CHAPTER 3 – Resurrection

2086 Words
Daisy tak tahu apa itu kata menyerah. Sudah seminggu aku mencoba mencari bakatku, tapi hasilnya tetap sia-sia. Namun dia tak mau mendengarkan, dia tetap berkukuh kalau ini terjadi karena kami kurang informasi. “Mungkin caranya salah,” alasan Daisy. Dengan itulah, kami di sini sekarang. Di halaman belakang rumah, tengah malam menggambar sebuah lingkaran sihir dengan serbuk peri miliknya yang dicampur dengan darahku. “Kita tanyakan pada Dandelion, beliau Elf yang sudah hidup sangat lama dan tahu segalanya,” kata Daisy lagi. Inilah awal dari keputusannya untuk membawaku masuk ke dunia mereka. Karena saat ini bukan bulan purnama, jadi dia tak bisa membuka pintunya sendiri. Daisy bilang, butuh bantuan kekuatan sihir dari darahku untuk bisa membuka pintu di luar malam bulan purnama. Dan bila ternyata kami berhasil membuka pintu itu saat ini. Maka aku benar-benar punya bakat sihir yang terpendam. Aku sih tidak sepositif pemikiran Daisy. Aku melakukan semua ini hanya untuk membuktikan kalau dia salah, aku tak punya bakat. Jadi aku bisa segera terbebas dari tuntutan janji kami. Kembali hidup dengan rutinitas membosankan yang saat ini terdengar sangat indah bagiku. “Sudah selesai. Cepat masuk ke dalam lingkaran, bawa kotakmu juga,” perintah Daisy. Bilangnya sih mudah, tapi memang dia tahu seberat apa kotak kayu ini? “Sabar, ini berat sekali tahu,” balasku, mengeluh. “Makanya, cepat bangkitkan kekuatan sihirmu. Kalau sudah bisa, kamu bisa menyimpan barang-barang di dimensi berbeda. Itu kekuatan khusus para Wizard.” “Sudah kukatakan berkali-kali. Menyerah saja, aku tak punya bakat.” Baru saja aku bilang begitu, tapi ketika aku sudah sampai di tengah lingkaran ... cahaya keperakan muncul dari gambar itu. Lingkaran sihirnya bekerja. Cahaya yang datang dari arah bawah perlahan naik ke atas, membungkus seluruh tubuh kami. Hanya dalam satu kedipan mata, kami telah berpindah tempat. Tanpa ada rasa apa pun, mengalir begitu alami seperti bernapas. Aku tercengang, menatap sekelilingku yang dipenuhi oleh pepohonan. Ini sebuah hutan yang sangat lebat, begitu terang diselimuti oleh cahaya keemasan dari jamur-jamur yang tumbuh di setiap akar pohon. “Yey! Berhasil! Sudah kubilang, kau berbakat.” Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku tak merasa senang saat dipuji. “Jadi ini dunia kalian?” tanyaku antusias, ada sedikit rasa senang saat menjelajahi tempat ini. Melihat begitu banyak hal yang tak pernah kulihat sebelumnya. Serangga-serangga besar dengan bentuk yang aneh, tanaman-tanaman dengan berbagai warna dan kebanyakan bisa berpendar. Lalu banyak sekali makhluk kecil cantik beterbangan. Ini seperti benar-benar masuk ke dunia dongeng, sesuatu luar biasa yang mampu mengalahkan rasa takut. “Ini wilayah kami, Elf. Tiap wilayah punya ciri khas sendiri, sangat berbeda satu sama lainnya. Nanti juga kamu bakal melewatinya.” Balasan dari Daisy terdengar menyenangkan, sekaligus mengerikan. Karena aku tahu alasannya, aku akan melewatinya dalam perjalanan mencari Putri Edelweis. Bukan hanya untuk tamasya atau bermain-main. “Iya deh, jadi kita mau ke mana sekarang? Jangan jauh-jauh ya.” Soalnya kami jalan kaki, gila saja kalau harus jalan jauh sambil menyeret kotak kayu seberat hampir 50 kilogram. “Dekat kok, ke pohon di sana itu!” Daisy menunjuk. Mataku kupicingkan, melihat ke jauh sedikit mengikuti arah jari telunjuknya. Sebuah pohon berbatang sangat besar, dengan akar yang naik ke atas permukaan tanah. Ada pintu di antara celah akar, jendela berbingkai empat di batang bagian atas. Lalu banyak bunga bakung yang melilit batang pohon mirip benalu, tapi malah terlihat sangat cantik dengan cahaya putih yang terpancar dari kelopak bunga. Lampu alami yang luar biasa! “Rumah pohon sungguhan!” Aku menjerit senang. Seakan impian masa kecilku benar-benar terkabul, bisa masuk dan bermain di dalam tempat yang disebut dengan markas rumah pohon. Gara-gara waktu kecil aku sakit-sakitan, impian itu tak pernah terkabul. Aku tak percaya, saat sudah dewasa malah bisa melihat yang aslinya. Dibuat oleh Peri lho! Eh, Elf maksudku. “Kenapa tiba-tiba kamu bersemangat begitu?” Daisy putar mata malas. Dia tak mengerti perasaanku, Peri yang besar di rumah pohon seperti dirinya tak akan tahu betapa berharganya sebuah rumah pohon bagi anak manusia. Aku bukannya masih anak-anak juga sih, hanya saja jiwa masa kecilku masih hidup. “Aku bilang juga, kamu tak bakal bisa paham,” balasku judes. Setelah itu kami pergi ke rumah pohon itu. Daisy yang lebih dulu masuk ke dalam, meninggalkan aku menunggu di luar. Tak lama, pintu terbuka dari dalam. Daisy yang membukanya. Bukan si pemilik rumah pohon, Dandelion. “Masuklah,” ujar Daisy. Aku mengernyit. “Kamu yang bukakan pintu?” “Jangan pikirkan hal sepele. Masuk!” Ya sudah, aku masuk saja. Mengangkat kotak kayuku, membawanya ke dalam dengan susah-payah. Aku tidak memerhatikan sekeliling sebelum meletakkan barang bawaanku, maka dari itu. Aku terperanjat ketika akhirnya melihat si pemilik rumah. Dia tidak kecil atau bersayap, melainkan seukuran manusia normal. Namun bedanya, penampilannya sama dengan Daisy. Dengan tambahan telinga yang meruncing ke atas dan tinggi badan yang bisa dibilang di atas rata-rata wanita seumurannya. Aku tidak tahu pasti berapa umur Dandelion, tapi yang pasti dari wajahnya setara dengan wanita berumur tiga puluhan tahun. “Duduklah, aku akan mendengarkan cerita kalian lebih dulu,” kata Dandelion kalem. Aku segera duduk di kursi berhadapan dengannya. Daisy duduk di pundakku. Dia juga yang menjelaskan semuanya dengan serius, sementara aku hanya diam saja. Malah sibuk mengedarkan pandangan ke sekeliling, mengagumi betapa luar biasanya rumah ini. Begitu luas, dengan rak-rak yang tersusun secara rapi. Bentuk tiap ruangan mengikuti arah cabang pohon tumbuh, tapi herannya pohon itu sendiri tidak mati meskipun di dalamnya bisa dibilang telah kosong-melompong. “Kiran, jangan bengong,” tegur Daisy. Memaksaku untuk kembali fokus pada percakapan yang tak kuketahui sudah sampai di mana. “Aku enggak bengong kok,” balasku. Mataku bertemu pandang dengan mata Dandelion. Ia secara tak terduga meninggalkan kursinya, berjalan menghampiriku. Tangannya yang lentik menyentuh keningku, perlahan turun menutup mataku dengan telapak tangannya. “Diam dulu, Nak.” Kepalaku sedikit pusing, badanku menggigil tanpa sebab. Aku ingin protes, tapi herannya suaraku tak bisa keluar. Tubuhku tak mau patuh akan perintah otakku. Seperti kendali atas tubuhku sendiri, telah ia renggut dengan paksa. “Sekarang kau boleh membuka matamu.” Namun ketika perkataan itu terdengar, kendali atas tubuhku kembali lagi. Aku menarik napas secara refleks, menjauhkan wajahku dari tangan itu karena rasa takut yang asing. “Apa yang kamu lakukan padaku?” tanyaku curiga, bersikap defensif. “Jangan takut anak muda, aku tidak berbahaya,” jawab Dandelion. “Beliau benar, jangan bersikap berlebihan begitu,” Daisy menimpali. Sepertinya dia tahu apa yang baru saja terjadi padaku. “Habisnya, takut ya takut. Mau kalian berkata apa juga aku – ” Aku memutus perkataanku sendiri. Sadar kalau kuteruskan, bisa-bisa malah terkesan seperti menuduh. Aku tidak ingin menyinggungnya, makhluk yang sepertinya sangat kuat hingga membuat Daisy begitu menaruh hormat padanya. “Maafkan aku, aku hanya bingung. Bisa berikan aku penjelasan dulu?” Pada akhirnya aku malah meminta maaf, meskipun aku sama sekali tak merasa bersalah. Kedua wanita itu tak terlalu peduli. Mereka tertawa kecil, saling tatap seolah berbagi perasaan bersama. “Aku mengerti. Pasti kamu bingung, tiba-tiba diseret ke sana-sini oleh Daisy. Biarku bantu kamu membangkitkan kekuatan sihirmu.” Lalu Dandelion tersenyum maklum padaku. Aku jadi agak lega, merasa kalau ternyata dia tidak mengancam untukku. “Jadi aku benar-benar punya bakat sihir? Jangan bilang kalau bakatku itu di lingkaran sihir dan mantra?” tanyaku muram. Soalnya aku bisa membuka pintu dengan menggambar lingkaran mantra. Jadi yang terpikir olehku hanyalah satu kemungkinan saja. Membayangkan bagaimana sakitnya tiap kali harus menggores tanganku untuk mengeluarkan darah saat mau menggambar lingkaran sihir bodoh itu, terasa mengerikan. Belum lagi waktu yang lama dan banyaknya jenis untuk setiap kebutuhan. “Tidak juga. Semua penyihir bisa menggunakan semua yang ia butuhkan dan mau dalam pertarungan. Baik itu lingkaran sihir, mantra, s*****a batu mana atau tongkat pohon jiwa. Masalahnya adalah, kemampuan mana yang mau kamu asah dan tonjolkan?” Penjelasan Dandelion itu membuatku bernapas lega, memberi secerah harapan kalau aku tak perlu melatih kemampuan tak praktis itu. “Bagus deh kalau begitu, tapi untuk membuka pintu dimensi hanya ada satu cara. Lingkaran sihir memang yang paling berguna, iya, kan Dandelion?” Namun, harapanku dihancurkan dalam sekejap oleh Daisy. Pantas saja dari kemarin yang ia paksakan untuk aku pelajari, adalah buku-buku itu. “Betul kata Daisy. Membuka pintu membutuhkan darah Wizard dan lingkaran sihir, tapi untuk lingkaran biasanya tak diperlukan darah. Kamu bisa menggambarnya di atas permukaan tanah. Menggunakan ranting, daun atau apa pun selama bisa membentuknya dengan benar.” Mau bilang apa juga, intinya tetap saja mereka butuh darahku. Bolak-balik dua dunia, atau pergi menggeledah dimensi buatan untuk mencari Tuan Putri, yang mana pun terdengar menjengkelkan untuk dilakukan. “Terserahlah, ajarkan saja aku cara menggunakan kekuatanku. Itu yang kalian inginkan, bukan?” Aku sudah putus asa. Pada akhirnya aku memang tak punya pilihan lagi ketika menginjakkan kaki ke dunia ini. Cepat lakukan dan cepat selesaikan adalah satu-satunya solusi yang kupunya. Jadi aku bisa pulang ke rumah dan menuliskan petualanganku sendiri menjadi sebuah cerita. “Pertama-tama, kita akan mulai dengan latihan pertarungan dengan s*****a dan tongkat. Lingkaran sihir dan matra akan sulit sebelum kamu bisa menguasai bahasa Amon. Daisy akan mengajarkanmu bahasa kami di malam hari, sementara aku mengajarkanmu cara bertarung di siang hari. Mari lakukan yang terbaik, Kiran. Demi Tuan Putri.” Mereka memang ingin menyiksaku. Apa mereka tak tahu apa yang namanya perlahan-lahan? Berniat menyiksaku dengan jadwal latihan gila. Aku pun yakin, mereka tak akan membiarkan aku pulang ke duniaku dengan mudah. Yah, diizinkan juga aku mungkin tak mau bolak-balik seperti itu. Biarpun lukaku bisa cepat sembuh, tapi tetap saja rasa sakitnya nyata.   *** Kami langsung latihan setelah beristirahat satu malam. Hanya aku dan Dandelion, sebab Daisy pergi menemui Ratu. Berniat melaporkan kontrak denganku dan keinginannya untuk mencari Tuan Putri. Sungguh rakyat yang begitu loyal, aku sih tak paham dengan perasaan seperti itu. Kembali ke latihan, aku kini diajak ke sebuah danau di tengah hutan. Tempat yang agak mengerikan menurutku, melihat betapa banyaknya binatang melata di sekitar sana. Dibilang ular juga, mereka berbulu. Di bilang kelabang, matanya ada banyak. Entah tergolong jenis apa, yang jelas bikin jijik saat melihatnya. Aku jalan menjauh sedikit dari tepi danau, memastikan tidak sampai bersentuhan dengan mereka. Dandelion berada di belakangku, menepuk pelan punggungku saat aku melirik bolak-balik ke sekumpulan binatang melata itu. “Konsentrasi, Kiran,” kata Dandelion. “Jangan biarkan mereka mengganggumu. Fokuskan semua energi di telapak tangan, perlahan-lahan salurkan ke tongkat sihirmu.” Ia dengan cepat memberi instruksi, menghentikanku sebelum pikiranku lari ke ke mana-mana. “Oke,” balasku. Selanjutnya aku mencoba dengan keras. Menutup mataku, mencoba bernapas teratur seperti saat melakukan yoga. Saat merasakan cahaya di satu titik dalam tubuhku, aku mencoba menyebarnya mengikuti aliran darah menuju ke telapak tangan. Sampai di sini semua berjalan dengan lancar. Aku bisa merasakan gelombang energi sihir di telapak tanganku, tapi ketika aku mencoba memindahkannya ke tongkat ... kumpulan energi itu meledak. Menguap hilang terbawa oleh udara. “s**l! Susah sekali,” umpatku kesal. “Ulangi lagi, Kiran.” Dandelion dengan santai menyuruh. Awalnya aku patuh, tapi setelah mengalami kegagalan berkali-kali, aku membuang tongkatku ke tanah. “Percuma! Aku mau ganti tongkat saja!” “Ambil kembali, bukan soal tongkat. Usahamu yang kurang!” Dandelion jadi marah, merasa kalau aku yang salah. Kurang usaha, tapi menyalahkan tongkatku. Tak usah dibilangkan juga, aku sudah paham. Aku hanya kesal, tahu kalau aku dikejar oleh waktu. Namun di saat yang sama, juga tak boleh terburu-buru. Kuambil tongkat itu kembali. Mengulang lagi beberapa kali dengan hasil yang sama. Hingga akhirnya Dandelion bisa menemukan kesalahanku. Dia mendekat dan mengambil telapak tanganku. “Ikuti garis ini, fokuskan energimu di satu titik ini. Bukan di seluruh telapak tangan, setelah terfokus, baru salurkan ke tongkatmu.” Ia menggambar sebuah lingkaran berlapis-lapis seperti papan sasaran panahan di sana. Memberi contoh sederhana sambil mengarahkan energiku di titik tengah. Aku mencoba untuk percaya, mengikuti arahannya dan berhasil ketika percobaan pertama. “Dandelion, lihat. Kekuatannya sudah pindah ke tongkat,” seruku bersemangat. Dandelion tersenyum hangat. “Sekarang ayunkan tongkatmu sambil melepaskan energi itu dalam bentuk ledakan. Arahkan ke tengah danau, jadi kita tak akan merusak hutan.” Namun ketika aku melakukan apa yang dia suruh – melepaskan kekuatan ledakan itu, wajah Dandelion memucat. Aku juga jadi memucat, ledakannya lebih besar dari yang kukira. Membuat air danau terhempas ke atas, jatuh lagi kembali ke asalnya bersama dengan banyaknya mayat binatang melata penghuni danau. Tak lama, binatang melata versi 100 kali lebih besar keluar dari danau, terlihat seperti bos yang marah karena markasnya diserang. “I-itu apa Dandelion?” Suaraku sampai tergagap, takut memikirkan nasib kami selanjutnya. “Lari, Kiran! Itu Monster Lipan!” Dandelion berteriak dengan panik, menyuruhku lari saat ia berdiri memunggungiku. Mencoba melawan monster mengerikan itu sendirian.                          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD