Entah sudah berapa kali selama tiga minggu, Mbok Semi mengerjai Vianka untuk merawat taman depan dan belakang rumah majikan mereka. Padahal Vianka pernah melihat ada orang yang bertugas mengurus taman, tapi sudah tiga minggu belakangan orang itu tidak datang lagi.
Pinggang Vianka rasanya mau patah, berjongkok sambil memangkas rumput dengan gunting besar khusus tanaman. Belum lagi teriknya matahari menyebabkan kaos yang dipakainya basah oleh keringat.
“Mbok balas dendamnya parah banget. Cuma karena gue bikin kemeja Pak bos gosong pas disetrika, dia nyuruh gue mangkas rumput, ngasih pupuk, siram tiap pagi-sore. Dikira kerjaan gue santai banget kali ya?” Vianka bermonolog.
Biar dia marah dan kesal, tangannya tetap bergerak memotong rumput yang tingginya tidak sama. Lama-kelamaan Vianka mulai ahli mengerjakan semua pekerjaan. Menggerutu seharian penuh pun semua pekerjaannya pasti akan selesai, walau tidak sangat rapi. Maklum, Vianka penganut paham ‘Yang penting kelar’.
“Kamu ngapain ngomong sendiri?”
Vianka menoleh ke asal suara. Kenio berdiri di carport dengan mata memicing kepadanya. Curigaan mulu nih Pak bos. Gue berasa kayak penjahat aja kalo di sini. Apa-apa salah, nggak si Mbok, nggak si Bapak. Yang baik cuma Kasyaf ajalah, gerutu bathinnya.
“Hei, saya tanya kamu ngapain siang-siang di situ?” tanya Kenio dengan suara lebih galak.
Vianka berdiri dan berjalan mendekati sang majikan. Meski kesal, Vianka tidak bisa menampik jika wajah dan tubuh Pak bos merupakan angin segar di rumah ini. Ya, kecuali mulut rujak bebeg super Hot Pak bos yang sukses bikin Vianka mules.
“Saya mangkas rumput, Pak.”
Mata Kenio melebar sekian detik. Cepat-cepat dia membuang pandangan ke arah lain. Jika tidak, malu sekali kedapatan melihat ceplakan bra pembantunya di balik kaos putih yang basah.
Vianka yang tidak sadar dengan kondisi pakaian dalamnya bertanya lagi, “Bapak sendiri kenapa jam segini ada di rumah? Bolos kerja ya? Ntar dipecat bosnya loh!”
“Sembarang aja kamu,” sembur Kenio. Lagi-lagi matanya mengarah ke d**a pembantunya yang menantang. Kenio pria normal yang pasti tergoda dengan perempuan berdada besar dan... basah.
“Si Bapak mah ngomel mulu. Ingat umur, Pak. Nggak baik ngomel buat kesehatan.”
“Tau apa kamu soal kesehatan saya?” Matanya memang melotot ke Vianka tapi sesekali dia curi pandang ke gunung kembar yang rasanya bakal pas di genggaman itu. p******a Vianka tampak lumayan besar.
“Si Bapak diingatkan malah nggak terima. Saya nggak ngerti maunya Bapak,” balas Vianka bercanda. Ini kerjaan barunya, membuat majikannya marah-marah. Bentuk hiburan yang belum lama ini dia dapati lebih seru dari membantu Kasyaf mengerjakan PR.
Kenio bisa saja mengatakan apa maunya pada Vianka. Masalahnya apa gadis muda itu mau menurut untuk mendesah di bawahnya. Kenio meringis menyadari fantasinya atas pembantu ceroboh ini berubah semakin liar.
“Sudah saya mau masuk. Capek ngobrol ama kamu.” Kenio memutuskan kabur ke dalam rumah daripada meladeni Vianka. Lebih dari itu, dia butuh air dingin untuk menetralisir panas yang mendadak mendera badannya akibat berdekatan pembantu muda.
“Saya yang capek punya majikan galak kayak Bapak. Untung ganteng, kalo nggak mah uweek,” cibir Vianka setelah tidak lagi dapat melihat punggung majikannya.
***
“Ayuni,” panggil Mbok Semi saat Vianka sedang mengangkat jemuran.
“Ada apa, Mbok?” Vianka meletakkan cucian yang sudah kering ke dalam keranjang rotan. Kemudian dia memutar badan.
“Kamu dikasih titipan dari Bapak.” Mbok Semi menyodorkan amplop putih.
“Ini apa?”
Mbok Semi tersenyum. Tangannya menarik Vianka agar menerima amplop itu. “Gaji kamu bulan ini.”
Vianka butuh jeda beberapa detik untuk paham bahwa amplop putih itu berisi uang yang katanya gaji. “Beneran, Mbok?! Aku gajian?! Sumpah demi apa?!” pekik Vianka kegirangan. Baru semalam dia memanjatkan doa yang isinya meminta bantuan finansial karena sudah kehabisan uang tabungan untuk jajan, siang ini doa Vianka terkabul. Di rumah ini memang banyak makanan tapi sebagai perempuan, ada saja timbul keinginan jajan makanan tertentu yang memaksanya merogoh kocek sendiri.
Si Mbok yang gemas dengan kebawelan Vianka, menepuk keras bahu gadis muda itu. Vianka mengaduh tak kalah keras. Ini bisa dilaporin kekerasan dalam rumah majikan nggak? Pikiran jahat Vianka seketika hadir.
“Jangan dihabiskan buat jajan. Sisakan buat simpanan kamu, Nduk,” pesan Mbok Semi sebelum kembali ke rumah. Gips di kakinya sudah dilepas sejak dua hari lalu.
“HOREE!” sorak Vianka sambil melompat-lompat.
“Mbaaak!” Kasyaf berlari ke arahnya. Penampilannya khas anak yang SD yang baru pulang sekolah, kucel dan bau matahari.
“Udah pulang, Mas.” Vianka terbiasa mengikuti cara Mbok Semi memanggil Kasyaf dengan tambahan ‘Mas’. Menurut si Mbok biar Kasyaf berasa dewasa, nyatanya si Mbok yang sering memperlakukan Kasyaf layaknya anak kecil.
“Iya. Mbak kenapa lompat-lompatan gitu?”
“Mbak baru gajian. Mbak seneng, Mas,” jawab Vianka tanpa segan memamerkan amplop gajinya.
“Kasyaf juga senang nilai ulangan Kasyaf bagus-bagus, Mbak.”
Vianka baru ingat bahwa minggu lalu Kasyaf mengikuti ulangan pra semester. Dia berkutat semalaman mengajari Kasyaf pelajaran yang kurang dipahami. Mendengar Kasyaf memperoleh hasil memuaskan atas kerja keras bocah itu, Vianka turut senang.
“Syukur ya, Mas. Mbak boleh liat, nggak?”
“Boleh dong. Kasyaf kan dapat nilai bagus karena Mbak.” Kasyaf mengangsurkan kertas yang diambil dari dalam tasnya.
Rata-rata nilai Kasyaf di atas delapan. Vianka tidak bisa menutupi rasa haru. Dia tahu betapa Kasyaf berharap mendapatkan nilai bagus agar Pak bos bangga. Sebuah ide mengapresiasi kerja keras Kasyaf melintas dalam benak Vianka. “Oke, karena Mas Kasyaf sudah dapat nilai yang bagus. Mbak mau traktir Mas makan sosis. Gimana?”
Mata Kasyaf melebar saking takjub dengan traktiran yang ditawarkan Vianka. Belum pernah ada orang yang mengajaknya makan kecuali ayahnya sendiri. “Mau, Mbak!”
“Ayo ganti baju dan makan siang. Abis itu tidur siang.” Vianka melangkah duluan menuju rumah sambil membawa keranjang cucian bersih.
“Loh kapan makan sosisnya, Mbak?”
Vianka berbalik cepat. Rambut panjangnya tersibak layaknya iklan shampoo. “Emang udah izin ama Ayah? Izin dulu ama Ayah, ntar Mbak diomelin kalo bawa kamu keluar tanpa izin. Tau sendiri ayah kamu galak banget ama Mbak. Salah dikit ngomelnya saingan ama si Mbok.”
Kasyaf terkekeh mendengar ayahnya dijelek-jelekan Vianka. Anehnya, Vianka juga sering memuji ketampanan ayahnya tapi meminta Kasyaf merahasiakan. Buat apa merahasiakan ketampanan ayahnya yang menyebabkan ibu-ibu kompleks naksir. Dan Kasyaf tahu itu. Dia hanya menutup mulut karena sudah diperingati ayahnya untuk menjaga omongan sebagai pria.
Ya, Kasyaf ingin menjadi pria yang bicara seperlunya tapi penting seperti sang ayah. Pengeculian jika ayahnya dekat-dekat Vianka, pasti bicara banyak dan marah-marah.
“Nanti Mbak bantu Kasyaf minta izin ke Ayah,” rengek Kasyaf.
Vianka memutar bola mata. Malas sekali berhadapan dengan Pak bos yang hobi tarik urat pembantu. Ralat! Vianka saja yang tarik urat. Mbok Semi nyaman bekerja dengan Pak bos.
“Ya udah, nanti Mbak bantu ngomong.”
“Yeah, kita makan sosis!” sorak Kasyaf sembari loncat-loncatan masuk ke kamar. Vianka geleng-geleng kepala melihat tingkah Kasyaf. Normal sih karena Kasyaf juga masih anak-anak. Hanya saja Kasyaf lebih sering bersikap dewasa dan anteng sehingga Vianka sering lupa Kasyaf masih anak-anak.
Dari arah dapur, aroma sedap makanan mengundang cacing-cacing di perut Vianka berdisko. Makanan olahan Mbok Semi memang selalu lezat, tak ayal baru sebulan tinggal di sini berat badan Vianka sudah naik tiga kilo. Tidak terlihat perubahan besarnya kecuali lingkar bra yang makin sesak saat dikenakan. Mungkin nanti dia bisa beli bra baru sekalian mengajak makan Kasyaf.
“Mbok masak apa?”
“Kalo makanan aja cepat datang,” goda si Mbok. “Kerjaanmu udah kelar, Nduk?”
“Tinggal setrika. Nanti malam aja ah Mbok. Setrika siang-siang gini bikin gerah. Lagian rumah besar gini nggak ada AC, cuma di kamar Kasyaf dan Bapak aja. Pelit banget sih,” keluh Vianka.
“Hush, jangan sembarangan ngomong. Kan ada kipas angin. Lagian rumah ini asri, jendelanya besar-besar, adem.” Mbok Semi selalu membela sang majikan.
Vianka sempat menduga si Mbok kena pelet. Namun belakangan dia sadar pria tampan dan bertutur lembut -kecuali padanya- pasti mudah meluluhkan hati perempuan. Coba tanya random pada perempuan di kompleks ini siapa yang kenal Pak Kenio, pasti jawabannya kenal bahkan dengan sukarela mereka akan menambahkan info 'Pak Kenio yang ganteng itu', 'Pak Kenio yang ramah itu', 'Pak Kenio yang bla bla bla'.
Dirinya juga mendadak populer sebagai pembantu baru Pak Kenio. Populer itu menular. Para perempuan itu mendekatinya dengan maksud menarik simpati majikannya. Sayang seribu sayang, Vianka tidak minat membantu. Dia malah terkenal sebagai pembantu judes Pak Kenio. Penting ya nyisipin nama bos galak di mana-mana. Bikin bete.
“Wes, ayo kita makan siang. Panggil Cah Guanteng, Yu.”
Vianka bergegas mematuhi perintah si Mbok. Urusan makan, mari didahulukan. Lupakan sejenak Pak bos Kenio galak tukang melotot yang ganteng. Eh?