I GOT THIS

2653 Words
Akina akan terus mendalami perannya sebagai seorang istri, sebab dia mulai sangat menyukainya. Seperti sebuah cerita yang akan melegenda, Akina ingin membuat kisahnya sendiri dengan modal keberanian dan tekad kuat. Walau Darma sulit sekali untuk ditembus. "Mas enggak kerja?" Tidak seperti biasanya Akina melihat sang suami berada di rumah dalam keadaan tidak rapi. Darma yang biasa Akina dapati adalah pria dengan segala kerapian yang dia punya dan selalu mementingkan pekerjaan ketimbang berada di rumah. "Kenapa? Kamu enggak suka saya di rumah?" balas Darma ketus. Bukannya menyingkir dan diam, Akina malah semakin tertarik mendekati suaminya. Membuat kedekatan yang mungkin saja malah mampu membuat Darma marah. Tapi, sepertinya Akina tidak peduli bagian tersebut. Buktinya Akina dengan berani memeluk tubuh Darma dan menyandarkan sisi kanan wajahnya di d**a suaminya. "Akina—" "Sebentar saja, Mas. Saya cuma kepingin lebih dekat mas Darma," ucap Akina seraya mendongak. "Boleh, kan sebagai istri saya melakukan ini dengan, Mas?" Ucapan Akina memang seperti bertanya, tapi gelagat tubuhnya menyiratkan agar Darma tidak memiliki jawaban lain selain menyetujui saja. Agak menggeser lengannya agar tidak bersentuhan dengan b****g Akina, dengan posisi yang terlalu kaku, Darma membiarkan Akina merapatkan pelukan. "Mas wangi," ucap Akina lagi sembari mengendus aroma yang menguar dari tubuh Darma. "Saya belum mandi, Akina. Jangan seperti ini...." Darma berusaha sedikit demi sedikit membuat Akina mengganti posisi, tapi perempuan itu terlalu betah merangkul hingga Darma bisa merasakan d**a Akina yang terasa begitu menyenangkan bagi Darma. Berdeham pelan dan berkali-kali Darma lakukan agar otaknya tetap berjalan normal. Siapa yang tahan melihat Akina yang begitu s*****l, apalagi keduanya sudah memutuskan tidur di satu ranjang yang sama sejak Akina meminta mencium tangan Darma sebelum pergi kemanapun. Siksaan berat bagi Darma. Karena merasa Akina tidak akan mendengar protesnya, Darma membiarkan saja dipeluk erat. Bahkan Darma mulai menyamankan diri. "Mas...," panggil Akina. Darma yang menunduk untuk melihat Akina pada akhirnya merasakan sengatan yang berbeda. Pria itu juga seperti terhipnotis dengan cara Akina memandangnya. Entah keberanian dari mana, Akina menangkup wajah Darma dan mencium bibir suaminya untuk yang pertama kali. Diam, awalnya. Namun, ketika Akina akan melepaskan tautan bibir mereka tengkuk Akina didorong agar semakin dalam merasakan tekstur kenyal bibir Darma. Bagaimanapun Darma tetaplah pria. Di dekat meja makan keduanya saling meraih bibir satu sama lain. Seperti tidak memikirkan bagaimana jika ada yang melihat atau tidak. Ini ciuman pertama Akina bersama Darma, bukan berarti dia belum pernah berciuman dengan laki-laki lain. Hanya sebatas ciuman, Akina bertekad memberikan semuanya pada sang suami kelak. Dan saat ini, Akina siap jika harus memberikan segalanya untuk Darma, suaminya. Hembusan napas pendek-pendek begitu terdengar jelas dari keduanya. Bahkan ketika Darma mengalihkan bibirnya untuk turun menciumi dagu, leher, dan bagian atas d**a Akina, tidak ada yang menyadari apa yang terjadi sebelum mereka saling berciuman panas seperti itu. "Hmmm..." Akina menekan kedua bibirnya agar tetap rapat dan tidak membuat suara gaduh. Sentuhan bibir Darma yang seakan sedang mengulitinya malah membuat Akina menginginkan lebih. Dia menyukai Darma yang menyentuhnya, dia menyukai Darma yang menunjukkan sisi liarnya, Akina menyukai segala tentang suaminya dan mungkin saja akan bertambah merindukan pria itu. "Akh—" Saat salah satu p****g Akina digigit kuat, teriakan dari salah seorang pembantu yang terkejut melihat adegan panas tersebut membuyarkan semuanya. * Otak Darma sudah berpindah dari kepala ke selangkangannya. Ketika merasakan bibir Akina yang jelas merangsang sisi liar-nya Darma tidak tinggal diam untuk membalas dan mendominasi. Mungkin, jika tidak ada insiden pembantunya yang berteriak memergoki mereka, kegiatan itu akan berlanjut. Lebih bodohnya lagi, Darma sudah menelanjangi bagian atas tubuh istrinya. Untung saja yang melihat adalah pembantu perempuan, kalau laki-laki, tidak akan Darma pekerjakan lagi orang itu. Baru saja tersadar, Darma langsung membalikkan tubuh dari Akina. Tentu saja Akina merasa sakit hati, seolah tubuhnya yang dilihat Darma sekarang sangatlah buruk sampai memberi pandangan terkejut dan langsung membalikkan tubuh seperti itu. "Ngapain kamu masih di situ?!" Suara Darma menggema. Pembantu yang masih terlihat shock itu buru-buru pergi dari sana. Akina juga tetap merapikan pakaiannya, untung saja tubuh Darma yang memang lebih besar menutupi gerakannya, juga bagian tubuhnya yang terekspos. "Sudah selesai?" Darma bertanya tanpa menoleh. "Sudah, Mas." "Lain kali jangan memancing saya seperti ini, Akina!" Dari nadanya, Akina tahu suaminya sangat marah. Bahkan setelah mengucapkan kata tersebut Darma langsung pergi ke kamar. Menangis sendiri adalah s*****a yang bisa Akina lakukan. Dia persis seperti perempuan murahan yang sehabis dipakai lalu ditinggal begitu saja. Akina begitu kebingungan setelah semua ini terjadi. Mungkin, mencari cara untuk menghindari Darma menjadi hal paling benar. Walau ujungnya, rumah tangga mereka semakin terasa hambar dan tidak jelas kemana arahnya. * Tiga hari. Akina hanya ingin mengurangi kadar kegilaannya yang berusaha sendiri untuk membuat rumah tangganya mengalami kemajuan. Rasanya lelah memperjuangkan dengan kuat apa yang tidak ingin diperjuangkan. Akina sudah terbiasa mengurus segala hal dengan tangannya sendiri. Adik-adik selalu bergantung padanya sebagai anak pertama sekaligus sosok panutan yang lebih dulu memahami cara untuk beradaptasi akan sekeliling. Akina juga yang membuat adik-adiknya tidak salah arah ketika ibu mereka meninggal serta kelakuan ayahnya yang suka berganti pasangan. Puncaknya adalah dimana Akina memutuskan untuk membawa adik terkecilnya untuk tinggal di rumah peninggalan kakeknya yang megah. Ayah mereka memang kaya, tapi juga dipengaruhi faktor dari turunan. Sejak ayahnya meninggal dan menitipkan pesan untuk menikah dengan Darma, Akina tahu kalau pernikahan tersebut adalah untuk menjaga kehidupan adik-adiknya serta keluarga tirinya yang ditinggal sang ayah. Jika bukan berkorban untuk keluarga, Akina mungkin dengan angkuhnya memilih bekerja dan membuat hidup adik-adiknya turun drastis. Namun, Akina bukan sosok seperti itu. Dia rela merasakan sakit untuk keluarga. Walau dari luar, semuanya hanya palsu belaka. Bahagianya hanya dibiasakan terbentuk agar adik-adiknya tidak berpikir macam-macam. Salam dari Darma hanya dibalas seadanya. Akina tidak lagi bertanya Sudah pulang, Mas, seperti biasanya. Akina lebih diam dan melakukan segala kewajibannya sebagai istri dengan tindakan. "Kamu sakit?" tanya Darma menyoroti istrinya. Menyorongkan dasi dan tas kerjanya. Akina menggeleng pelan, menarik kedua sudut bibirnya. "Nggak kok, Mas." "Kenapa?" tambah Darma merasa tidak puas dengan jawaban istrinya. "Kenapa?" balas Akina bingung. "Kenapa kamu jadi lebih diam, belakangan ini. Apa karena—" "Mas mau makan langsung atau mandi dulu?" Akina memutus ucapan Darma. "Akina..." "Saya siapkan air panas, setelah itu baru makan. Biar mas nggak masuk angin kalau habis makan terus mandi." Akina tahu bahwa suaminya memahami apa yang terjadi. Itulah mengapa Akina enggan membahas apa yang sudah Darma pahami. Kalau masih saja bertanya seolah tidak tahu, Akina merasa suaminya sungguh kelewatan. * Bagi sebagian hidup manusia, ada kata bahagia yang akan terurai menjadi kesedihan. Dimana kesedihan itu akan melangkah maju kembali menjadi kebahagiaan. Namun, bagi hidup Akina inilah alurnya.... Masuk dalam lubang keterpaksaan, hidup dalam ketidakpastian, memetik banyak kesedihan, mendapat kesempatan bahagia, setelah itu... terjun dalam lubang kehancuran. * Melihat kelima adiknya Akina tenang. Setelah dua minggu terombang-ambing dalam keraguan bertatap wajah dengan sang suami, Akina akhirnya memilih untuk mengunjungi rumah lama sebelum dirinya resmi menjadi seorang istri. "Mbak masak apa?" Blu yang selalu antusias dengan makanan mendekat ke arah Akina berada. Jika sudah melihat kakaknya asik bermain di dapur, Blu akan mengamati dan terus berada di sana untuk menjadi pencicip pertama. "Mbak bikin asem-asem tetelan ayam. Super pedes. Kalian, kan pada suka masakan pedes." Blu memeluk kakaknya dari belakang. "Uuuuuuhhh... kangen sama Mbak. Coba mbak belum nikah, aku bisa minta masakin apa aja. Sekarang mah mbak sibuk masakin suami tercinta, ya, mbak." Blu terkekeh, mau tidak mau Akina ikut serta. Meski dalam hati, tidak ada kata atau istilah suami tercinta. Apapun itu, Akina senang dan tenang berada di tengah-tengah kerumunan adik-adiknya. Mereka yang suka makan, mereka yang cerewet di meja makan, mereka yang sibuk bertengkar dan kembali mencari satu sama lain, mereka yang selalu rewel jika ada sesuatu yang mengganggu. Semuanya. Akina menikmatinya. Jadi, bagaimana mungkin dia menyakiti adik-adiknya dengan fakta Akina tidak bahagia dan mengajak mereka untuk hidup susah. Terlebih lagi adik terkecilnya yang masih kelas lima SD—Endiraya. "Mbak mau nginep?" Ebe menarik gelas berisi jus melon kesukaannya. "Mbak boleh nginep?" Sahut Eve, menambahi. "Mbak izin sama suami mbak dulu, ya." Pada akhirnya Akina menghubungi sang suami untuk mendapatkan izin. Meski saling mendiamkan, bukan berarti Akina melalaikan apa hak dan kewajibannya. Menunggu beberapa saat nada sambung, Akina mendapati suara suaminya yang sarat rasa lelah. "Kenapa, Akina?" "Saya boleh menginap, Mas?" langsung saja Akina pada intinya. "Menginap dimana?" "Ini di rumah lama. Sama adik-adik." Akina tidak tahu jika menunggu izin suami bisa sebegini gugupnya. "Mas?" Panggil Akina karena tak kunjung suaminya bersuara. "Ya. Boleh." Sudah. Itu saja. Akina mengucap salam dan menutup sambungan teleponnya. Menghela napas karena Darma hanya mengucapkan kata yang begitu singkat. Memasang wajah berseri kembali dihadapan adik-adiknya.  * Tidur lelap Akina terganggu karena gerakan yang tidak biasa. Tengkuk dan sebagian wajahnya terasa basah. Akina mengernyit lalu berusaha membuka mata. Dalam keremangan cahaya Akina bisa melihat jelas jika suaminya-lah yang sibuk menghujaninya dengan kecupan. "Mas Darma?" tanya Akina bingung. "Hm." "Kenapa mas bisa di sini?" "Nyusul kamu." Akina yang heran memberi jarak dengan menahan d**a Darma agar tidak bertindak semakin dekat. Padahal, pria itu sendiri yang bilang agar dirinya tidak memprovokasi, tapi sekarang malah menciumi Akina lebih dulu. "Mas kamu kenapa—" Darma menarik tangan Akina hingga tubuh mereka rapat. Melumat bibir perempuan itu dengan gerakan tergesa-gesa. Tidak sempat Akina berpikir normal, dia menikmati setiap lumatan dari sang suami. Saat akan naik kepangkuan Darma ada suara lain yang menginterupsi. "Oupsss! sori, sori." Ebe keluar dari arah dapur membawa segelas air putih. "Mending mbak sama mas Darma masuk kamar, deh. Adik-adik biar aja tidur di situ, mereka udah biasa tidur depan tv." Akina berusaha menormalkan detak jantung serta napasnya. Setelah Darma menariknya menuju kamar di lantai atas, dan merebahkan diri seolah tidak terjadi apa-apa, Akina baru menyadari kalau Darma melakukan sesi intim sebab tahu Ebe berada di dapur. Darma hanya ingin menunjukkan bahwa hubungan mereka sebagai pasangan suami istri memang normal dimata adik-adik Akina. Hanya itu. * Keesokannya sarapan yang dibuatkan Akina tandas oleh adik-adiknya serta tambahan, sang suami yang ikut berbaur pagi itu. "Cieee... yang semalem disamperin. Mana langsung cium-cium lagi, pasti nggak dikasih tidur, ya, Mbak sama suami." Ebe memang usil jika pada Akina. Mulutnya yang suka asal saja bicara bisa membuat adik-adiknya tercemari. "Eb! Sembarangan aja, sih kalau ngomong." Digoda sebegitunya oleh Ebe, rona di pipi Akina muncul. Meski ucapan Ebe tidak benar, tapi Akina tetap merasa malu. "Kalau di rumah, suami mbak suka begitu juga?" Akina meneliti piring yang baru saja dicuci kegiatan yang selalu dia lakukan setelah memasak dan menghidangkan masakan. Disinggung mengenai Saran terus, Akina berinisiatif untuk membuat Ebe illfeel. "Mas Darma sukanya main di mana aja. Dapur, ruang tv, halaman belakang, kolam—" "Ihhh! Mbak jorok banget, sih!" Akina terkikik melihat gestur jijik dari Ebe. Adik Akina yang satu itu memang aneh, sukanya membahas hal yang seronok tapi kalau diberi pembahasan seronok malah jijik sendiri. "Lagian, nanya melulu! Nanti kalau kamu udah nikah, tahu deh rasanya." Ebe mengerucutkan bibir. "Kan memastikan aja. Aku pikir mbak nggak bahagia karena nikah berdasarkan perjodohan. Siapa yang bakalan nyangka kalau hubungan mbak sama suami bakalan mesra banget gitu. Apalagi suami mbak lebih tua." Mengeringkan tangan, Akina merenungi apa yang Ebe ucapkan. Memang terdengar biasa, tapi Akina tahu kalau diam-diam adik-adiknya pasti membahas mengenai pernikahannya. Sedikit banyak Akina bersyukur, Darma ternyata paham untuk menunjukkan kemesraan semalam. Kalau tidak begitu, mungkin Ebe akan semakin menaruh curiga. "Kamu nggak berangkat kerja? Udah jam delapan." "Suami mbak aja belum turun. Enak banget kerjanya." Akina mengernyit. "Jangan kamu bandingin, dong, Eb! Mas Darma, kan yang punya perusahaan. Kalau kamu, masih karyawan biasa lho. Mau bandingin sama suami mbak?" Ebe menarik kursi makan, duduk di sana sembari menatap kakaknya. "Aku udah resign tahu, mbak." "Hah?! Apa-apaan kamu resign? Susah-susah cari kerja, capek tenaga capek ongkos—" "Ish! Aku mundur bukan karena mau jadi pengangguran, Mbak. Aku mundur soalnya aku udah punya usaha yang pendapatannya melebihi gajiku sebagai karyawan kantor." Semakin melongo Akina dibuatnya. Diam-diam adiknya sudah melangkah sejauh itu. "Usaha apa kamu?" tanya Akina. "Fashion, dooong! Dari dulu mbak tahu aku sukanya bergaya." Akina menghela napas. "Modalnya?" "Suami mbak kok yang waktu itu nyaranin, terus aku minjem modal sama mas Darma, jadi aku nanti balikin, kira-kira sembilan bulan lagi deh baru lunas." Entah merasa senang atau justru semakin merasa banyak berhutang. Darma sudah tahu lebih dulu mengenai ini, tapi suaminya tidak mengatakan apa-apa. "Lunasin secepatnya, ya. Mbak nggak mau ada hutang yang kita bawa, meskipun itu dari suami mbak." Akina hanya bisa menjelaskan secara baik-baik pada Ebe. Kalau diomeli, Ebe tidak akan paham dan justru malah bertanya kemana-mana. "Iyalah. Masa mau minta gratisan. Aku juga tahu, kok minjem itu harus dibalikin mbak. Walaupun mas Darma bilang nggak usah balikin—" "Dia bilang gitu?" "Iya. Katanya itu hak aku sebagai adik dari istrinya." Ebe menerawang. "Baik banget, sih. Tapi aku nggak suka hutang budi. Kalau-kalau suatu saat pernikahan mbak dan mas Darma ada masalah, aku nggak enaklah." "Hus! Kamu doain?!" Ebe menutup mulutnya. Menggeleng cepat. "Nggak kok. Itu kan umpama, belum tentu juga kejadian." "Ebe!" Karena Akina semakin takut jika dia benar-benar mengalami masa itu. Sebab rumah tangganya kini belum mengalami kemajuan apa-apa. * "Kamu lebih suka yang mana?" Akina mulai kebingungan. Tiba-tiba saja sang suami mengajaknya untuk berbelanja. Padahal, biasanya di hari libur, Darma tidak mau repot-repot keluar dari ruang kerjanya hanya untuk mengajak belanja. "Aku suka dua-duanya, sih, Mas. Cocok buat kamu, Mas. Aku bingung." "Ya udah, beli dua-duanya aja." "Hm." Akina menyetujui. Toh yang dibeli adalah barang kebutuhan untuk suaminya. Berjalan mengelilingi koleksi toko pakaian pria, Akina membiarkan suaminya membayar apa yang diputuskan untuk dibeli tadi. Dia melihat ke sisi kiri, ada koleksi ikat pinggang yang menurut Akina lucu jika dipakai sang suami. "Akina," panggil Darma. Akina menoleh, dan tersenyum. Perempuan itu bahkan tidak tahu efek luar biasa yang menyengat diri Darma. "Kamu nyari sesuatu?" Akina menggeleng pelan. "Nggak kok, ini aku cuma iseng lihat-lihat. Lucu ikat pinggangnya." "Kamu mau beli?" "Mas mau pake?" Ditanya cepat seperti itu refleks Darma mengangguk. Sudah lama rasanya dia tidak diperhatikan seorang perempuan. Ratna yang sakit justru lebih membutuhkan perhatian darinya. Diam-diam Darma menghitung, umur serta masa yang dia habiskan untuk mengurus Ratna sendiri. Sekarang, dia memiliki Akina... bolehkah Darma egois untuk merasakan semua perhatian Akina? "Masakin saya sayur yang dibilang adik kamu kemarin." Akina mengernyit. "Sayur apa, Mas?" "Itu, lho... yang dibilang Blu pas sarapan. Dia pengin asem—apa gitu." Sejujurnya Akina ingin tertawa dibuatnya, karena ini momen langka yang terjadi pada suaminya. Tak apa walau belum mendapatkan hak sebagai seorang istri, Akina akan menuruti keinginan suaminya agar rumah tangga yang sedang dijalani bisa berjalan maju. "Asem-asem tetelan. Mas suka buncis?" Sembari berjalan menuju bahan masakan yang dituju, Akina menanyai apa yang disuka dan tidak oleh Darma. Hari itu, menjadi salah satu wadah dimana keduanya mengenal satu sama lain. Mulai dari makanan serta masakan apa yang lebih disukai keduanya. Bahkan mereka tanpa sadar sudah banyak bertukar cerita di supermarket tersebut.  * "Haaaa...." Darma terus membuka mulut dan mengeluarkan suara pertanda dirinya merasakan pedas luar biasa. Sang istri segera membawakan air hangat agar kadar pedasnya bisa berkurang. "Sudah, Mas. Kalau sudah kepedasan begini berhenti makan sayurnya." Akina tidak tega melihat suaminya. Darma menggeleng. "Ini enak banget! Pedas tapi nagih. Gimana adik-adik kamu nggak ketagihan kamu masakin, enak begini. Masakan kamu memang enak." Dipuji oleh suami, pipi Akina memerah. Mungkin efek dari rasa pedas tersebut membuat Darma tanpa sadar memberikan pujian yang luar biasa untuk Akina. "Pelan-pelan. Aku bisa masakin lagi, kok kalau mas masih pengin makan." "Nanti kamu mau masak apa? Saya masih pengin sayur ini. Tapi kita beli bahannya dulu, ya?" "Masih ada daging dan ikan, kok, Mas. Saya bisa masak begini juga. Sengaja beli buncis agak banyak, mau yang daging atau ikan?" Darma meneguk air hangat perlahan, rasa pedasnya berkurang tapi terus dia menyendok sayurnya. Bagaimana mau selesai dari rasa pedas. Akina mengambil tisu, mengelap keringat suaminya dari dahi. Lucu sekali melihat suaminya yang biasa terlihat dewasa dan dingin, kini ketagihan masakannya seperti anak kecil. Tidak berhenti Akina membatin betapa lucunya sang suami. Jika begini, Akina yakin kalau mereka bisa menjadi pasangan yang sebenarnya. Tiba-tiba hasrat untuk berjuang di pernikahan itu kembali muncul.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD