat wasiat dengan menjodohkan putrinya tanpa alasan kuat, dan Akina harusnya sadar kalau alasan kuat itu memang ada serta mendasari pernikahannya dengan Darma. "Saya harus bilang ini sama kamu, Akina. Bahwa pernikahan ini tidak didasari dengan rasa apapun. Saya membantu ayahmu untuk mempertahankan kebutuhan keluarga kamu. Selama ini, ayahmu memiliki hutang yang tidak bisa dihitung jumlahnya. Saya membantu perusahaan yang beliau miliki hingga bertahan sampai sekarang. Sebagai salah satu cara ayahmu membayar... adalah kamu." Terdiam kaku, Akina mengeratkan kedua tangannya hingga mengepal. Emosi yang dia rasakan memang tidak pernah bisa tersampaikan dengan baik. Akina terlalu suka memendam apapun sendiri. Bahkan jika rasa sakit menyerang tubuhnya, Akina akan bersikap seakan baik-baik saja hingga rasa sakit itu hilang sendiri karena Akina lebih senang mengurus orang lain ketimbang dirinya sendiri. Namun, sekarang apa waktu yang tepat membiarkan dirinya sendiri merasakan sakit? Alasanyang terlalu jujur dari Darma malah membuatnya merasakan sakit hingga begitu dalam. "Lalu... kenapa mas Darma setuju menikahi saya?" Suara bergetar Akina menyentak Darma, sekilas. Sebab Darma tidak ingin berlarut-larut mengasihani gurat sedih Akina. Ini adalah kenyataan yang harus perempuan itu terima. "Saya punya tujuan lain menikahi kamu. Itu pasti. Dan saya tidak bisa membagi alasan itu dengan kamu." Darma menghela napas. "Tidak sekarang," tambahnya. Akina tanpa sadar menitikan airmata. Pernikahan yang dia jalani tidak ubahnya seperti teater yang sudah dirancang sutradara. Mungkin, ayahnya adalah dalang dari semua ini. Namun, Akina tidak bisa menyalahkan almarhum ayahnya begitu saja. Bagaimanapun, pernikahan ini tidak akan terjadi jika Darma juga tidak menyetujui. "Nyonya Akina." Dihapusnya segera airmata yang hampir saja merusak penampilannya malam ini. Bagaimanapun, malam ini adalah malam dirinya diperkenalkan sebagai istri dari Darmawangsa Ardayakta. Akina turun dengan gaun berwarna merahnya. Dandanan yang sebenarnya lebih sederhana dibandingkan dengan perempuan glamor diluaran sana. "Mas?" Akina melambaikan telapak tangannya di depan wajah Darma.  "Mas Darma?" kali ini dengan menyentak bahu pria tersebut agak keras karena Darma seperti orang bodoh yang memandangi wajah Akina. "Mas Darma!" "Euh... eh, iya?" "Mas kenapa? Sakit?" Darma menggeleng, kepalanya sakit karena melihat kecantikan Akina. Selain wajah yang cantik, tubuh yang indah, sikap lemah lembut, Darma seperti dipermainkan dengan rencananya sendiri. Jika seperti ini terus menerus, Darma bisa saja kecanduan untuk selalu melihat Akina. "Ayo berangkat." Akina berdiam diri di tempat, tidak mengikuti langkah Darma. Dia berpikir, jika tidak bisa menekan rasa sakitnya karena Darma memiliki tujuan sendiri dalam pernikahan ini maka Akina juga ingin mendapatkan bagian untuk dilibatkan dalam tujuan tersebut. "Akina... ayo!" seru Darma. Menyusul suaminya, sebelum masuk ke mobil, Akina sengaja menggenggam tangan pria itu. Dia akan berusaha mendekat meski berulang kali ditolak oleh Darma. Tidak peduli apapun tujuan pria itu menjadikannya istri. "Aku istri kamu, kan, Mas? Jadi, aku nggak mau jauh-jauh dari kamu selama menuju pesta dan saat berlangsungnya pesta." Akina dengan berani menatap mata Darma. "Aku istrimu, Mas." * Kasak kusuk para pebisnis dan petinggi di sana menjadi raungan tidak jelas ditelinga Akina. Dia sungguh tidak betah berada ditengah-tengah kerumunan orang yang sibuk memuji dan ingin dipuji kembali. Akina sebal sekali karena harus ditinggal beberapa kali oleh suaminya karena pembicaraan bisnis yang Darma lakukan benar-benar tidak dimengerti oleh Akina. Mencicipi makanan dan minuman yang ada di pesta adalah satu-satunya jawaban kenapa Akina bisa betah dan bertahan di dalam sana. Mungkin dia akan terlihat seperti gadis polos karena baru melihat jenis makanan dan minuman yang bentuk dan variasinya berbeda dari yang pernah ada, atau lebih tepatnya Akina yang baru mengetahuinya. "Kamu suka makanan?" Sebuah suara mengejutkan Akina. Hampir saja piringnya terjatuh karena saking kagetnya. Pria asing, pikir Akina begitu melihat yang mengajak bicara tidak ia kenal sama sekali.  Akina berusaha bersikap sopan dengan tersenyum dan menjawab, "Iya. Saya suka makanan." Si pria asing terkekeh. "Saya senang melihat kamu asyik sekali mencoba berbagai hidangan. Padahal, perempuan lain biasanya menghindari makanan ini. Semuanya gula. Semuanya mengandung fat, kata mereka." Tanpa menoleh Akina membalas, "Saya bukan mereka." Lalu, sekali lahap mulutnya menampung kue cokelat yang di dalamnya ternyata berisi potongan buah. Mendadak saja Akina lupa diri. Dia menyukai makanan tersebut sampai mengekspresikan dengan gaya uniknya yang begitu memuja makanan enak. "Enak?" "Heem." Akina mengangguk. "Kapan-kapan aku bakalan bikinin buat adik-adikku di rumah. Mereka senang banget kalau aku bikin makanan yang baru pertama kali—" Akina langsung menoleh pada si pria asing. Dia baru sadar kalau sedang berbicara dengan orang tak dikenal dan menggunakan bahasa yang tidak baku. "Maaf." Akina melewati si pria asing karena malu sudah banyak bicara seperti itu. Namun, sebelum Akina melewati kerumunan si pria asing menahan langkahnya. "Saya punya menu baru. Kamu mau coba? Di bagian belakang ruangan ini, dapur saya terbuka lebar kalau kamu mau coba." Akina menghadap pria asing itu. "Kamu... kamu yang buat semua makanan itu?" Si pria asing lagi-lagi terkekeh. "Iya. Saya yang buat. Kamu bilang suka sama makanannya, kalau kamu mau tahu resepnya saya bisa kasih tahu, siapa tahu adik-adik kamu ketagihan." Lalu pria asing itu mengedipkan sebelah matanya. Meski agak terkejut, Akina bersikap normal agar tidak terlalu mencolok bahwa dia agak risih dengan tangan pria itu yang masih menahan lengannya. "Uh..." Akina berusaha melepaskan tangannya. "Mungkin lain kali saja, Chef. Saya harus pergi sekarang. Terima kasih." Akina tidak menoleh lagi meninggalkan pria asing yang sudah dia putuskan dipanggil Chef. Karena ucapan pria itu yang mengatakan dirinya yang membuat makanan di sana, Akina memanggilnya begitu. Walaupun dalam hati, dia tidak memercayai begitu saja. Dia takut kalau itu hanya tipuan belaka. Lalu dirinya diperdaya dan berakhir di ranjang asing. Akina bergidik dengan bayangan tersebut. "Akina! Dari mana saja kamu?!" Darma sudah menunggu di depan gedung. Ternyata pria itu kebingungan mencari Akina di dalam sehingga berpikir istrinya pasti akan di luar meninggalkan keramaian. "Habis nyobain makanan di dalam, Mas." Akina menjawab. "Kok kamu di sini, Mas? Acara belum selesai, kok." "Gara-gara kamu sering hilang begitu, saya sampai malu karena ditanyai mana istri saya!" Darma membentak. Merasa bersalah, Akina meminta maaf. Meski sebenarnya bukan salah Akina juga, sebab Darma sibuk sendiri dengan pembicaraan bisnisnya. Darma menarik napas kasar. Dia berjalan lebih dulu dan diikuti Akina di belakangnya yang kesulitan karena memakai sepatu hak tinggi. Memandang punggung tegap Darma dari belakang, lagi-lagi Akina harus menyadarkan diri. Kamu bukan Cinderella, Akina. Ini bukan cerita dongeng antara kamu dan pangeran. Ini kisah nyata. * Mungkin Akina memang sudah tidak berpikir waras, karena terus saja berada di dekat Darma sedangkan pria itu enggan berada di dekatnya. Sejak kepulangan keduanya dari pesta, pembicaraan yang mereka jalin hanya mengenai jangan tampil buruk sebagai istri Darma. Meski agak tersinggung, tapi karena Akina sudah meneguhkan prinsip menjalani pernikahan, dia lakukan yang dia bisa. "Mas nanti pulang jam berapa?" Begitu memasuki bulan pertama pernikahan, agak sedikit meleburlah hubungan keduanya. Tidak terlalu kaku, tapi Darma masih sangat membatasi. "Agak malam. Saya mau jenguk kerabat yang sakit." Akina mengangguk. "Saya buatkan bekal, ya. Supaya nanti kalau enggak ada waktu buat makan diluar, mas bisa isi perut dulu." Darma membiarkan Akina yang semangat merawatnya, membuatkan bekal adalah salah satu contoh. Perempuan itu suka menghabiskan waktu di dapur untuk bereksperimen apa saja, dan Darma tidak pernah ketinggalan untuk mencicipi hasil dari percobaan yang istrinya buat. Untung saja enak. Karena mungkin sudah terbiasa memasak, Akina tidak pernah mengecewakan lidah Darma. "Jangan sengaja enggak makan, Mas. Kita harus mulai jaga kesehatan, apalagi kerjaan kamu bukan kerjaan yang jam-nya bisa kamu atur seenaknya. Aku takut kalau kamu sakit, Mas. Kamu enggak pernah mau cerita sama aku, padahal aku—" "Akina." Perempuan itu langsung membekap mulutnya sendiri. Dia terlalu asyik bicara sendiri sampai lupa kalau bahasa yang digunakan terlalu santai. "Maaf, Mas." Dengan canggung Akina meletakan wadah berisi bekal yang ditumpuk dalam satu totebag berwarna hitam untuk suaminya bawa. Seperti biasa, Akina akan bersikap layaknya istri idaman. Darma tahu itu tulus, tapi dia masih ragu untuk membuka diri seutuhnya pada Akina. Jiwa prianya tentu sering meraung untuk segera menjamah dan selalu dekat dengan Akina, hanya saja... Darma masih meyakinkan diri. Darma hendak masuk mobil, lebih dulu Akina menarik pergelangan tangan pria itu dan berkata, "Boleh enggak mulai sekarang... setiap mas mau berangkat kemanapun... saya cium tangan mas?" Hanya permintaan kecil. Darma menyanggupinya. Untung saja Akina tidak meminta hak untuk menjadi istri sepenuhnya pada Darma. "Boleh." Tanpa menunggu lagi, Akina menarik tangan kanan suaminya, melakukan apa yang sebelumnya sudah dia inginkan. Kebiasaan kecil sedikit banyak akan memengaruhi hubungan mereka, dan Akina yakin, cara pendekatan yang terlihat biasa bagi pasangan lain akan berpengaruh luar biasa bagi pernikahannya. "Hati-hati, Mas." "Iya." Akina melambaikan tangan hingga mobil Darma tidak terlihat lagi. Tanpa perempuan itu sadari, Darma melihat dan berpikir keras. Kenapa perempuan secantik Akina mau bertahan dengannya yang selalu mengecewakan? Darma merasa sangat bersalah pada Akina. Kalau saja tidak memikirkan keturunan, dia pasti akan membebaskan hidup Akina agar mendapatkan pasangan yang lebih baik ketimbang dirinya. "Maafkan saya, Akina."  * Di rumah, Akina selalu menyibukkan diri memasak. Darma memberikan fasilitas lengkap. Dia tidak menggunakan uang yang sengaja Darma berikan untuk berfoya-foya, karena apa yang Darma sediakan di rumah sudah lebih dari cukup. "Nyonya mau ke mana?" salah satu pembantu di sana bertanya. "Belanja, Bu. Saya mau bikin kue kering, supaya kalau ada tamu ke rumah ada hidangannya, Bu." "Mau ditemenin?" Akina menolak halus. Dia lebih suka belanja sendiri, karena bisa berkeliling sepuasnya. Kalau mengajak orang lain, Akina merasa tidak enak kalau malah membuat lelah saja. "Enggak usah. Ibu urus rumah saja, ya. Nanti kalau suami saya pulang pas jam makan siang, tolong segera hubungi saya." Akina... Akina... yang ada dipikirannya sekarang adalah sang suami saja. Prioritas utama, suami. Meski adik-adiknya tidak akan pernah dia lupakan. Justru karena sudah menikah Akina semakin bersemangat membahagiakan suaminya agar adik-adiknya tidak berpikiran yang macam-macam.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD