3

771 Words
Aku melirik jam dinding berbentuk kotak, waktu telah menunjukkan pukul tiga sore. Setelah tertidur sekitar 30 menit, aku memutuskan untuk bangkit dari posisiku dan berjalan menuju dapur. Kubuka pintu kulkas lebar-lebar dan memandang seluruh isinya. Mungkin semangkuk sup ayam jagung sesuai dengan selera Morgan, pikirku dangkal. Aku pun mulai menggerakan kedua tanganku bak koki handal. Tidak butuh waktu lama sampai akhirnya semangkuk sup ayam jagung siap dihidangkan di atas meja makan. Dengan bangga aku tersenyum melihat hasil karyaku sendiri. Kemudian aku melirik jam dinding dan tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul empat. Yang artinya sebentar lagi Morgan akan pulang. Sehingga aku memutuskan untuk mandi. Selesai mandi aku melangkah keluar dan terkejut ketika melihat Morgan telah pulang. Hati-hati kuhampiri tempatnya berada dan duduk kursi single yang berada di sis kanannya. "Sudah pulang?" tanyaku. "Kalau belum pulang aku tidak akan berada di sini," jawabnya dingin. Hal yang selama ini selalu menjadi makanan sehari-hariku setelah menikah dengannya. Mencoba untuk menghiraukan sikapnya yang dingin, sambil mengucapkan kata mantra 'sabar' berulang kali di dalam hati . Di lain sisi aku mencoba menyunggingkan sebuah senyum tipis di bibir. "Sudah makan? Tadi aku masak sup ayam jagung untukmu," kataku mencoba membuka percakapan kembali. "Aku sudah makan di kantor." Setelah mengatakannya dia bangkit dari duduknya lalu berjalan masuk ke kamar. Dari balik bulu mataku, aku memandang kepergiannya dengan rasa nyeri di dalam dadaku. Lagi, untuk yang kesekian kalinya usahaku untuk menjadi seorang istri yang baik telah gagal. Dalam diam dan sunyinya rumah ini aku menarik napas panjang. Berusaha menghilangkan rasa nyeri yang akhir-akhi selalu kurasakan sejak menikah dengan Morgan. Dalam diam aku memandang sup buatanku sebelum akhirnya meraih mangkuk tersebut dan memasukkannya ke dalam kulkas. Tepatnya di sisi ayam goreng kecap yang kemarin kubuat untuknya dan bernasib sama dengan sup ini. Aku memandang dua nasib masakan yang telah kubuat dengan hati yang berdenyut nyeri. Nyatanya bukan pertama kalinya Morgan tidak menyentuh masakanku. Sebelum sup dan ayam kecap, masih banyak menu lain yang kubuat dan berakhir di tempat s****h. Mungkin kalian terheran-heran dengan sikapku ini. Tapi inilah diriku di sini, mencoba bersikap sebagai istri yang baik dan entah sampai kapan aku sanggup bertahan hanya demi nama baik kedua orangtuaku. *** Seperti biasa pada pagi harinya aku menyiapkan secangkir kopi yang tidak pernah disentuhnya. Morgan selalu berakhir memilih meminum sekotak s**u daripada kopi buatanku. Padahal dari artikel yang aku baca mengenai dirinya, pria itu tidak pernah bisa meminum s**u. Dia bisa sakit perut atau bermasalah dengan kulit bilamana sampai meminum cairan yang dihasilkan oleh sapi itu. Tapi entah mengapa bila aku membuatkan kopi di pagi hari untuknya, hal itulah yang akan dilakukannya. Membuatku menertawai diriku sendiri. Sebegitu menjijikannyakah diriku ini sampai ia tak pernah mau menyentuh apa yang aku sentuh. "Jangan minum s**u lagi. Aku tahu kamu tidak bersahabat dengan minuman itu," kataku mengingatkan untuk yang pertama kalinya. "Aku tidak apa-apa. Jangan pikirkan aku. Lebih baik kamu memikirkan dirimu sendiri. Seperti cara membebaskan diri dari pernikahan ini," balasnya sinis. Gerakan tanganku yang hendak menyuapkan sesendok oatmeal ke dalam mulutku berhenti di udara. Sehingga kuletakkan sendok tersebut dan memandang Morgan dengan kesal. "Bukan aku yang menginginkan pernikahan ini. Bukan aku juga yang memintamu menikahiku. Tapi kamulah yang menginginkan semuanya. Termasuk diriku yang tampak menjijikan di dalam matamu. Lalu... " Aku menelan air liur dengan sulit akibat menahan cairan yang hendak meminta keluar dari balik mata ini. "Kenapa kamu melakukan semua ini kepadaku? Kenapa kamu menikahiku" Morgan yang sejak tadi tampak sibuk dengan ponselnya mengangkat wajahnya kemudian memandangku lurus. "Jangan menyalahkan diriku atau apa yang telah terjadi pada dirimu. Tapi salahkanlah kedua orangtuamu yang telah menukarmu dengan saham sebesar dua milyar untuk menyelamatkan perusahaan kalian. Apa kamu tahu apa yang ada di dalam pikiranku hingga saat ini?" Aku bergeming. "Kalian perempuan terlalu mudah didapatkan hanya dengan sejumlah uang yang tidak seberapa. Kamu ataupun Aulia, sama saja." Selesai mengatakannya Morgan bangkit berdiri, meraih jasnya dan meninggalkan aku dalam keheningan. Aku terdiam ditempatku sendiri. Terkejut dengan ucapan Morgan yang memandang rendah diriku sekaligus sebuah nama yang diucapkan oleh pria itu. Meski menyakitkan tapi bukan ucapan itu yang merasuki pikiranku. Melainkan sebuah nama. Aulia... Satu-satunya nama perempuan yang disebut Morgan selain ibunya sendiri. Bahkan hingga saat ini pun Morgan tak pernah menyebut namaku. Siapakah Aulia? Mengapa ia menyamakanku dengannya? Segera kukeluarkan ponsel dari dalam kantung celanaku dan mencari nama Morgan dan Aulia di internet. Butuh beberapa detik sebelum akhirnya beberapa tulisan yang berhubungan dengan apa yang aku cari muncul di dalam layar ponsel. Dengan hati-hati aku mulai membaca satu persatu artikel yang menarik perhatianku. Dan ketika aku menemukan jawaban yang sama, akhirnya aku mengerti makna di balik sikap Morgan. Dan penyebabnya adalah perempuan bernama Aulia. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD