PART 6

929 Words
 Semua berjalan beriringan. Persiapan pernikahan Calista dan Dale berjalan dengan baik. Cuaca pun tampaknya memutuskan untuk mendukung semua berjalan dengan semestinya. Semua terlihat nyaris sempurna.   Rapi.   Seperti Callia yang menyimpan semuanya dengan rapi di sudut hatinya. Seakan...dia sengaja menyiapkan kotak khusus dengan kombinasi password angka-angka yang rumit agar hanya dia saja yang tahu apa yang bergolak di dalam kotak itu sesungguhnya.   Callia menyesap tehnya perlahan setelah itu meletakkannya di sebuah meja di taman belakang mansion. Sepertinya semua anggota keluarga, terutama kedua orang tuanya memutuskan untuk tinggal di mansion Leandro sampai nanti acara pernikahan Calista dan Dale terlaksana.   Callia melirik ke ujung terjauh mansion. Callia melihat Dale dan Calista terlibat pembicaraan serius. Callia mengendikkan bahu. Konon katanya, pasangan yang akan menikah seringkali terlibat pertengkaran bahkan untuk hal yang sepele. Dari gestur tubuh mereka, Callia bisa melihat bahwa mereka sedang berdebat.   "Orlando sudah tiga kali menelpon mencarimu. Kemana ponselmu Callia?"   Callia mendongak dan menatap ibunya yang mengulurkan telepon rumah ke arah nya.   "Apakah ada yang serius? Kau bertengkar dengan Orlando, sayang?" Callia menggeleng dan menutup ujung gagang telepon. Callia merasakan ibunya mengusap kepalanya perlahan. "Kau harus mencari seseorang...kekasih..." "Nanti aku akan menemukannya Mommy. Tenanglah. Aku jawab dulu telepon dari Orlando, okay? Mungkin saja ada hal yang penting." "Baiklah." Callia menunggu sampai ibunya berlalu dan dia beranjak ke balik pilar. "Kemana ponselmu, Callia?!" Itu yang terdengar di telinga Callia seketika setelah dia mengeluarkan sapaan. "Entahlah. Di suatu tempat..." Suara Callia mengambang karena dia sekarang tengah mencoba mengingat dimana terakhir kali dia meletakkan ponselnya. "Aku menelponmu dari semalam." "Ada apa? Apakah ada yang penting?" Hening. "Tidak ada. Aku hanya...khawatir." "Kenapa khawatir?" "Entahlah. " "Aku baik-baik saja. Sudahlah. Fokuslah pada pekerjaanmu." "Aku nyaris mati merindukanmu." "Ooooh..." Callia mendengus tak percaya dan mulai menghitung berapa hari mereka tidak bertemu. Dan jari tangan masih cukup untuk menghitung. "Aku juga...merindukanmu. " Callia menjawab dan dia yakin suaranya menjadi sangat aneh. Perpaduan antara rindu dan rasa berdesir yang sangat nyata di hatinya. Tentang bagaimana dan mungkin selamanya dia akan merasakan keanehan mengingat Orlando adalah sepupunya dan...apa yang sudah mereka lakukan? "Merindukan siapa? Kau merindukan seseorang Cal? Kau punya kekasih dan kau tidak bilang padaku? " Callia meluruhkan bahunya. Dia mengambil napas dalam dan menoleh pada Calista yang sudah berdiri di dekatnya dengan mata berbinar. Sambungan telepon sudah terputus. Callia yakin Orlando mengerti. Callia menerima pelukan Calista dan tertawa. "Aku pasti akan bilang kalau aku sudah punya. Tapi aku belum punya." "Siapa yang menelpon?" "Orlando." "Orlando dan kalian saling merindukan? Jangan bilang..." "Tentu saja tidak. Dia bercanda dan aku menanggapinya. Itu saja. Kau tahu seperti apa dia kan?" Calista mengangguk angguk. "Yah...dia tidak pernah serius. Ada temanku tergila-gila padanya dan saat temanku mencoba mendekatinya dia berlagak seolah sudah mempunyai seorang kekasih dan menolak berkencan dengan siapapun." "Well...dia memang tampan bukan? Dia bisa melakukan apapun termasuk menolak para gadis." "Aku dan Dale tidak sepakat tentang kain yang membingkai pilar tempat kami mengikat janji nanti." "Dan kalian berdebat tentang itu?" "Kau tahu?" "Jangan mendebat calon suamimu Calista. Kau harus menurut." "Begitukah?" "Kecuali kau memilih untuk bertengkar sepanjang pernikahanmu kelak." "Tentu saja tidak." Callia menghela napas lega. Setidaknya suasana sedikit aman karena Calista mengalihkan pembicaraan tentang Orlando menjadi Dale. "Kau benar. Lagipula, dia hanya ingin warna kesukaan ibunya ada di pernikahan kami. Tapi...sudahlah...aku memang tidak menyukai warna abu-abu...tapi..." "Kau bisa menambahkan sedikit warna gold, Calista." Calista terdiam. "Kau benar, Cal. Aku akan bilang pada Dale." "Tentu saja." Callia menggeleng dan menatap adiknya yang berlari ke arah calon suaminya yang tengah berbincang dengan ayah mereka. Callia menatap gagang telepon di tangannya dan menghela napas perlahan. Akan sampaikah kelak dia pada sebuah pernikahan. Dengan Orlando seperti yang selalu Orlando dengungkan di telinganya? Jiwa Callia bahkan memberontak. Dia menolak memikirkan hal itu karena pada akhirnya semua itu membawanya ke sebuah jalan buntu. Callia berjalan masuk dan meletakkan telepon ke atas nakas. Dia melangkah perlahan menaiki tangga menuju kamar yang dia tempati. Dia masuk ke kamarnya dan duduk di tepi ranjang. Dia melamun. Sesuatu yang akhir-akhir ini sering dia lakukan. Terlebih akhir-akhir ini saat hiruk pikuk persiapan pernikahan adiknya berjalan. Dia juga ingin seperti itu. Seperti adiknya. Menikah dengan konsep sesuai impian. Lalu bahagia. Bisakah? Bahkan belum memulai saja dia sudah merasa yakin bahwa jalannya akan sangat sulit. Hanya ada dua opsi. Menjadi egois demi dirinya sendiri atau tetap pada track nya dan memikirkan perasaan banyak orang? Dan mengorbankan kebahagiaannya? Terlalu banyak pertimbangan. Dia hanya gadis aneh yang akan membuat pria manapun terbirit b***t menghindar darinya setelah mereka tahu sejatinya. Dan ketika seorang pria mempunyai hati baja dan menerimanya dengan segala rahasianya? Mengapa pria itu harus Orlando? Sepupunya. Orang akan bilang apa? Kembali lagi. Dia memikirkan banyak perasaan. Callia menoleh saat mendengar dering ringtone ponselnya. Dan seketika dia kembali ingat... "There you are..." Callia meraih ponselnya setelah terlebih dahulu menyibak selimutnya. Callia membuka ponselnya. Pesan cinta yang hanya akan dia simpan di hatinya saja. Dengan cepat dia menghapus semua jejak digital yang Orlando kirim untuknya. Callia menghempaskan tubuhnya keras. Dan mencoba memejamkan mata.  *** Callia berjalan perlahan di sepanjang koridor menuju kamar kedua orangtuanya. Langkahnya terhenti di depan pintu kamar ketika sayup dia mendengar suara kedua orangtuanya. Seperti tengah membicarakan hal yang serius. Bahkan Callia bisa mendengar suara ibunya sedikit meninggi. Tentang kemungkinan Calista dibawa oleh Dale untuk tinggal berdua saja di apartemen Dale? Juga tentang keresahan ibunya tentang...dirinya? Callia meletakkan kedua tangan di dadanya. Dia mendengar nama Orlando berulang kali disebut oleh ibunya. Mungkinkah? Mungkinkah ibunya sudah memupuk kecurigaan pada sikap Orlando? Lalu Callia mendengar suara Ayahnya yang sedikit ditekan. Apa kau yakin? Sudah ada bukti nyata? Rasanya tidak mungkin Orlando dan Callia... Dan seterusnya. Kalimat-kalimat yang membuat Callia menggeleng dan nyaris menumpahkan air matanya. Kali ini mungkin hanya berupa prasangka. Tapi lambat laun? Callia mengusap matanya. Dan menegakkan tubuhnya. Dia berjalan cepat meninggalkan kamar orang tuanya dan masuk ke kamarnya sendiri. Lagi-lagi. Ringtone ponselnya membawa Callia menyambar ponselnya dan masuk ke kamar mandi. "Callia..." "Orlando. Diamlah. Aku yang harus bicara padamu kali ini. Tutup mulutmu!" Dan yang terdengar kemudian adalah suara Orlando yang tercekat menelan ludahnya karena kaget. -----------------------         .  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD