4. Antagonis

1050 Words
“... ada beberapa cerita yang tokoh utamanya adalah orang jahat. Nggak melulu tokoh utama harus yang baik, kan?” ─Adit─   Mereka spontan menoleh ke arahku. Mungkin heran, karena si kucing ini bisa mengerti materi yang belum dipelajari, atau mungkin mereka bingung karena tiba-tiba aku membuka suara. "Itu sudah pernah dipelajari saat SMP. Kebetulan ingat." Aku mengedikkan bahu dan mengalihkan pandangan dari tatapan intens mereka. Ada senyuman samar di bibir Adit dalam beberapa detik pasca kalimatku meluncur, lalu dia berkata, “Nay, cari buku di perpus, yok. Katanya ada buku baru yang datang hari ini.” “Oh, ya? Kok nggak bilang dari tadi?” Naya tahu-tahu sudah berdiri, lalu menarik tanganku. “Ayo, kamu ikut juga.” “Benar,” sambung Adit, “aku khawatir kalau kamu ditinggal sendirian nanti malah tidur.” Hei, bagaimana dia tahu kalau aku memang berniat mau tidur setelah mereka pergi? Naya tertawa dengan perkataan Adit dan wajah syok-ku. Adit, sekali lagi terlihat tersenyum samar saat melirik ke arahku. Apa dia sedang menertawakanku?   ***   Jika pada akhirnya aku hanya menjadi kucing liar yang menumpang duduk di perpus, bukankah lebih baik kalau tadi mereka tidak mengajakku? Kalau di kelas, kan, aku bisa tidur karena guru sedang tidak masuk. Kalau di sini mana bisa tidur! Ada guru penjaga perpus yang melirik-lirik ke arah siswa di sini. Adit dan Naya terlibat perbincangan seru seputar novel yang mereka dapat. Naya sesekali menepuk lengan Adit dengan manja lalu tertawa pelan. Adit berulang kali mengacak rambut Naya, dan kelanjutannya bisa ditebak. Naya ber-blushing ria. Lalu saat Adit membisikkan sesuatu kepada Naya─sambil melirikku─, mereka tertawa lagi. Tentu saja tawa tertahan karena tidak boleh berisik di perpus. Walau tempat yang dipilih ini adalah paling pojok belakang, yang agak jauh dari jangkauan mata si pengawas, tetap saja kami harus mematuhi peraturan yang ada. Begitulah ciri siswa baik, yang tidak sok keren dengan melanggar peraturan sekolah. “Dia nggak cocok jadi tokoh utama, cocoknya jadi antagonis,” kata Naya. Mereka pastilah membicarakan aku. “Lihat muka malasnya yang kayak mau nerkam orang, cocok jadi musuh utama protagonis,” lanjut Naya. Dia jelas mengolokku saat ini. Adit tersenyum simpul. “Tapi ada beberapa cerita yang tokoh utamanya adalah orang jahat, Nay. Nggak melulu tokoh utama harus yang baik, kan?” Naya berhenti tertawa, ada gurat kesal ketika Adit tidak setuju dengan pendapatnya. “Kalau aku buat kisahnya, aku akan buat tokoh utamanya baik, dong, biar pembaca senang.” Adit menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak setuju. “Aku justru sebaliknya. Tokoh utamanya yang jahat, biar antimainstream.” Semua tahu kalau Adit itu tipikal cowok romantis yang beberapa kali menyabet juara dalam lomba menulis cerpen. Sebagian karyanya juga terpajang di mading sekolah, koran dan media sosial. Ah, saat ini dia sedang bergelut di penulisan novel juga. Katanya mau dikirim ke penerbit kalau nanti sudah selesai. Berbeda dengan Naya, yang mahir di akademik, dan sangat jeblok di karya sastra atau seni. Gadis itu mungkin selalu meraih gelar juara satu umum selama karier pendidikannya, tapi di balik itu, nilai sastranya bisa selamat karena bantuan Adit. Naya tampak tertarik dengan kisah yang dibuat Adit, karena itu dia bertanya, “Terus tokoh utama lelakinya pasti jahat juga, kan, karena katanya kalau mau buat dua tokoh berpasangan, mereka seenggaknya harus memiliki persamaan kriteria.” Adit tertawa. “Nggak. Kalau dua tokoh utama memiliki persamaan, yang ada malah bosenin. Coba bayangin kalau dua tokoh utama memiliki sifat yang berbeda, pasti bakal seru buat interaksi keduanya.” “Aku nggak terlalu ngerti. Ceritain lagi tokoh utama cowoknya, Dit.” “Aku buat tokoh utama cowok yang sederhana aja, biasa aja, bahkan kamu nggak akan menyadari kehadirannya jika sekali pandang aja.” Adit sekilas melirikku, lalu ada lengkungan samar di bibirnya. Apa dia mengejekkku, lagi? “Terus yang jadi antagonis, yang gimana?” “Antagonis itu, kan, yang menentang tokoh utama. Di dalam ceritaku, dia harus menjadi rintagan tersuit bagi tokoh utama. Antagonis di sini adalah gadis cantik populer,yang sangat menyukai tokoh utama pria.” Penjelasan Adit berhenti di sana, dan kami sama-sama menoleh ke sumber tatapan Adit. Berdiri tak jauh dari meja kami adalah manusia paling menyebalkan yang tidak pernah ingin aku lihat. Siapa yang menyangka kalau gadis ini ternyata sekolah di sini juga. Dia mendekat, memasang senyuman menjijikkan. "Hai, semua,” sapa si cewek sok imut berbando kupu-kupu. “Kalian ternyata sekolah di sini juga, ya. Aku nggak nyangka kita─" Naya bangkit dan menghentikan kalimat si manusia menyebalkan di udara. "Yuk balik," ujarnya, menarik tanganku cepat dan tidak memedulikan Adit yang memanggil. Aku melihat wajah kesal Naya. Aku hanya berharap luka lama tidak mempengaruhinya. Karena jika itu terjadi, aku tidak akan tinggal diam lagi kali ini. "Kenapa cewek sok cantik itu sekolah di sini juga, sih!? Bikin mood rusak aja." Naya terus menggerutu, dan tidak sadar sudah menarik tanganku sedari tadi. Kemudian, beberapa percakapan masuk ke telingaku. "Cakep banget. Kelas mana tuh?" "MIA 1 kayaknya, tadi pagi aku lihat dia di perpus...." "Mimpi apa aku tadi malam bisa lihat cewek secakep itu...." "Cakep ya, ajak kenalan, gih." "Penjaganya serem, liat tuh matanya."  Kalimat ini pastilah ditujukan kepadaku. Aku tidak peduli dengan perbincangan laki-laki depan kelas sepanjang koridor ini. Sama halnya dengan Naya. Dia masih betah mengomel. "Kamu ngerti, kan, kenapa aku kesel sama dia?" tanyanya, setelah duduk di kursi kami. Aku hanya mengangguk. "Lepas!" seru-ku. Naya mengernyit tidak paham. Aku mengangkat tangan kami yang masih bergandengan. "Sorry," ucapnya sambil tersenyum. Aku tidak lagi peduli pada senyumnya setelah mendapat sesuatu dari laciku. Sesuatu itu langsung mengalihkan kekesalan Naya. "Widiihh secret admirer, ya?" teriaknya, hingga teman sekelas menoleh kepada kami. Aku refleks membekap mulut Naya dan memandang datar penghuni kelas. Mereka mulai bergosip-ria tentangku. Yah terserah. "Wow, ada mawar putihnya segala. Kuno, tapi romantis. Coba baca suratnya," pinta Naya. Aku membukanya dan Naya langsung merebut kertas itu, mulai membaca isinya dengan lirih, tapi cukup terdengar di telingaku.   Teruntuk kamu, yang telah menyelinap dalam khayalku   Tahukah kamu... Aku mengagumimu dalam diamku   Tahukah kamu... Ada yang menggelitik dalam kalbuku   Tahukah kamu... Senyummu sangat manis Buatku candu   Tahukah kamu... Kerlipan di matamu Buatku rindu   Hanya pengagum SA   Dia menuliskan senyumku sangat manis? Kapan aku tersenyum? "Itu buatmu," ujarku menyimpulkan, lalu menyerahkan mawar putih ke Naya. "Masa, sih? Tapi ada di laci kamu, loh.” "Salah letak," jawabku singkat. Naya manggut-manggut seolah mengerti. Iyalah, bukan sekali ini saja dia mendapat surat cinta, bunga atau cokelat. Pesona bagai bidadari sudah melekat padanya sejak lahir. Naya tersenyum, menyimpan suratnya ke saku baju, kemudian menghidu setangkai mawar putih yang cantik dengan pita putih pula pada tangkainya. Dia lantas mendekat kepadaku. "Ini baru awal sekolah, dan dia berani ngirim aku surat dan mawar. Orang ini menarik. Aku penasaran. Kita cari tahu si SA ini ya?" Aku menghela napas, mengabaikannya. Seolah tidak mendengar apapun barusan. Aku memasang earphone dan meletakkan kepala di atas tangan yang terlipat. Mencoba berkeliaran ke... Sayangnya Naya mengusikku. "Berani menolakku?" tanyanya dengan gaya bersedekap sok marah, padahal gesturnya malah menimbulkan kesan imut. Aku menghela napas lelah, menyadari posisiku. "Baiklah."   ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD