Frekuensi kerja yang padat sering memaksa Kenio pulang larut malam. Misalkan hari ini dia baru menjejakan kaki di lantai teras pukul dua belas kurang lima menit. Pembantu seksinya —begitu caranya menyebut Vianka— sering mengatainya sebagai hansip setan. Pulang setelah patroli semua setan siap gentayangan. Ngajak berantem kan pembantu satu itu, untung montok. Pikiran m***m Kenio yang sudah lama pulas jadi sering bangkit sejak hari ‘bra nyeplak’ yang sampai kini tidak diketahui Vianka.
Kenio masuk rumah tanpa niat mengusik penghuni lain yang sudah terlelap. Dalam keremangan, Kenio berjalan pelan-pelan agar tidak menabrak benda apapun itu. Lampu rumah biasa dimatikan Mbok Semi pukul sepuluh atau paling lambat pukul setengah sebelas malam. Cahaya bulan purnama di langit menembus ruangan melalui sudut jendela yang tidak sepenuhnya ditutup tirai.
Klik.
Ruangan tiba-tiba terang. Kenio kelabakan menyesuaikan sinar yang masuk mendadak ke dalam retina. Dia mengedipkan mata berkali-kali sampai terbiasa dengan intensitas cahaya yang baru. Pandangannya menyisir ruang tengah, berhenti pada sosok jelita yang berdiri tidak jauh dari saklar lampu.
“Bapak ngapain jalan mengendap-endap kayak maling? Mau maling di rumah sendiri?”
Vianka memang suka bicara seenaknya tanpa pikir panjang. Kenio yang sudah hapal mulut rombeng Vianka hanya bisa mencebik melampiaskan kesal.
“Mulut Bapak kenapa manyun gitu? Baru putus dari pacar? Masuk daftar calon karyawan kena PHK? Apa udah kena PHK?”
Nah, Vianka sudah benar-benar membangunkan macan dalam diri Kenio.
“Omongan kamu ngawur aja,” hardik Kenio.
Saat itulah Kenio baru sadar pakaian apa yang dikenakan Vianka. Kaos abu-abu berkerah V rendah yang memperlihatkan cleavage songong minta dicolek. Belum lagi celana legging ungu yang membungkus kaki Vianka. Kenio jadi penasaran bagaimana rupa bantalan belakang Vianka terbungkus celana ketat itu, apa masih songong.
“Yee, nggak malam nggak siang doyan ngomel aja si Bapak . Padahal saya khawatir ama Bapak,” aku Vianka. Memang Vianka sengaja begadang untuk berbicara dengan Pak bos, jelas bukan buat obrolan begini.
“Kenapa kamu khawatir sama saya?” Kenio merasa dadanya menghangat karena ucapan Vianka.
“Takut Bapak kecelakaan. Kalo mati kan kasian Kasyaf jadi yatim piatu. Saya sih ikhlas-ikhlas aja jadi ibu angkat Kasyaf, cuma nanti gimana saya kasih makan Kasyaf, bayar sekolahnya, kasih modal pacaran, terus daftarin futsal. Duuh, saya-”
“Stop!” potong Kenio. Emosinya siap menyembur lewat ubun-ubun. Bagaimana bisa gadis itu asal bicara soal kematiannya dan Kasyaf menjadi yatim piatu.
Kenio mengatur napas. Tiap kali pembantu congor bebeknya mau bicara, tangannya akan terangkat meminta diam. Setidaknya jangan bicara sebelum dia berhasil mengatur emosi karena punya pembantu sableng.
“Kamu kalo nggak punya kerjaan mending tidur sana. Besok kamu harus kerja. Saya juga mau istirahat,” kata Kenio setelah exhale-inhale memperbaiki mood.
“Nggak mau. Saya belum bilang makasih sama Bapak,” kata Vianka dalam nada merajuk mirip anak kecil yang kehabisan permen. Kenio menaikan sebelah alis. Tidak paham. “Makasih Bapak udah kasih saya gaji,” lanjut Vianka sambil tersenyum manis. Kenio mengangguk. "Ya, walau cuma satu juta saya tetap bersyukur Bapak ngasih saya gaji, saya tau kok..”
What? ‘Cuma’ katanya? Kerjaan nggak beres mau digaji berapa emangnya? Kenio menelan kekesalan. Sebulan kerja di sini, mbak satu ini sudah mencatat dua lusin piring dan tiga puluh gelas beling yang pecah. Belum lagi kemeja branded Kenio yang dibikin gosong. Itu nyetrika apa barbeque?
“Saya mau ke kamar,” potong Kenio sambil memutar tumit menuju kamar paling besar di rumah ini, kamarnya.
“Eits, bentar dulu.” Vianka sudah menangkap lengan Kenio. Pak bos yang tidak siap dengan tarikan kuatnya terhuyung ke belakang dan menubruknya.
Dada majikan dan pembantu itu merapat. Kenio bisa melihat dua gunung Vianka dari atas. Pria itu meneguk ludahnya sendiri. Menyadari posisinya yang berakibat fatal bagi keselamatan akal dan jiwanya namun tidak sanggup menjauhkan diri satu inci pun.
Vianka mendorong tubuh Pak Bos. Dia tidak tahu jika tubuhnya mengundang fantasi liar sang majikan. “Bapak ngapain nabrak-nabrak sih?” Vianka bertanya ketus. Kedua tangannya bertolak pinggang, alisnya mengerut, dan wajahnya sudah siap melahap Pak Bos.
“Kamu yang narik tangan saya,” balas Kenio tidak kalah sengit.
Vianka menipiskan bibir. “Iya, saya yang salah. Biar Bapak bahagia aja saya ngaku salah.”
Kenio mendengkus sebal. Sebal kenapa dia tidak sempat meremas daging kenyal di d**a pembantu songongnya. Eh? Kenio mengusap wajah demi melunturkan pikiran m***m di kepala. Gila saja jika pembantu sableng ini masuk dalam fantasi dewasanya.
“Pak, saya minta izin ajak Kasyaf makan sosis ya?” Vianka mengubah cara bicaranya lebih halus dan tersenyum manis.
“Kalo mau makan ya makan saja, di kulkas masih ada sosis kan?”
Bibir Vianka mengerucut. Pak bos kaya tapi kurang gaul, makan sosis yang ada di dapur mah nggak perlu izin official gini, pikirnya. “Saya mau ajak Kasyaf makan sosis yang ada di kafe, Pak,” jelas Vianka.
“Kafe?''
“Iya, tempat nongkrong anak muda. Bapak nggak gaul deh, uangnya dipake beli tanaman melulu.” Vianka baru tahu taman indah di rumah ini karena Pak bos berlangganan toko tanaman hidup milik teman semasa kuliah. Bukan karena mendiang istrinya.
Kenio menghela napas letih. Pembicaraan ini akan berakhir pada tekanan darah tinggi jika membiarkan si gadis cempreng memimpin percakapan. “Tidak ada korelasinya kafe dan tanaman. Kamu mau traktir Kasyaf?”
Vianka mengangguk.
“Bukannya gaji kamu CU-MA satu juta, memang bisa bayar makanan di kafe?” Kenio menegaskan kata 'cuma' agar Vianka tersindir.
Dasar Vianka bebal, dia tidak menghiraukan sindiran itu. Dia malah asyik berceloteh, “Tenang aja Pak, kalo uangnya kurang kan masih ada uang Kasyaf buat nambahin. Itung-itung dia traktir saya juga.”
“Kasyaf belum punya penghasilan, gimana mungkin dia traktir kamu?” geram Kenio.
“Kan Bapak punya penghasilan, besar lagi. Bagi Kasyaf saja biar dia bisa traktir saya,” kilah Vianka santai.
“Sama saja saya yang traktir kamu dan Kasyaf.” Kenio mengurut pelipisnya menggunakan satu tangan. Otaknya mendadak pegal tiap kali menghadapi adu argumen dengan pembantu satu ini. Entah bagaimana susunan sel otak gadis klakson bajaj satu ini.
“Kalo Bapak sukanya begitu, nggak apa saya batal menTraktir Kasyaf. Bapak aja yang traktir kami.”
Untung banget kalo Pak bos yang bayarin. Lumayan kongkow tanpa modal, pikir Vianka. Sejak kabur dan bertahan hidup menggunakan simpanan uang di tabungan, Vianka belajar lebih hemat. Ditambah pengajaran ilmu ‘irit menjurus medit’ ala Mbok Semi, Vianka jadi makin lihai mencari kesempatan menguntungkan diri sendiri.
“Kita obrolin besok lagi, saya ngantuk.” dan butuh air dingin untuk kepala saya yang mau meledak, lanjut Kenio dalam hati.
“Oke, Pak bos. Ditunggu izinnya di-ACC besok ya Pak, eh nanti pagi. Ini udah hampir jam satu, udah terhitung hari baru.” Vianka menunjuk-nunjuk jam dinding besar di ruang tengah dengan riang dan semangat.
Kenio hanya mengulas senyum tipis lalu masuk ke dalam kamar. Gadis muda satu itu memang tidak pernah kenal lelah, ada saja tingkah polos dan kekanakannya yang membuat geli. Pantas Kasyaf mudah dekat, tingkah Vianka dan Kasyaf mirip begitu.
“Pak bos ganteng kalo senyum. Jangan ngomel mulu, Pak. Saya kan jadi susah ngelupain Bapak kalo ngomel mulu,” gumam Vianka sambil menatap pintu kamar majikannya yang tertutup rapat.
Di balik pintu itu, Kenio tengah bersandar. Matanya memang memandangi langit-langit kamar, tapi pikirannya mengulang perkataan Vianka.
“Takut Bapak kecelakaan. Kalo mati kan kasian Kasyaf jadi yatim piatu. Saya sih ikhlas-ikhlas aja jadi ibu angkat Kasyaf, cuma nanti gimana saya kasih makan Kasyaf, bayar sekolahnya, kasih modal pacaran, trus daftarin futsal. Duuh, saya-”
“Saya sih ikhlas-ikhlas aja jadi ibu angkat Kasyaf”
“"jadi ibu angkat Kasyaf”
“Ibu angkat Kasyaf? Kenapa nggak jadi ibu sungguhan Kasyaf?” gumam Kenio.
Setelah terdiam sekian detik, Kenio melirik pintu yang ada di balik punggungnya. Bibirnya mengukir senyuman tipis nan misterius. Dasar Priwitan Pak Ogah.