2

780 Words
Aku memandang sekeliling rumah yang tanpa terasa sudah kutinggali selama satu bulan setelah statusku berubah menjadi seorang istri dari Morgan Dirgantara. Mungkin benar kata teman-temanku. Aku beruntung memilikinya. Tak ada cacat sedikitpun dari Morgan Dirgantara. Pria sukses di usianya yang ke 34 tahun ditambah wajah tampannya yang mampu memikat hati setiap wanita yang melihatnya menambah nilai plus di dalam dirinya. Sayangnya tak semua dari mereka yang tahu kebenaran dari balik keindahan yang terlihat kasat mata itu. Dan bagian terburuknya akulah yang harus menikmati kebenaran di balik semuanya. Setelah menyalakan lampu ruang tengah, aku memilih untuk menjatuhkan tubuh dia atas sofa grey yang empuk. Tempat yang menjadi saksi kesepianku setelah menikah. Aku memejamkan mata sejenak sebelum akhirnya membuka kembali. Aku tidak peduli kapan suamiku kembali. Lagipula dia memang jarang pulang. Memikirkan hal itu terkadang membuatku iri akan cerita Asmara yang selalu mesra dengan suaminya. Mereka pasangan yang beruntung. Dapat menikah dengan tujuan menyatukan cinta mereka. Sedangkan aku? Aku menikah demi kepentingan ayahku. Aku menarik napas panjang dan mengingatkan diriku jika semuanya akan baik-baik saja. Yang kubutuhkan hanyalah bertahan. Bertahan menghadapi sikap dingin Morgan. Sikap dingin yang sejak awal telah menjadi makanan sehari-hariku. Kupandang langit-langit apartemen ini. Lalu pikiranku kembali melayang pada hari dimana kami bertemu untuk pertama kalinya. Saat itu aku menunggu kedatangannya di sebuah kafe yang berada di lantai dasar gedung perusahaan Dirgantara. Aku menyesap teh yang sudah tidak mengepul untuk kesekian kalinya. Namun sosok Morgan belum kunjung datang. Kata ayah, Morgan sudah melihat wajahku dari foto yang ayah berikan kepadanya. Sedangkan aku, tinggal melakukan research di internet dan dalam sekejap layar mungil namun sakti di ponselku langsung dipenuhi oleh wajah dan berita akannya. Morgan Dirgantara, seorang pengusaha muda yang berhasil masuk dalam salah satu pengusaha sukses di Forbes Asia. Usahanya dalam bidang pakaian para remaja dengan label Men's United berhasil membuat pria itu sukses. Salah satu hal yang membuatku terkagum-kagum. Secara bagaimana bisa seseorang hanya dengan berjualan kaos mampu membuat seseorang menjadi seorang pengusaha sukses? Tak lama kemudian, pandangan mataku menangkap sosok yang baru saja masuk ke dalam kafe melalui pintu kaca. Tubuhnya tegap dengan kemeja coklat yang melekat pas ditubuhnya. Bagian lengannya tergulung hingga ke siku. Celana jeans menambah keserasian dalam cara berpakaiannya. Ditambah sepatu cokelat mengkilap bertali yang membawanya menghampiri mejaku. Tampan. Kata yang langsung memenuhi pikiranku. Pria itu terlihat lebih muda dari foto-foto yang ada di internet. Apa ini yang dinamakan keindahan hasil karya sang maha kuasa? "Maaf saya terlambat." Suara bariton miliknya membelai lembut telingaku. "Tidak apa-apa. Saya juga baru datang," dustaku. Sayangnya dia melirik cangkir tehku yang hampir kandas. Alhasil dia tersenyum kecil. Siapa sangka senyumnya membuat dirinya semakin tampan! Demi Tuhan Clariana. Kau kesini untuk menentang pernikahan ini! Bukan menganggumi ketampanannya! Suara hati kecilku berbisik di telingaku. Menyadarkanku dari sihir yang sedang menyerangku. Setelah memberikan waktu kepada Morgan untuk memesan secangkir Americano, ia memandangku. Senyum masih terukir di bibirnya. "Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu secepat ini. Kupikir kita akan bertemu pada hari pernikahan," katanya membuka suara. Aku membasahi bibirku. Menutupi ketegangan yang sedang menerpaku. Tidak kusangka pertemuan awal kami akan seperti ini. Tidak ada kekakuan ataupun aura dingin yang melingkupi. Sebaliknya kami lebih terlihat seperti dua teman lama yang berjumpa kembali. Mungkin Morgan terlalu pandai membawa diri. Atau... dia memang pria baik seperti yang dikatakan oleh majalah-majalah itu? "Aku ingin bertemu denganmu untuk membatalkan pernikahan!" ucapku lantang setelah mengumpulkan keberanian. Dan sepertinya aku berhasil membuat Morgan terkejut. Dapat dilihat gerakan tangannya yang sedang meneguk cairan hitam di dalam cangkirnya terhenti sesaat. "Kenapa?" tanyanya setelah meletakan cangkirnya. Raut keterkejutan tak terukir di wajahnya lagi. "A-... aku belum siap." Tak ada jawaban dari bibir Morgan. Yang bekerja hanyalah manik cokelatnya yang terus memandangku. Hal ini sungguh menyiksa tubuhku. Membuatku sulit untuk bergerak sedikit saja. Seakan-akan tatapan lembut yang diberikan oleh Morgan menjeratku perlahan-lahan hingga aku tak mampu bergerak lagi. Layaknya elang yang sedang menerkam seekor mangsanya. "Aku mengerti. Sayangnya itu bukan alasan yang dapat aku terima untuk membatalkan pernikahan ini..." "Aku dan kamu tidak mencintai!" potongku cepat. "Clariana Melda." Panggilannya berhasol membuatku mengatupkan bibirku rapat-rapat. "Let me tell you one thing, saat ayahmu meminta bantuanku untuk menolong perusahaanmu, detik itulah kamu tak punya kuasa atas dirimu lagi." Kalimat yang terucap dari bibir Morgan seperti palu besar yang menghantam kepalaku keras-keras. Aku terdiam. Mematung di tempatku sendiri. Skak mat. Tak ada jalan keluar lagi. Nasibku saat ini sama dengan nasib sang raja yang tidak memiliki langkah untuk melarikan diri ketika musuh sudah berdiri tegak di hadapanmu. Begitu juga dengan Morgan, meski pria ini mengucapkan kalimatnya dengan suaranya yang pelan. Tapi aku tahu makna yang terkandung di dalamnya. "Jadi, jangan pernah mencoba untuk membatalkan pernikahan ini. Karena kamu dan aku telah ditakdirkan untuk menjadi satu." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD