D

1477 Words
“Dipijat yang kuat,” titah Mbok Semi. Mata perempuan tua gemuk itu memang terpejam namun kewaspadaannya terhadap pijatan junior tempat kerjanya masih kuat. Wes, kapan lagi bisa dipijat tanpa keluar duit begini. Vianka hanya bisa mendengkus sebal lalu kembali melanjutkan tugasnya memijat tangan gempal si Mbok. Tugas yang merupakan suap tutup mulut karena tidak becus mengepel lantai dan membuat anak Pak Bos terpeleset. Ini kali pertamanya mengepel menggunakan kain pel tanpa gagang. Dia kagok memeras kain dan mengepel lantai sambil berjongkok. Ritme yang tidak biasa dia lakukan. Boleh dibilang ini merupakan karmanya karena sudah mematahkan gagang pel. Gagang kain pel yang terbuat dari plastik itu patah secara tidak sengaja saat Vianka hendak menyimpan kembali ke lemari peralatan bersih-bersih. “Abis ini ke kamar Cah guanteng. Bawain balsam dan s**u. Kamu tuh kerja yang bener, gimana kalo tadi Cah guanteng terbentur kepalanya? Bisa-bisa...” Mbok Semi dengan mata terpejam masih saja memerintah dan mengomel. Vianka sudah bosan tinggal di sini karena ocehan si Mbok yang saingan kebawelan maminya. Diam-diam, dia menarik satu teori bahwa setiap perempuan yang beruban, tubuh sudah tidak kencang, dan keriput merajalela akan bertransformasi menjadi manusia bawel. Kadang Vianka rindu maminya. Begitu ingat tekad gila mami menikahinya dengan si cowok 'tebar s****a', bulu kuduknya langsung berdiri. Sekejap saja dia mensyukuri keputusan menggeluti profesi dadakan ini. Meski profesi ini tidak pernah terpikirkan olehnya. Bagaimana lagi, takdir yang mengarahkannya. “Dengar, ndak?” tanya Mbok Semi yang sudah selesai mengeluarkan wejangan entah apa itu yang tidak didengar Vianka. “Iya, Mbok,” jawab Vianka lemah. “Ya sudah kenapa masih di sini? Sana ke kamar Cah Guanteng,” usir Mbok Semi sambil melambaikan tangan. Membawa perasaan kesal, Vianka pergi sembari menghentakan kaki keras. Kesal disuruh ini-itu tidak ada habisnya. Baru bisa istirahat jika si Mbok sudah tidur. Untung Pak Bos jarang berlama-lama di rumah. Pergi pagi, pulang larut. Bisa bunuh diri Vianka berhadapan lama dengan majikan sinis yang hobi melotot setelah dipaksa jadi romusha oleh Mbok. “Mas Kasyaf,” panggil Vianka di depan pintu kamar anak laki-laki itu. “Masuk aja, Mbak!” sahut dari dalam kamar anak majikannya. Sebelum masuk, Vianka sempat melirik ke arah pintu dapur. Mbok Semi sedang memantau gerak-geriknya. Karena rumah ini hanya satu lantai, ruang keluarga dan ruang makan tidak dibatasi partisi, siapa pun yang berada di dapur leluasa melihat keseluruhan empat pintu kamar utama. Kecuali ruang tamu yang dibatasi partisi buffet kayu minimalis berwarna hitam. Vianka masuk lalu menutup pintu di belakangnya. Biar si Mbok nggak ganggu, pikirnya. Kasyaf yang sedang duduk di kursi belajarnya menoleh dan tersenyum pada Vianka. Senyum bocah ini selalu membawa kedamaian bagi Vianka yang sering kena tegur Pak bos dan si Mbok. Kasyaf adalah alasan lain Vianka betah bekerja di sini. “Mbak bawain balsam dan susu.” Vianka meletakkan kedua benda tersebut di atas meja belajar Kasyaf. “Mbak minta maaf ya. Kamu kepeleset gara-gara Mbak nggak telaten ngepel lantai.” “Nggak apa kok, Mbak. Kasyaf yang salah juga, nggak liat-liat ada becek.” Manis banget sih ni bocah. Sayang beda tiga belas taun, kalo tuaan dikit aja gue gebet lo, pikir Vianka. Dia heran kenapa ayah Kasyaf sangat jutek kepadanya padahal anaknya begitu manis. Jika Pak bos masih dendam soal kejadian pemukulan di depan pagar rasa-rasanya sempit sekali pemikiran Pak bos. “Kamu belajar apa?” “Matematika.” “Mau Mbak bantu,” tawar Vianka. Anggap saja tebus dosa sudah menyebabkan anak manis ini terjatuh. Pantas si Mbok suayaanng banget sama Kasyaf. Wong anake lanang tapi kelakuannya kek anak turunan keraton. Bahasanya santun dan tebar senyum terus. “Mbak mau bantu? Boleh, boleh. Kasyaf nggak ngerti sama soal ini.” Antusias sekali respons yang ditunjukan Kasyaf, membuat Vianka tidak bisa menyembunyikan perasaan senang. Vianka menarik kursi lain yang ada di kamar Kasyaf. Dia membaca soal yang ditunjukkan Kasyaf lalu dengan sabar mengajarkan putera majikannya itu cara mengerjakan soal-soal yang dianggap sulit. “Selesai!” pekik Kasyaf riang. Setelah satu jam berkutat menyelesaikan kumpulan soal matematika bersama Vianka, Kasyaf bisa beristirahat sambil merentangkan tangannya ke atas kepala sambil meregangkan otot punggung yang pegal setelah duduk lama. “Mbak makasih ya,” kata Kasyaf pada Vianka yang masih duduk di dekat meja belajarnya. “Iya, sama-sama.” Tidak pernah sekalipun Vianka merasa beruntung punya otak encer untuk membantu orang lain. Dua adiknya tidak pernah minta diajari belajar. Mereka terlalu pintar dan sombong untuk mengemis bantuan padanya. Padahal Vianka ingin sesekali membantu mereka. Memainkan peran kakak baik yang siap sedia tiap adiknya membutuhkan. “Nanti aku cerita ke Ayah kalo Mbak bantuin aku.” “Eeh, buat apa? Ayah kamu tuh galak ke Mbak, ntar yang ada Mbak diomelin ayah kamu lagi.” Vianka panik bakal kena sesi dijudesin Pak bos. Masih mending diomelin si Mbok, ketar-ketirnya lebih sebentar. Kasyaf tergelak. “Nggaklah, Ayah baik. Mungkin Ayah masih sensi aja kali, Mbak kan pernah mukulin Ayah pake batang kayu.” “Kamu kok nangis waktu itu?” Bukannya langsung menjawab, Kasyaf mengerucutkan bibir. Pose yang menggemaskan menurut Vianka namun dia paham Kasyaf sedang tidak mencoba terlihat imut melainkan tengah menunjukan perasaan kesalnya. “Kasyaf takut Ayah kenapa-napa. Kasyaf kan cuma punya Ayah, Mbak. Kalo Ayah sampai meninggal, Kasyaf nggak punya siapa-siapa lagi.” Vianka memahami ketakutan Kasyaf. Hidup sebagai seorang piatu sejak bayi bukanlah hal yang mudah. Luka pada Kenio yang pernah dibuatnya pasti menyebabkan ketakutan tersendiri bagi Kasyaf yang masih kecil. Dia merasa bersalah. Tanpa pikir panjang, Vianka merengkuh Kasyaf dalam pelukannya. Bocah itu gelagapan terhadap tindakan spontan Vianka. “Jangan takut. Mbak nggak akan menyakiti ayah kamu lagi. Kalo ayah kamu nakal, Mbak cubit aja. Selain ayah kamu, Kasyaf masih punya Mbok Semi dan Mbak.” Mendengar ungkapan tulus Vianka, Kasyaf balas memeluk Mbak baru yang ceroboh dan cerewet itu. Baru kali ini, Kasyaf mudah sayang terhadap orang baru. Walau ramah dan murah senyum, Kasyaf bukan tipe yang gampang suka dengan orang lain. Dia hanya terbiasa berlaku sopan seperti yang ayahnya dan si Mbok ajarkan. “Makasih, Mbak. Kasyaf sayang Mbak,” ungkap Kasyaf tulus. Deg! Vianka membeku di tempat. Ini pengalaman pertamanya menerima ungkapan sayang setulus ini. Apalagi yang mengungkapkannya adalah anak umur sepuluh tahun yang jauh dari pergaulan aneh khas anak kecil jaman now. Maminya sendiri tidak pernah umbar kata sayang kecuali selipan panggilan untuknya yang berupa ‘Say’. Kedua adiknya lebih impossible. Kekasih brengseknya pernah beberapa kali mengucapkan kata sakral itu sebelum minta kissing. Vianka jijik jika mengingat kebodohannya termakan rayuan Farrel. “Mbak-” Belum sempat Vianka melanjutkan kalimatnya, satu suara menginterupsi perkataannya. “Lagi ngapain kalian?'' Vianka tersentak dan spontan melepas pelukan mereka. Pemilik suara yang menginterupsi mereka itu tidak biasanya berkeliaran di rumah pada jam-jam segini. “Ayah!” Kasyaf lantas berlari menubruk tubuh sang ayah penuh suka cita. “Tadi Mbak bantu aku mengerjakan peer matematika.” Kenio melirik tajam Vianka sebelum mengurai pelukan Kasyaf. “Mbak bantu mengerjakan atau Mbak yang mengerjakan?” tanya Kenio pada Kasyaf tetapi sorot tajamnya melekat ke Vianka. “Nggak dong, Yah. Kasyaf dikasih tau aja cara ngerjainnya terus Kasyaf lanjutin sendiri,” bela Kasyaf. Kenio tertawa melihat anaknya kesal. “Oke, Ayah percaya sama kamu. Sudah mandi?” “Belum, Yah,” kata Kasyaf sambil menunduk. “Mandi dulu sana,” perintah Kenio. Kasyaf mengiyakan perintah ayahnya lalu masuk ke kamar mandi yang berada di dalam kamar. Kenio memberi kode dengan gerak kepalanya agar Vianka keluar. Vianka tebak ini pasti karena acara peluk-pelukan unyu tadi. “Kamu ngapain peluk Kasyaf?” tanya Kenio begitu mereka sudah keluar kamar. “Saya cuma terharu sama kasih sayang Kasyaf ke Bapak. Nggak ada maksud apa-apa. Kalo mau marah-marah, mending buang aja, Pak. Bisa bikin darah tinggi. Bapak kan udah tua, mending pikir yang positif aja. Misalkan saya dan Kasyaf sebagai kakak-adik. Tenang Pak, bukan kakak-adik zone kayak yang nge-tren di sosmed kok. Saya tulus mau jadi kakaknya Kasyaf. Ya syukur-syukur kalo Bapak mau sekalian angkat saya anak, lumayan kan dapat uang saku bu..” “DIAM!” bentak Kenio. Kepalanya sudah pening mendengar ocehan gadis begajulan yang sudah seminggu menjadi pembantu di rumahnya. Makanya dia paling malas mengajak bicara Vianka, ocehan panjang tidak bermutu pasti memekakan telinganya. “Iih, si Bapak malah ngebentak,” cibir Ivanka pelan. “Ngomong apa kamu?” tanya Kenio dengan ekspresi galak. Dia mendengar ucapan Vianka, tapi tidak ingin bersikap impulsif jika langsung marah. “Nggak.” Vianka menggeleng kuat. Kenio gemas melihat tingkah gadis muda itu yang sebenarnya lucu, sayang mulut Vianka seperti kopaja rem blong. Ngebut, sradak-sruduk, tukang salip, dan susah berhenti. Sekalinya berhenti, maka besar kemungkinan menyebabkan kendaraan lain terpaksa injak rem dadakan atau berakhir tabrakan. “Saya nggak suka kamu punya interaksi berlebihan dengan Kasyaf. Dia masih kecil, awas saja kalau saya dengar kamu mengajari Kasyaf yang aneh-aneh,” ancam Kenio. Mata elang Kenio menatap Vianka tajam. Vianka mengendipkan mata bulatnya berkali-kali. Hati kedua orang itu berujar, matanya indah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD