PART 1

1096 Words
Callia Grace Jefferson menyeret langkahnya menyusuri koridor rumah sakit. Beberapa kali bahunya membentur tembok ruangan karena dia berjalan terlalu ke pinggir.   Dia nyaris tidak bisa berjalan dengan benar.   Callia berhenti sejenak dan mencoba menegakkan tubuhnya. Lalu terlihat dia yang menghela napas panjang. Dia menoleh sejenak ke ujung koridor yang sudah dia tinggalkan. Dan dia kembali berpikir tentang perasaannya yang sesungguhnya.   Bahwa tidak pernah menjadi masalah ketika dia harus berada dalam kelelahan yang teramat sangat setiap harinya. Asal adiknya, Calista, tidak merasakan kesakitan itu. Bukan sebuah rahasia lagi ketika kedua orang tuanya--terutama ibunya, Hazel Ann Jefferson--, merasakan duka yang menggantung di ujung pikiran mereka ketika harus menyaksikan tahun demi tahun kesakitan yang dirasakan oleh Calista.   Sakit seperti apa?   Pikiranmu hanya akan terbungkus sebuah kebingungan gelap bagai kabut yang pekat ketika mencoba mencari tahu apa yang sejatinya dirasakan oleh Calista. Gadis yang menginjak 20 tahun itu merasakan sakit kepala di masa-masa yang tak tentu. Sebuah kesakitan yang berlangsung bertahun-tahun tanpa seorang dokter pun mampu mendiagnosanya dengan ilmu yang sudah mereka pelajari dengan susah payah dan membutuhkan rentang waktu yang tidak sedikit.   Tapi Callia, yang lebih tua hitungan menit  dari Calista, dia tahu apa yang dirasakan oleh adiknya itu saat sang adik tiba-tiba merasa harus menjerit demi menahan sakit dikepalanya. Dan Callia menjadi maklum ketika di saat seperti itu, adiknya tidak membutuhkan orang lain di sekitarnya, selain dirinya. Keadaan menjadi sedikit sulit ketika rasa sakit kepala itu datang ketika Callia sedang tidak berada di rumah. Maka dengan segala bentuk kekhawatiran yang lalu terlihat lebih sebagai keegoisan, ibunya akan meminta Callia pulang dengan segera.   Dan itu berlangsung bertahun-tahun semenjak pertemuan mereka.   Pada akhirnya.   Mengalah. Menjalani takdir seorang kakak.   Mengalah.   Dalam segalanya.   Bahkan hingga melupa untuk mencintai diri sendiri.   Melupa bahwa ada dunia di luar sana yang penuh dengan kegembiraan dan kenakalan yang memacu adrenalin.   Dan hanya mengenal Marlon Rich Cesterson dan adiknya Orlando Rich Cesterson sebagai dua manusia yang mengenalkannya pada dunia luar melalui sebuah cerita ketika salah satu dari mereka berkunjung ke kediaman orang tuanya.   Apakah Callia merasa bahagia?   Bahagia yang dia tahu adalah ketika kedua orang tua dan saudaranya mencintainya.   Seperti hari itu.   Entah sudah berapa puluh kali Callia kembali ke rumah sakit itu karena Calista membutuhkannya. Membutuhkan genggaman tangannya untuk meredakan sakit yang menderanya. Calista akan berangsur tenang ketika Callia sudah menyentuhnya. Begitu saja hingga bertahun lamanya. Callia ingin orang tuanya tenang. Dan bahagia.   Dan dia menyimpan segalanya dengan sangat rapi. Menyimpan kesakitannya, menyimpan kondisi tubuhnya yang melemah setiap kali dia mengambil rasa sakit yang mendera Calista untuk dirinya sendiri. Dia akan tegak berdiri ketika kedua orang tuanya ada di depan mata. Namun dia akan membiarkan tubuhnya ambruk ketika dirinya tengah sendiri.   Seperti hari itu.   Sudah sejak semalam--malam musim dingin yang membuat hati membeku--, Calista mulai merasakan kesakitan itu datang lagi setelah nyaris tiga bulan sakit itu tidak menyambanginya. Seperti sebuah ritme yang membosankan, kedua orangtuanya membawa Calista ke rumah sakit agar tidak terjadi hal tidak diinginkan. Lalu Calista mulai menanyakan Callia. Lalu...seperti sudah seharusnya. Callia datang dengan segenap hatinya. Menggenggam tangan Calista erat. Membiarkan sakit itu meresap berpindah melalui celah pori-pori. Dan berusaha menikmatinya dengan memberi penghiburan diri, bahwa semua memang sudah semestinya seperti itu.   Setelah Calista tenang. Maka saat itulah waktu bagi Callia merasakan remuk di tubuhnya.   Callia berbelok. Lalu berjalan lagi menuju sebuah bangunan yang menyatu dengan rumah sakit itu.   Sebuah kantin. Dan tetap menjaga kewarasannya dengan tetap makan. Demi tubuhnya. Walau tidak jiwanya.   Callia mendorong pintu kantin dan melangkah masuk. Callia duduk di sudut terjauh dari pintu. Seorang pemuda seumurannya, menghampiri  dan menanyakan apakah dia mau makan sesuatu.   Callia melirik jam di pergelangan tangannya.   Tentu saja dia ingin makan sesuatu.   "Bawakan aku menu hari ini dan segelas teh hangat."   Pemuda itu mengangguk dan berlalu.   Callia mulai menikmati kesendiriannya. Dia termangu dan membiarkan pikirannya kosong. Dan sejenak dia mengerjap. Matanya sayu menatap kejauhan. Cukup jauh jaraknya untuk dia bisa mengenali seseorang yang tengah berjalan di koridor di kejauhan. Namun bagian depan kantin yang keseluruhannya adalah kaca bening, membuat siapapun akan yakin dengan penglihatannya.   Sosok Dale Clifford yang tampan.   Pria itu tengah melakukan gerakan melepas kacamata Ray-Ban nya sambil terus berjalan. Lalu berbelok.   Callia menghela napas panjang. Setengah mengeluh.   Dale Clifford adalah CEO muda Clifford Corp. yang bergerak di bidang jasa penyediaan alat berat untuk membangun gedung perkantoran. Dia adalah salah satu bujangan paling menawan di Amerika yang memenuhi kriteria sebagai kekasih dan calon suami idaman. Dale sangat pintar dalam akademik, bisnis dan pergaulan sosial. Dale seorang yang ramah. Dan baik hati.   Dale...   Adalah salah satu bentuk sisi mengalah Callia untuk Calista.   Masih segar dan akan selalu segar dalam ingatan Callia. Pesta perusahaan dua tahun lalu. Ketika raga berusia delapan belas tahun dan dua puluh lima tahun. Dan saling jatuh cinta setelah sebuah momen saat pesta itu. Berlanjut dengan banyak pertemuan dan kunjungan. Ikatan suka itu terjalin walau belum terlalu erat.   Tapi hilang begitu saja.   Harus saling melupa ketika suatu malam ibunya datang ke kamarnya dan mengatakan sebuah kenyataan. Memeluknya dengan sebuah tangisan. Mengatakan dongeng tentang bahwa seorang ibu tidak akan pilih kasih.   Tentang sebuah kenyataan.   Calista menyukai Dale Clifford.   Lalu sebuah anggukan karena Callia tahu bahwa bagaimanapun dia pada akhirnya adalah pihak yang harus mengalah.   Menjauh.   Melihat mereka--Dale dan Calista-- dengan bantuan ayahnya, menjadi sepasang kekasih. Walau tidak dipungkiri, Callia melihat gurat luka di mata Dale saat mereka mengadakan makan malam dengan keluarga.   Tapi.   Mengalah.   Akan selalu seperti itu.   "Makan siangmu, Nona Callia."   Callia mendongak. Pemuda yang tadi menghampirinya, menata hidangan di mejanya. Pemuda itu bahkan hafal namanya. Tentu saja. Mereka sering sekali bertemu.   "Terimakasih Austin."   Dan Callia memang mengenal pemuda yang mengangguk lalu berlalu itu.   ***   Kembali ke rumah menjelang petang. Dan menemukan seseorang yang sama sekali tidak ingin Callia temui saat rumah tengah sepi seperti sekarang.   "Callia...kita harus bicara."   Callia menghentikan langkahnya. Seseorang itu beranjak.   "Aku lelah sekali Orlando."   "Apa Calista sakit lagi?"   "Huuum..."   Callia melihat Orlando, sepupunya itu menghela napas pelan.   "Sampai kapan kau akan terus seperti ini? Kau menghancurkan dirimu sendiri."   "Dia adikku."   "Bukan berarti kau harus menjadi yang selalu dalam posisi bahaya."   "Tidak ada jalan lain."   "Kita bisa bicara pada keluarga."   "Tidak Orlando. Tidak ada solusi selain seperti sekarang ini. Kami saudara kembar."   "Callia..."   "Sudahlah. Kita sudah sering membicarakan ini, Orlando. Kembalilah ke camp. Kenapa kau di sini?"   "Aku merindukanmu."   Callia menoleh ke kanan dan ke kiri.   Lalu membentur sunyi.   "Sudah kubilang jangan teruskan. Kita melakukan kesalahan dan kita tidak terlalu dungu untuk mengulanginya lagi."   "Aku mencintaimu."   "Jangan menjadi keras kepala, Orlando."   "Kau juga merasakan hal yang sama."   "Sekalipun iya...ingatlah pertalian darah di antara kita, Orlando. Kumohon. Berhentilah. Aku tidak ingin berada dalam kesulitan. Masalahku sudah banyak."   Callia mengeluh kesal. Matanya sayu menatap pria teramat tampan berusia 23 tahun di depannya itu.   "Kumohon."   Dan Callia melihat Orlando yang menggeleng.   "Aku tidak akan menyerah. Aku akan menemukan jalan."   "Jalanmu. Jangan mengajakku. Jalan itu akan penuh duri dan rasa bersalah. Cukup Orlando. Aku mau istirahat."   Orlando urung meraih lengan Callia. Dia membiarkan gadis itu melangkah menjauh dan mulai menapak tangga menuju lantai dua.   Orlando menyugar rambutnya kasar.   Kenyataan bahwa mereka adalah sepupu pada akhirnya membuatnya kesal!   -----------------------------------
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD