CHAPTER 2 – Inheritance

1972 Words
Kami pergi ke gudang di rumahku. Mencari kotak kayu yang sudah tak pernah kusentuh lagi semenjak pindah kemari tahun lalu. Ini menjadi sulit karena ruangan yang kotor yang penuh dengan kardus. Sisa-sisa dari pekerjaanku yang ditolak. Aku adalah seorang penulis cerita fiksi, laki-laki usia 25 tahun. Masih lajang, tak punya keluarga dan teman dekat. Hidupku dimakan oleh pekerjaan dan rutinitas yang membosankan. Nama Kiran Kairo mungkin cukup terkenal di toko buku, tapi kebanyakan orang tak tahu kalau naskahku telah ditolak puluhan kali sebelum bisa menerbitkan sebuah cerita best seller. Setelah menjalani kehidupan yang begitu monoton, kupikir tak ada salahnya membuka diri untuk kehidupan lain yang benar-benar berbeda. “Di mana kamu meletakkannya?” Daisy terbatuk-batuk setelah bertanya, mulutnya kemasukan debu. “Entahlah. Biar aku cari sendiri, keluarlah dan tunggu di sana.” Aku jadi cemas, tak tahu apakah makhluk yang tinggal di hutan sepertinya, bisa tahan dengan debu atau tidak. “Cari berdua lebih cepat.” Daisy menolak, terbang masuk ke celah-celah antar kotak. “Kalau begitu beri tahu aku kalau menemukan kota kayu besar yang panjang. Hanya itu satu-satunya kotak yang berbeda di ruangan ini.” Baru saja aku memberitahunya, Daisy sudah keluar lagi dari sana. “Ketemu!” Ia menjerit, menarik ujung kerah bajuku tak sabaran. “Oke, oke, akan kuambil.” Aku lalu memindahkan kardus-kardus yang menimbun kotak kayu itu. Menarik keluar – kotak kayu itu dengan susah-payah. Aku terduduk ketika berhasil menarik kotak itu keluar dari gudang, menarik napas panjang mengistirahatkan diri. Duduk bersandar pada dinding lorong, sementara Daisy mencoba membuka kotak itu dengan susah-payah. “Sudahlah, kalau memang tutupnya terlalu berat.” Aku tertawa melihatnya, memutuskan untuk membantu. “Bukan itu! Ada mantra yang menyegelnya. Sihirku tak bisa menjangkaunya!” Daisy tak terima. Ia mengembungkan pipinya merajuk. Aku tak percaya dengan pembelaannya, dulu sangat mudah bagiku untuk membuka kotaknya. Hanya perlu menekan kunci di tengah dan mengangkat tutupnya saja. Kotak kayu dengan banyak ukiran aneh itu, akan terbuka dengan sangat mudah seperti saat ini. “Nah, kan. Terbuka.” Isinya tak berubah, tetap beraromakan barang lama. Beberapa benda sejenis s*****a, tongkat dan buku tua yang sudah sangat lecek. “Huaaa! Lengkap! s*****a metal dengan batu mana, tongkat sihir dari batang pohon jiwa dan buku sihir kuno. Keluargamu pasti punya kedudukan tinggi di Algeis, sampai memiliki begitu banyak peninggalan sihir kuno seperti ini.” Daisy tertakjub. Matanya berbinar, terbang dengan bahagia sambil mengatakan seberapa berharganya warisanku ini. Namun dia lupa satu hal, tak peduli sehebat apa s*****a yang kumiliki, tak ada gunanya bila aku tak tahu cara menggunakannya dengan benar. “Tapi aku tak tahu cara memakainya,” ujarku. Membuka lembaran demi lembaran buku sihir itu. Kebanyakan isinya lingkaran sihir berbagai bentuk, dengan penjelasan dalam bahasa kuno. Dulu, sewaktu kecil Ibu pernah mengajariku bahasa seperti ini, tapi aku tak pernah tertarik dan selalu melarikan diri ke ladang setiap kali diajari. Sekarang aku sedikit  menyesal atas perbuatanku di masa kecil itu. “Tertulis di sana!” Daisy menunjuk permukaan halaman buku, menarik tangannya mengikuti tulisan yang ada. Seketika aku mendapatkan harapan, menarik sebuah senyuman tipis. “Kamu bisa membacanya, Daisy?” “Ini bahasa Amon, bahasa yang dipakai di dunia kami. Seluruh daratan dunia kami di bawah naungan Kerajaan Amon, terbagi menjadi enam wilayah yang dikuasai oleh masing-masing ras. Namun karena Algeis telah diruntuhkan, sekarang sisa lima wilayah.” Daisy sungguh suka berbicara. Aku hanya bertanya satu hal, dan dia memberi penjelasan untuk hal lainnya juga, tapi itu mungkin sisi bagusnya Elf satu ini. Untuk orang yang jarang berbicara dan bertanya seperti ku, kepribadian Daisy yang cerewet akan sangat membantu. “Kalau begitu tak masalah, kita bisa tidur dengan nyenyak malam ini. Pikirkan cara menggunakannya besok saja,” usulku. Mataku mulai sakit, tubuhku juga lelah dan ini sudah larut malam. “Oh iya! Kalian Wizard memang selalu butuh tidur seperti manusia. Ya sudah, akan kubiarkan kamu istirahat.” Cara bicaranya itu ... jangan bilang kalau Elf tak butuh tidur? Enak sekali kalau bisa seperti itu. “Terima kasih kalau begitu, selamat malam, Daisy.” Aku bangkit berdiri, berjalan dengan gontai ke kamar mandi. Berniat mencuci tangan lebih dulu sebelum tidur, tak nyaman dengan tumpukan debu di tanganku. Tentu saja, aku telah menyimpan kembali buku itu ke dalam kotak. Karena menurut Daisy, kotak itu dibuat secara khusus dengan segel sihir yang memastikan kalau tak akan bisa dibuka selain oleh keturunan keluarga kami. “Tunggu dulu! Kamu sudah tahu namaku, tapi aku belum tahu namamu.” Daisy mengikuti hingga ke depan pintu kamar mandi. Benar juga, aku tak mengenalkan diri sejak awal. “Kiran Kairo, kau bisa memanggilku Kiran. Salam kenal, Daisy.” Mungkin sudah terlambat untuk beramah-tamah, tapi tak ada yang namanya terlambat untuk mengenalkan diri pada seorang teman. “Keturunan Kairo? Aku beruntung!” Bukannya membalas sapaanku, Daisy malah berteriak sendiri. berputar-putar di atas udara, kesenangan hanya karena nama keluargaku. Kuabaikan Elf itu, menyelesaikan urusanku dan pergi tidur. Pikirkan yang lain-lain besok saja, sekarang kepalaku sudah terlalu berat untuk diajak berpikir. *** Dibangunkan oleh seorang Elf ternyata tak seindah yang kubayangkan. Cahaya keemasan dari tubuhnya itu terlalu menyilaukan bagi mataku. Seperti disenteri oleh lampu sorot. “Menjauh sedikit, Daisy. Kamu tak perlu sampai melayang di depan wajahku seperti itu.” Aku bukannya tak berterima kasih, tapi kalau mengganggu ya kuutarakan saja. “Huft. Lain kali, tak akan kubangunkan lagi!” Daisy bersedekap, mengembungkan pipinya. Aku tak peduli, mau bertingkah merajuk seperti anak kecil pun, tak akan bisa menyentuh hatiku. Hanya tekatnya kemarin malamlah, yang berhasil menggerakkan hatiku untuk sesaat dan harus kuakui, kalau saat ini aku sudah menyesali segala keputusanku tadi malam. Aku bangun dari tempat tidur, pergi mandi pagi. Lalu membuat sarapan dan memeriksa email yang masuk. Makan ditemani dengan secangkir kopi sambil bekerja, melakukan rutinitas harian yang biasa kulakukan. Aku sedang mencoba lari dari kenyataan. Elf berkilauan seperti mimpi itu tak ada, cerita penculikan seorang putri dan keluargaku yang ternyata Penyihir itu hanyalah sebuah mimpi yang menarik. “Kamu sedang apa, Kiran? Sudah terlambat kalau mau bertingkah tak terjadi apa pun.” Cih! Ternyata Daisy tahu kalau aku ingin lari dari kenyataan, dia dengan segera menarikku kembali. Terbang di depan mataku dengan tatapan yang seolah bisa mengintip ke dasar pikiranku yang terdalam. “Bisa batalkan kontraknya? Kalau dipikir-pikir kembali, aku hanya orang rumahan biasa. Mana bisa pergi berpetualangan dan menyelamatkan Tuan Putri-mu. Pekerjaanku juga tak bisa kuabaikan begitu saja. Seorang manusia tak bisa tiba-tiba saja menghilang tanpa kabar.” Kalau lari dari kenyataan gagal, maka cara yang tersisa adalah membujuk dengan segala alasan yang masuk akal. “Tidak bisa. Itu kontrak seumur hidup. Kalau kau cemas mengenai kehidupanmu di sini, tak masalah. Kamu bisa bolak-balik dua dunia sesukamu. Yah, asalkan kamu bisa menguasai buku sihir itu. Tak usah cemas, Kiran. Aku akan menghapus segala keraguanmu, jadi jangan pernah berpikir untuk menarik kata-katamu lagi.” Aku lupa! Daisy makhluk dari dunia yang tak masuk akal, dan tatapan matanya yang seram itu bisa membuatku merasa terintimidasi. Belum lagi senyuman cantik dengan sosok indah yang diberikan setelah tekanan, seperti permen dan cambuk diberi bergantian untuk mengikatku. “Maafkan aku,” ujarku. Gagal dengan segala usaha melarikan dan memutuskan untuk menghadapi kenyataan. “Bagus. Ayo buka kembali kotak sihirmu.” Hanya Daisy yang bersemangat untuk itu, aku tidak. Yang kulakukan adalah melanjutkan sarapanku pelan-pelan, dan baru mengikutinya dengan malas satu jam kemudian. Sekarang aku duduk di depan kotak itu lagi, membukanya dengan helaan napas panjang. Kuambil sebuah buku berbeda dengan yang kemarin, membacanya dengan tak niat. Sama saja, isinya lingkaran sihir dan tulisan yang tak kupahami. Sementara Daisy asyik terbang-terbang di dalam kotak, mengelus tongkat batang pohon itu dengan wajah bahagia. “Ambil ini, Kiran. Cobalah menyentuhnya. Siapa tahu kamu lebih berbakat dengan tongkat sihir daripada lingkaran dan mantra.” Oh iya, kemarin dia tanya aku Penyihir tipe apa. Mungkin saja aku tak perlu menggunakan buku itu, dan lebih cocok dengan cara yang gampang. Ayun-ayun tongkat kayaknya tak sesulit mengingat lingkaran sihir sebanyak itu. “Oke,” sahutku. Mengambil tongkat yang Daisy tunjuk dan menggabaikan tongkat jenis lain. Tak ada reaksi apa pun, berpendar pun tidak. Seperti menggenggam tongkat biasa. “Coba yang lain, Kiran. Sekalian coba pedangnya juga!” Karena Daisy langsung menyuruhku mencoba yang lain, jadi aku anggap kalau aku tak punya bakat dengan tongkat sihir. Kugenggam satu per satu semua isi kotak itu dan hasilnya sama, selain buku yang belum dicoba. Semuanya tak menunjukkan reaksi apa pun. “Hei, Daisy. Tahu aku berbakat atau tidak, gimana caranya?” Tiba-tiba saja aku jadi ragu, apakah benda-benda ini sungguh berguna atau tidak. “Kalau memang kamu punya bakat di sihir jenis tertentu, minimal bakal ada reaksi pada benda sihir itu. Seharusnya sih.” Perkataan Daisy terdengar mencurigakan. Yakin di awal, tapi makin ragu di akhir hingga terdengar seperti cicitan. “Jadi aku tak punya bakat?” tanyaku memastikan. Mungkin ini jalan keluarku, alasan yang tepat untuk kembali lari dari kenyataan. “Pasti punya! Tidak mungkin keturunan Kairo tak punya bakat sihir!” Daisy tiba-tiba bersemangat kembali, keyakinannya entah datang dari mana. Kedua tangannya sudah terkepal dengan kuat di depan wajahku, mencoba memberi semangat yang tak kubutuhkan. Itu lagi. “Memangnya kenapa dengan keluargaku?” Kalau tak salah, kemarin dia juga kesenangan sendiri mengetahui nama keluargaku. “Kamu mau mendengarnya?” Daisy menjerit dengan senang, menyatukan kedua tangannya penuh semangat. Mata yang begitu hidup, seakan aku baru saja menekan tombol ‘ON’ pada sebuah alat elektronik. “Tidak, tak usah saja.” Tiba-tiba aku merasa menyesal telah bertanya, sebab Daisy sudah tak mendengarkan. Dia mulai bercerita sendiri. Menggembar-gemborkan cerita kepahlawanan keluarga Kairo di masa lalu. Tentang leluhurku yang katanya, sudah diakui oleh Raja kerajaan Amon. Dipercaya untuk melakukan tugas-tugas berat selama bergenerasi-generasi silam. Daisy juga bilang, kalau menjadi Familiar dari anggota keluarga Kairo adalah impian semua Elf. “Intinya, semua keturunan keluargamu itu terlahir dengan bakat sihir yang luar biasa. Kalian adalah yang terkuat di antara seluruh bangsa Wizard,” kata Daisy lagi, menegaskan di akhir cerita. Aku menatapnya tak percaya, sungguhan tak percaya jika mengingat seperti apa anggota keluargaku ketika mereka masih hidup. Bagiku mereka hanyalah orang tua yang biasa, suka bercanda dan berbuat bodoh saat kumpul dengan orang-orang desa. Terlepas dari beberapa ingatan saat bayi, semua ingatanku yang lain berkata sebaliknya. “Kenapa dengan matamu itu? Seperti ikan mati. Kamu tidak percaya dengan ceritaku, ya?” Daisy sangat peka, dia segera sadar. Bertanya untuk memastikan dengan pandangan tak senang atas reaksiku. “Haha, aku percaya kok.” Refleks aku membuang muka. Tak lama, kaki kecilnya itu tercap di pipiku. Ia menendangku tanpa rasa segan, mencubit hidungku dengan kesalnya tanpa ditahan-tahan. “Pembual! Cepat baca buku itu! Mungkin bakatmu memang di mantra.” Ah, menyebalkan. Apa pun, asal jangan buku mantra, tiga buah dengan masing-masing tebal lebih dari seribu halaman itu seperti siksaan untuk otak. “Mungkin bakatku di tongkat, akan kucoba sekali lagi.” Aku memutuskan untuk lari dari kenyataan untuk ke sekian kalinya. Mengambil sebuah tongkat dengan acak dan mengayun-ayunkannya secara asal. Selanjutnya, sebuah tongkat melayang memukul wajahku. “Letakkan itu dan ambil bukunya. Yang mana saja tak masalah.” Bukannya bakat sihirku yang terbangun kok, tapi dilayangkan oleh kekuatan Daisy. Dia mulai menunjukkan sifat aslinya, pemaksa seperti sosok ibu tiri. Aku mengusap-usap pipiku yang sakit. Mengambil sebuah buku paling tipis yang belum kusentuh dari kemarin, menyeringai senang saat tak ada reaksi apa pun. “Lihat, biasa saja. Mungkin aku memang tak punya bakat sihir.” Aku sudah senang saat semua buku tak menunjukkan reaksi, tapi Daisy tak puas. “Coba baca mantra paling sederhana dulu. Kalau gagal, coba gambar lingkaran apa pun. Buku berbeda dengan barang lain, reaksinya baru tampak setelah digunakan.” Tiba-tiba saja Elf itu bersikap sok tahu, yakin sekali dengan perkataannya setelah tadi bilang mungkin dengan jeda yang panjang. Aku mencoba dengan tak niat, dan hasilnya sama saja. Tak ada yang berhasil, aku memang tak berbakat. Sepertinya barang-barang warisan ini salah diberikan padaku.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD