1

854 Words
"Suamiku itu memang menggemaskan. Katanya mau jemput aku kerja setiap hari. Memangnya aku anak sekolah yang mesti dijemput setiap hari," ujar Asmara dengan kebanggaan tersirat di wajahnya yang berseri-seri. "Namanya pengantin baru," timbal Viana. Perempuan yang bertubuh lebih gempal diantara kami semua. "Pengantin baru apanya, pernikahan kami sudah berjalan dua bulan. Clariana tuh yang pengantin baru. Masih hangat seperti tahu bulat," balas Puri yang berhasil membuatku tersedak ketika sedang menyeruput orange juice yang mulai kehilangan kemanisannya. Sama seperti pernikahanku. Dalam hati aku tertawa pahit. Menertawakan diriku sendiri. "Pelan-pelan, Bu. Pasti lo mikir yang aneh-aneh pas kita nyebut nama lo," ejek Viana sambil terkikik geli. Alhasil aku hanya mampu menarik sebelah sudut bibirku. Berusaha menutupi rahasia rumah tanggaku. "Tuh liat kan senyumnya. Malu-malu bagaimana gitu..." tambah Puri. "E-enggak kok. Kami tidak seper-..." Belum selesai aku berkata Asmara lebih cepat menyelaku. "Alah... namanya juga pengantin baru pasti selalu mengelak. Beda sama Puri yang nggak perlu dikorek, udah langsung buka kartu." Mendadak meja bundar yang kami kelilingi dipenuhi tawa lepas kami semua. "s**l lo!" maki Puri yang sekarang wajahnya tampak memerah. Akhirnya aku hanya mampu diam dan membiarkan mereka tertawa. Percuma juga aku menampiknya, toh mereka tidak akan peduli. Lagipula menceritakan kehidupan rumah tanggaku pada mereka tidak akan mengubah apa pun bukan? Sama seperti apa yang sudah terjadi tidak dapat diputar kembali. Kalian pasti bingung dengan kisahku. Kalau begitu mari aku ceritakan asal mula dari senyum palsu yang sedang terukir di bibir ini. Namaku Clariana Melda. Seorang perempuan biasa yang menikah di usia 28 tahun dengan seorang pria yang bernama Morgan Dirgantara. Pria dingin yang memiliki kebohongan di balik senyum memikatnya. Meski senyum palsu itu selalu berhasil menipu siapa saja yang melihatnya. Termasuk aku di dalamnya. Kami menikah bukan karena cinta layaknya sepasang kekasih yang ingin mengikat cinta mereka di dalam sebuah pernikahan. Bukan. Kami bukanlah putri dan pangeran yang ingin hidup bahagia selamanya hanya bermodalkan cinta pada pandangan pertama. Kami hanya dua manusia yang terjebak dalam satu rumah karena tidak mampu menolak keinginan kedua orangtua. Orang tua yang selalu mengatur kehidupanku sejak aku dilahirkan ke dunia ini. Masih jelas dalam ingatanku saat itu, aku yang baru saja pulang dari toko roti mungil milikku dipanggil oleh ayah dan ibu yang telah memasang wajah serius. "Duduk," perintah ayah layaknya seorang raja. Aku yang tidak mengerti apa yang sedang terjadi hanya menurut ketika ayah memberikan perintah. Aku memberanikan diri melirik ibu. Namun, beliau hanya terdiam dan menggeleng sedikit. Memberikan aba-aba kepadaku untuk tidak banyak bertanya. "Clariana, kamu sudah masuk dalam kategori wanita dewasa di usiamu yang ke 28 ini," ucap ayah membuka suara. Pandangan matanya yang gelap memandangku ke dalam mataku. "Jadi, Ayah berpikir jika sudah waktunya kamu untuk menikah." Aku menelan salivaku. Pembicaraan ini lagi. Mengapa ayah tak pernah menyerah juga? Tidak mengertikah beliau jika aku belum ingin menikah? Aku masih ingin sendiri. Lagipula aku rasa tidak ada yang salah dengan semua itu di zaman yang modern ini. "Ayah..." Baru saja aku hendak protes. Tapi ayah lebih cepat mengangkat sebelah tangannya sebagai isyarat agar aku tidak melanjutkan aksi protesku. "Perusahaan Ayah diambang kebangkrutan," lanjut ayah cepat. Berhasil membuatku mengatupkan kedua bibirku. "Dan hanya satu cara menyelamatkan perusahaan kita. Yaitu dengan kamu menikahi Morgan Dirgantara." "A-apa!?" Ucapan ayah terdengar seperti petir di telingaku. "Ayah yakin kamu mendengar ucapan ayah dengan baik, Ri." "Ayah! Apa tidak ada jalan lain? Riana tidak mau!" tolakku. "Riana..." Suara lembut ibu memanggil namaku. "Maaf. Sayang tidak ada Riana. Om Martin berhasil menipu ayah dengan kepintarannya itu. Ia membawa semua uang perusahaan..." Ketika mengatakannya ada guratan kesedihan di dalam mata ayah. Membuat dirinya terlihat lebih tua dari biasanya. Siapa? Om Martin? Adik kandung ayah? Kenapa beliau bisa setega itu? Menipu kakak kandungnya sendiri? Sejak awal aku memang tidak suka dengan om Martin yang selalu tampak iri dengan kesuksesan ayah. Tapi demi menjaga perasaan ayah, aku berusaha untuk menutupi perasaanku. Siapa sangka pria itu memang b******k dan jahat! Menipu kakak kandungnya sendiri. "Ayah sudah lapor polisi?" tanyaku cepat. Siapa tahu polisi dapat membantu menemukan om Martin sehingga aku tidak perlu menikah. Aku memang cerdas. Sayangnya detik berikutnya gelengan kepala dari ayah berhasil membuat kedua bahuku lunglai. "Percuma. Ayah yakin dia sudah melarikan diri ke luar negeri." Bagaimana bisa ayah menyerah semudah itu? Tidak, aku tidak akan mengambil sikap seperti ayah. Aku akan berusaha mencari om Martin apapun caranya. Yang terpenting aku tidak menikah! "Ayah aku akan berusaha mencari cara untuk menemukan Om Martin," bujukku. Tapi detik berikutnya aku mendapatkan hembusan napas berat milik ayah. "Clariana...apa kau tidak mendengar ucapan ayah tadi. Percuma. Andai kau dapat menemukan om-mu itu. Uangnya pasti sudah tak tersisa. Jadi, lebih baik kau menikah saja dengan Morgan Dirgantara dan masalah teratasi. Selesai." "Tapi Yah..." "Menolak berarti kau meminta Ayah untuk menghapus namamu dari kartu keluarga." Habis perkara. Titik. Tamat sudah hidupku di tangan ayahku. Ayah yang sejak aku lahir ke dunia ini selalu mengatur hidupku. Mulai dari merek s**u sampai warna pakaianku. Jika sudah begini, apa aku masih berani menolak perintahnya? Sia-sia aku melirik ibu. Berharap beliau dapat membantuku. Kenyataannya yang aku dapatkan hanyalah pandangan mata iba dan anggukan kecil yang mengisyaratkanku untuk menaati permintaan ayah. Atau lebih tepatnya sebuah perintah. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD