PART 2

1228 Words
Callia menatap interaksi antara ibunya dan Orlando di meja makan. Sementara itu, dia mengaduk sup ayamnya dengan setengah melamun dan menatap ke arah kedua orang itu dengan tatapan yang juga setengah kosong.   Dalam hatinya, Callia selalu merasa dia tengah mengulum sebuah bom di mulutnya yang setiap saat bisa meledak. Bagaimana tidak? Saat ini hanya dirinya dan Orlando yang tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi di antara mereka. Tentang sebuah kesalahan yang berawal dari sebuah keteledoran. Atau rasa putus asa?   Opsi kedua rasanya sangat cocok menjadi sebab kenapa kejadian malam itu bisa terjadi. Callia yang merasa putus asa dan patah hati dengan kehidupannya. Sisi liar batinnya tergoda oleh bisikan iblis yang berusaha meracuninya dengan kata-kata yang menohok.   "Bahwa sungguh kasihan hidupnya yang harus selalu menjadi pihak yang mengalah dalam segala hal dari saudari kembarnya."   Waktu itu Callia tengah merasa sangat lelah. Setelah berhari-hari dia harus menerima kesakitan yang dirasakan Calista untuk masuk ke raganya. Callia merasa di ambang tubir putus asa. Dia merasa hidupnya tidak berwarna seperti banyak kisah yang diceritakan oleh Marlon ketika sepupunya itu mampir ke rumah. Dia meragu. Haruskah dia mengalami dan pasrah akan hal itu sementara dia juga sama dengan Calista? Dia adalah juga anak Ethan Jefferson dan Hazel Jefferson. Dan dialah anak yang jauh sebelumnya, tidak merasakan kasih sayang kedua orang tuanya sebanyak yang dirasakan oleh adiknya. Apakah dia tidak boleh berharap bahwa dia berhak merasakan kasih sayang yang lebih?   Iblis merajai kepalanya. Menyiram otaknya dengan mantra-mantra laknat berupa kemarahan.   Malam itu Callia tidak langsung pulang ke rumah setelah keluar dari rumah sakit. Dia berbelok dan berdiam diri di sebuah bar kecil di sisi gelap pusat kota. Bar dengan lampu biru yang mati lalu menyala lagi di depan pintunya , menimbulkan bunyi percikan aliran listrik yang cukup keras.   Callia tidak ingin menemui siapapun. Juga tidak ingin pulang.   Namun kenyataannya, malam itu dia bertemu Orlando yang akhirnya membawanya ke sebuah hotel. Callia juga mengatakan bahwa dia tidak ingin pulang pada Orlando. Dan meminta Orlando untuk menghubungi kedua orangtuanya agar menjadi tenang.   Mereka bercerita begitu banyak. Saling melepaskan beban. Dan melanjutkan minum.   Dan semua terjadi begitu saja.   Dan setelah malam itu Callia selalu memberi pembenaran pada dirinya sendiri.   Persamaan nasib. Bahwa dirinya senasib dengan Orlando yang selalu merasa bahwa dia berada di bawah bayang-bayang Marlon, sang kakak. Orlando terkadang merasa kecil sekalipun keluarga tak pernah menganggapnya demikian. Sering sekali. Dan Callia menyadari satu hal, bahwa sering sekali dia dan Orlando mencurahkan isi kepala mereka masing-masing saat mereka bertemu.   Dan entah sejak kapan perasaan saling membutuhkan itu hadir di antara mereka? Yang Callia tahu, bahwa dia tidak bisa meneruskan semuanya sekalipun Orlando begitu keras kepala dan memilih untuk terus melangkah.   Oh...Orlando yang di mata Callia sangat istimewa dengan pilihan hidupnya. Menjadi seorang pembela negara yang memberi pelayanan tanpa pamrih pada masyarakat. Orlando yang seringkali tidak menyadari betapa dia sangat keren.   "Callia...habiskan supmu Nak..."   Callia mengerjap. Dia dengan cepat memulihkan kesadarannya. Dan segera saja merasakan matanya yang berkedut menyakitkan karena dia bahkan tidak bisa memejamkan mata hingga pukul 3 dini hari tadi.   "Ya Mom."   "Kau ada kelas hari ini?"   Callia menggeleng. Dia menatap ibunya yang mengangguk dan berjalan menuju dapur. Serta merta Callia menunduk. Mengaduk dan menyuapkan sup ayam yang tidak lagi panas ke mulutnya. Menghindari bertatapan dengan Orlando sebisa mungkin.   "Kau tidak bisa tidur lagi, Cal?"   Panggilan itu membuat Callia membeku. Namun tangannya kembali menyuap sesendok sup lagi. Dan lagi. Dengan pikiran kosong.   "Kau harus mengakhirinya Callia."   "Hentikan omong kosong ini, Orlando. Sudahlah." Callia meletakkan sendok di tangannya dengan gemetar.   Dan helaan napas yang panjang mengiringi Orlando yang beranjak. Orlando bahkan melemparkan sebuah serbet begitu jauh ke depannya. Tepat di sisi vas bunga berisi bunga bakung yag cantik.   Callia terkesiap. Dia beranjak menyusul langkah Orlando yang panjang menuju kamar tidur tamu. Dan Callia melirik keluar dari jendela di sepanjang koridor menuju kamar tidur tamu. Callia melihat ibunya yang mulai sibuk dengan seorang tukang yang akan membangun gazebo di taman rumah itu. Juga seorang pekerja yang terlihat bersemangat menggosok jendela.   Lalu bantingan pintu.   Setelah tangan besar Orlando menarik keras bahu Callia untuk masuk bersamanya.   "Sampai kapan katakan padaku, Callia!" Orlando menggeram tak sabaran. Napas hangatnya yang terasa panas menerpa wajah Callia.   "Selamanya."   "Aku tidak bisa melihatmu seperti ini selamanya. Kau akan mati perlahan."   "Kalau itu bisa menyelamatkan saudariku?"   "Pikirkanlah dirimu sendiri Callia."   Callia menggeleng.   "Hidup adalah tentang...bahwa salah satu harus berkorban. Juga dalam kisah sedih ini Orlando." Tangan Callia terulur menyapu pipi Orlando lembut. Membuat pemuda itu memejamkan matanya.   "Lalu bagaimana denganku?"   "Hidup juga adalah...tentang mengubur semua yang tidak benar."   "Kau menganggap cintaku sebagai sebuah kesalahan?"   Orlando membuka matanya. Manik matanya menghunjam begitu dalam ke dasar manik mata Callia.   "Bukan aku. Tapi hidup. Kehidupan dan semua yang ada di dalamnya mengatakan semua ini salah. Karena kita...sedarah." Callia menyatukan jari telunjuknya sejajar rapat. Dan Orlando menatap jemari Callia lekat. Lalu dia menemukan sebuah kebenaran yang selalu disangkalnya selama ini. Dia memilih untuk jatuh cinta semakin dalam pada sepupunya itu.   "Kita akan menemukan jalan Callia."   "Jangan menjadi keras kepala, Orlando. Kita sudah banyak membaca bagaimana kelak keturunan yang akan kita hasilkan kalau kita bersatu."   "Aku bisa menerimanya. Pun kalau kita tidak harus mempunyai keturunan untuk selamanya kelak."   Callia tertawa sumbang.   "Kau adalah pewaris. Dan kau butuh seorang pewaris kelak."   "Marlon mengurus segalanya. Aku tidak membutuhkan semua harta keluarga kita, Callia. Aku hanya butuh negara ini...dan kau."   Callia terpaku ketika tangan kekar Orlando menariknya untuk jatuh ke dalam pelukan pemuda itu.   "Aku harus pergi untuk dua minggu. Kita akan berdebat lagi saat aku pulang nanti. Dan...aku tidak menginginkanmu berpikir bahwa aku akan menyerah. Tidak Callia. Aku tidak akan menyerah. Aku akan mencari jalan agar kau menyerah."   Callia termenung. Orlando menyematkan sebuah ciuman dalam yang sangat lama di kepalanya sambil membisikkan sebuah kalimat tentang pertemuan kembali tak lama lagi. Bukan sebuah salam perpisahan.   Dan pintu yang ditutup dengan begitu pelan setelah Orlando menyandang tas ranselnya yang cukup besar.   Meninggalkan Callia yang termenung.   Dan membiarkan sejenak pikirannya mengikuti hatinya. Bahwa dia tidak pernah bisa mengelak dari rasa rindu pada pemuda itu ketika mereka berjauhan.   Callia meletakkan tangannya di d**a. Dia melangkah menuju sebuah cermin. Dan menatap citra dirinya dengan lingkaran hitam di bawah matanya. Dia merasa sangat lelah.   Callia melangkah mundur. Lalu menghempaskan tubuhnya di ranjang. Menghirup udara sekuat mungkin dan merasai aroma Orlando yang tertinggal begitu kuat.   Dan Callia menangis.   Selalu seperti itu. Tak disangkal. Bahwa hanya Orlando yang mengerti dirinya lebih dari siapapun juga. Dan ketika Orlando pergi, Callia merasa dia bagai akar yang tercerabut dari tanah yang menjadi pegangannya. Dia akan terombang-ambing seakan tanpa pijakan.   Callia merentangkan tangannya. Membiarkan air mata mengalir di sisi keningnya dan jatuh ke sprei di bawahnya. Satu hal yang dia syukuri selama ini adalah, bahwa dia akan bisa tertidur nyenyak setelah berbicara begitu intim dengan Orlando. Mendengarkan kekeraskepalaan pemuda itu yang justru terdengar sebagai sebuah puja-puji yang mendayu di telinganya.   Dan bahwa hanya Orlando yang sanggup melakukan hal seperti itu padanya. Ayahnya seringkali memuji bahwa Callia adalah salah satu yang tercantik yang pernah ditemuinya. Ibunya boleh saja mengatakan bahwa dia menyukai warna rambut Callia yang seperti neneknya. Calista sering mengatakan bahwa memiliki Callia adalah segalanya.   Semua boleh mengatakan apapun.   Tapi, selamanya tidak ada yang akan sama seperti yang Orlando katakan padanya.   Sebuah kalimat cinta yang terlarang yang seringkali membuat Callia bergidik karena dia menyadari bahwa sesuatu yang besar menunggunya di kemudian hari. Sebuah kenyataan yang kelak akan menghancurkannya.   Namun, membiarkan dirinya jatuh percaya pada Orlando--lah, yang sanggup membuatnya bertahan hingga detik itu. Dan memupuk rindu untuk pertemuan dua minggu lagi itu yang membuatnya merasa, bahwa dia layak mempunyai sebuah harapan yang manis.   Callia memejamkan matanya dan memutar musik di kepalanya. Musik genderang peperangan yang menandai sebuah jeda untuk sesaat. Musik yang pelan yang mengiringi prajurit beristirahat di baraknya   Lalu terlelap.   ---------------------------------  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD