PART 5

1181 Words
Mengenalkan Callia sebagai sepupu pada akhirnya membuat Orlando menyesalinya setengah mati. Dia abai pada kenyataan bahwa di barak tentara, berisi--kebanyakan pria-- yang brutal. Tuntutan kerja yang menekan begitu kuat, membuat para pria--koleganya sesama prajurit-- begitu lapar mata. Mereka seakan menjadi gila ketika seseorang dari luar barak datang. Dan, yang datang adalah wanita beranjak dewasa seperti Callia. Orlando, entah sudah berapa kali dia merutuk. Menyesali keputusannya kali ini mengajak Callia untuk datang ke barak. Callia jelas bukan gadis tomboi yang bisa bersikap acuh. Dia sangat manis dengan dres terusan berwarna hijau tua dan sepatu kets nya. Rambutnya yang diikat rapi memperlihatkan lehernya yang entah mengapa membuat semua pria nampak kalap. Kalau selama ini ayam dengan saus barbeque adalah makanan istimewa di barak dan menempati posisi teratas daftar makan favorit para prajurit, maka seperti itulah sekarang mereka menatap Callia. Layaknya ayam dengan saus barbeque favorit semuanya. Dan Callia? Untuk apa dia mengangguk dan tersenyum begitu manis pada para koleganya itu? Orlando jelas ingin melarang hal itu. Suitan nakal. Ajakan berkencan yang tak tahu malu. Orlando berusaha menepis semua dengan menahan geram. Dia mengatakan pada teman-temannya, Callia masih di bawah umur dan...belum boleh berkencan. Lalu ada yang berteriak kecewa. Juga mendengus tak percaya sambil menatap Callia lekat-lekat. Sungguh. Orlando ingin mengambil karung tepung dan membungkus Callia rapat-rapat agar semua orang tidak menatapnya dengan penuh minat. Hanya teriakan Sargeant Kepala yang pada akhirnya mampu membuat aula barak menjadi tenang. Semua mendengarkan arahan sersan kepala dan bergerak melaksanakan tugas masing-masing. Orlando menarik Callia ke sebuah meja dimana mereka harus mendengarkan seseorang dari pabrik tepung menjelaskan produk mereka dan memilih yang terbaik. "Akan ada kelas memasak minggu depan dan aku akan mengambilnya." Callia menoleh dan mengernyit. "Kau? Memasak?" "Memasak dalam porsi sangat banyak tepatnya. Itu butuh belajar secara khusus." Callia mengangguk-angguk. Orlando kembali berkonsentrasi. Di sudut lain ada sebuah meja dengan produk daging segar dari sebuah peternakan ternama di pinggiran New York. Beberapa prajurit terlihat serius mendengarkan seorang peternak menjelaskan produk mereka. Di sisi lainnya ada produk sayuran. Lagi-lagi produk berkualitas dari petani di pinggiran New York. Yang terdengar kemudian adalah riuh rendah suara perdebatan di dalam aula barak tentara hingga satu setengah jam kemudian. Orlando membawa Callia beristirahat di depan aula. Kali ini dia sedikit saja menarik napas lega karena para koleganya sudah lebih mengerti. Mereka mulai bersikap biasa dan sibuk dengan kegiatan masing-masing. Orlando mengulurkan sebotol air mineral dan Callia menyambutnya dengan bersemangat. Dia tertawa saat Orlando mengacak rambutnya. "Akan ada penempatan di Lebanon dua bulan lagi. Aku berharap aku terpilih dalam pasukan khusus itu." "Daerah konflik..." "Huum..." "Huum..." "Apa kau khawatir Cal? Padaku?" Callia menoleh. "Tentu saja. Tapi, itu adalah tugasmu. Aku hanya akan rindu saja." Callia tertawa sumbang. Jauh di dasar hatinya, rasa khawatir itu merayap pelan bagai air yang kesulitan menembus celah bebatuan. Bagaimana tidak? Lebanon kini relatif aman, tapi siapapun tidak akan bisa memungkiri apa yang bisa terjadi pada suatu negara yang pernah mengalami konflik internal berkepanjangan. Tentu saja masih ada beberapa titik pergerakan terselubung dari pihak-pihak yang selamanya tidak merasa puas dengan pemerintahan di sana. Jelas Callia merasa khawatir. Tapi dia mengerti bahwa Orlando sedang berjuang untuk negaranya. Atau bahkan untuk dunia, ketika dia menjadi pasukan khusus yang bergerak secara global, tidak hanya di bumi Amerika saja. "Pengertianku melebihi apapun selama itu menyangkut tugasmu untuk kesatuan dan negara." "Aku selalu tahu, kaulah yang paling pantas menjadi istriku. Bukan perempuan penuh drama yang akan menangisi kepergian suaminya untuk bertugas." "Ooh...diamlah. Kita belum bicara sejauh itu." Callia menekan suaranya. Dia menoleh ke arah Orlando dan menatapnya tajam. Orlando yang tersenyum. Senyum yang selalu mampu membuat Callia tersesat di dalamnya dan enggan untuk kembali. Dan tiba-tiba Orlando berdiri. "Ada yang salah dengan mobil itu Cal. Diam di sini." Orlando berlari menuruni tangga aula dan berlari lebih kencang lagi menuju gerbang barak di kejauhan. Sebuah mobil dengan warna hijau dan coklat tua terlihat melaju dari arah gerbang yang terbuka. Mobil itu nampak melaju dengan aneh dan sedikit tak terkendali. Beberapa teman Orlando yang juga menyadari keadaan itu terlihat berlarian bersama dengan Orlando. Dan benar saja, mobil itu berbelok ke arah lapangan luas setelah terlebih dulu menerobos barikade rerumputan tebal yang berfungsi sebagai pagar alam. Sepertinya supir yang membawa mobil itu mengambil opsi berputar-putar saja sambil mencari jalan keluar bagaimana menghentikan mobil yang menggila itu. Teriakan demi teriakan. Orlando dan teman-temannya terlihat kesulitan mencari cara membuat mobil itu berhenti. Mereka terlibat perdebatan sementara mobil berputar-putar dengan kecepatan luar biasa. Callia menghela napas.  "Para pria sejatinya adalah anak laki-laki yang tak pernah dewasa." Callia mengusap dahinya dan menghela napas serupa dengusan. "Apa yang mereka lakukan? Berdebat? Keadaan sedang genting, Tuhan." Callia melangkah ke ujung selasar aula. Sungguh. Tidak ada yang mencurigakan. Tidak pula ada yang memperhatikan. Semua perhatian tertuju pada mobil yang bergerak semakin cepat dan kali ini semakin tak tentu arah. Callia berdeham. Dia berdiri tegak. Tidak melakukan gerakan apapun. Selain, tangan kanannya yang bergerak kecil. Mengepal perlahan. Menggeram pelan dan menarik napas panjang. Menghembuskannya sangat pelan. Menatap tajam ke arah mobil di kejauhan dengan air muka yang tak menyiratkan apapun. Dan seiring hembusan napas. Tatapan tajam itu mampu membuat mobil bergerak semakin tenang. Perlahan. Perlahan. Dan berhenti. Meninggalkan keheranan semua orang yang sudah berkumpul di lapangan dan tepiannya. Lalu terlihat supir mobil-- seorang kadet yang bertugas membawa perlengkapan untuk barak-- keluar dengan wajah pucat pasi. Beberapa rekannya sigap menolong. Selesai. Lalu semua membubarkan diri. Juga Orlando yang melangkah mendekati Callia. "Apa semua baik-baik saja? Syukurlah mobil itu berhenti dan kadet itu selamat." Orlando tak bersuara. Juga tak menanggapi apa yang Callia katakan. Pria itu, pada akhirnya hanya berdiri di depan Callia dan menatap Callia penuh tuduhan. Dan itu sanggup membuat Callia nyaris tersedak salivanya sendiri "Apa?" Callia bertanya. Dan Orlando justru mengamati Callia dengan teliti. Kali ini wajahnya menyiratkan kekhawatiran. "Kau baik-baik saja?" "Aku?" "Kau Cal. Jangan kau kira aku tidak tahu."  "Ooh...come on. Sedikit saja. Tidak berpengaruh apapun untukku." "Kami bisa mengatasinya." "Huum...kukira kau mengkhawatirkan keadaanku. Ternyata karena kau merasa bahwa kalian bisa mengatasi semua. Kau dan harga diri priamu. Come on...aku hanya khawatir." "Tentu saja bukan karena...harga diriku. Aku khawatir padamu." "Baiklah." "I mean it Callia..." "I know. Sudahlah. Ada yang salah dengan mobil itu Orlando. Bukankah mobil itu baru saja di servis kemarin?" "Kau tahu?" Orlando urung melanjutkan kata-katanya. Dia berdiri tegak dan memberi hormat pada kepala kesatuannya yang mendekat ke arahnya dan Callia. "Mr Jefferson, kau selidiki ke pusat perbaikan. Mobil itu baru keluar kemarin dan masalah serius sepertinya telah terjadi. Ini bukan perintah khusus. Kita akan mengadakan penyelidikan resmi setelah mendengar hasil darimu." Orlando sekali lagi memberi hormat pada atasannya yang segera berlalu itu. "Kau tahu mobil itu baru saja diservis kemarin?" "Apa yang tidak aku tahu?" Callia menatap Orlando dengan mata berbinar. "Ooooh..." Orlando mengikuti Callia yang berjalan di sepanjang selasar. "Sebaiknya aku pulang dengan taksi saja. Kau harus bergerak cepat bukan?" "Apalagi yang kau tahu Cal?" "Tidak ada." "Callia..." "Huum..." Mereka pada akhirnya berdebat sepanjang jalan menuju ke jalan raya dimana Callia akan menunggu taksi. Orlando masih saja penasaran dengan apa yang membuat Callia tak berhenti tersenyum seperti sekarang ini. "Aku akan menelponmu setelah selesai dengan tugasku Cal." Callia mengangguk. Dia berjinjit dan membisikkan sesuatu ke telinga Orlando. Sebuah taksi sudah menunggu di tepi jalan. "Aku tahu kau membeli selusin celana dalam produk dari Ellen DeGeneres dua hari lalu." Orlando tertegun. Menatap Callia yang sudah masuk ke dalam taksi dan melambai padanya. Orlando mengacak rambutnya kasar. "Oooh...shitt!! Dia akan tahu apapun yang aku lakukan! Sepanjang hidupku..." Orlando menatap taksi yang melaju kian menjauh. Dan dia mulai memupuk rindunya pada sosok Callia yang unik.  tbc -------------------------------       .  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD