Bab 2 Rumah Yang Dingin

1284 Words
Hari pertama setelah pernikahan itu terasa panjang dan sunyi. Udara pagi di kediaman keluarga Mauriat selalu dingin, tapi hari ini terasa lebih menusuk dari biasanya. Dari jendela besar kamarnya, Ellysa menatap taman belakang yang dipenuhi mawar putih, bunga kesukaan almarhum ibunya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Hari ini ia resmi menjadi “Nyonya Mauriat,” gelar yang terasa terlalu berat untuk disandang oleh seseorang sepertinya. Meski hatinya gelisah, Ellysa menyiapkan diri sebaik mungkin. Ia mengenakan gaun sederhana berwarna krem, menata rambut panjangnya dengan gaya rapi seperti yang diajarkan Ibu Mirna dulu. Setiap langkah yang ia ambil di koridor rumah besar itu terasa penuh kehati-hatian, seolah takut menginjak batas yang tak terlihat. Di ruang makan, Devandra sudah duduk lebih dulu. Pria itu tampak memusatkan perhatian pada koran di tangannya, dengan secangkir kopi hitam di sisi kanan. Tatapannya dingin, rahangnya tegas, dan tanpa sepatah kata pun ia menoleh ketika Ellysa masuk. “Selamat pagi, Tuan…” ucap Ellysa pelan, berusaha sopan. Devan hanya mengangguk tanpa menatapnya. “Duduk saja.” Ia menuruti perintah itu, duduk di ujung meja panjang yang terasa terlalu jauh dari tempat sang suami. Di hadapan mereka, pelayan menghidangkan sarapan dengan diam dan cermat,.omelet, roti panggang, dan jus jeruk segar. Tak ada percakapan. Hanya suara sendok beradu dengan piring yang terdengar. Namun saat seorang pelayan baru tanpa sengaja menumpahkan sedikit jus ke taplak meja, Ellysa segera berdiri, mengambil serbet dan membersihkannya. “Tidak apa-apa,” katanya lembut pada pelayan itu. Devan menatap sekilas dari balik koran, dan untuk sesaat, mata mereka bertemu. Pandangan itu dingin, tapi juga mengandung sesuatu yang sulit dijelaskan—seperti pengingat bahwa mereka berasal dari dua dunia yang berbeda. Beberapa menit kemudian, Devan meletakkan korannya dan berdiri. “Kepala pelayanan akan memberitahumu tentang aturan rumah ini,” katanya datar. “Dan sesuai perintah ayahku, kau akan diperlakukan sebagai nyonya rumah. Semua pelayan akan menghormatimu.” ucap Davendra dengan datar Ellysa menunduk sopan. “Terima kasih, Tuan Devan.” “Tapi jangan salah mengartikan statusmu,” lanjutnya dengan nada dingin. “Kau berada di sini karena kewajiban, bukan karena keinginan. Aku tidak suka drama, tidak suka gangguan. Lakukan saja apa yang perlu kau lakukan, dan jangan ikut campur dalam urusanku.” lanjutan yang lagi Kata-kata itu terasa seperti pisau. Namun Ellysa menahan diri, menunduk dalam, lalu berkata dengan lirih, “Saya mengerti, Tuan. Saya tidak akan melewati batas.” ucap Elisa dengan sopan Devan menatapnya beberapa detik sebelum melangkah pergi, meninggalkan aroma kopi dan parfum mahal di udara. Gadis itu duduk kembali, menatap sisa sarapannya yang kini terasa hambar. Ia tidak tahu harus merasa apa, marah, sedih, atau sekadar hampa... ingin rasanya punya sandaran, karena dia sudah tidak punya siapa siapa lagi di. dunia ini "jika boleh aku meminta,.. aku jugak tidak menginginkan pernikahan ini" gumamnya pelan sambil menghela nafas Siang harinya, sesuai perintah Devan, kepala pelayanan keluarga, Nyonya Helena, memperkenalkan Ellysa pada seluruh staf rumah. “Mulai hari ini, beliau adalah Nyonya Ellysa Mauria, Semua perintah beliau setara dengan Tuan Devan atau Tuan Mauria senior. Siapa pun yang tidak menghormatinya akan berurusan langsung dengan saya,” ujar Helena tegas. Para pelayan menunduk sopan. Beberapa di antaranya menatap dengan penasaran, sebagian lain tampak ragu, karena tahu bahwa pernikahan ini bukan atas dasar cinta. Namun Ellysa hanya membalas dengan senyum kecil, berusaha menjaga martabat dirinya dan nama keluarga Wicaksono yang kini hanya tinggal kenangan. Setelah acara perkenalan itu, Helena mengajaknya berkeliling rumah besar itu, ruang tamu megah, ruang kerja keluarga, taman, hingga dapur besar tempat para pelayan sibuk. “Rumah ini punya peraturan yang ketat,” jelas Helena. “Tuan Devan tidak suka kebisingan. Jangan masuk ke ruang kerjanya tanpa izin. Dan…” ia berhenti sejenak, menatap Ellysa penuh arti, “jangan berharap beliau akan memperlakukanmu seperti istri.” ucap nyonya Helena dengan berat hati Ellysa hanya tersenyum tipis. “Saya tidak berharap apa pun, Nyonya. Saya hanya ingin tidak menjadi beban.” ucap Ellysa tersenyum tipis Helena menatapnya lama sebelum akhirnya mengangguk pelan. “Kau gadis yang sopan. Semoga Tuhan memberkatimu, Nyonya muda.” ucap nyonya Helena merasakan kasihani pada sebenarnya padahal gadis itu, tapi apa daya dia bukan siapa-siapa Malam tiba dengan cepat. Udara semakin dingin, dan suara jam dinding menggema di setiap lorong. Devan belum pulang. Ia biasa bekerja hingga larut di kantornya, atau menginap di apartemen pribadinya di pusat kota. Ellysa duduk sendirian di ruang tamu, membaca buku tua peninggalan ibunya. Di pangkuannya, selimut tipis menutupi kakinya. Sekilas, ia tampak seperti gadis kecil yang tersesat di rumah yang terlalu besar. Namun saat jarum jam menunjuk pukul sepuluh, suara pintu depan terdengar terbuka. Ellysa segera berdiri dan menutup bukunya. Devan masuk dengan langkah lelah, dasi terlepas, wajahnya dingin seperti biasa. Ia sempat menatap Ellysa sekilas sebelum berkata, “Masih bangun?” ucap Devan datar “Saya hanya… membaca sedikit, Tuan.” jawab Ellysa “Jangan menunggu saya. Kau tidak perlu melakukannya.” ucapnya lagi “Saya tidak menunggu. Hanya belum mengantuk,” jawab Ellysa hati-hati. Devan tak berkata apa-apa lagi. Ia berjalan menuju tangga, namun sebelum menaiki anak tangga pertama, ia berhenti dan berkata tanpa menoleh, “Mulai besok, kau bisa mengatur rumah sesuai keinginanmu. Tapi jangan ubah ruangan apa pun milik ayahku. Dan jangan sekali pun masuk ke ruang kerja pribadiku.” ucap Devan dengan tegas “Baik, Tuan.” Setelah pria itu menghilang di balik lorong atas, Ellysa menarik napas pelan. Ia tahu batasnya. Ia tahu posisinya hanyalah ‘istri karena kewajiban’, bukan pasangan yang dicintai. Tapi dalam hatinya yang lembut, ia tetap berdoa agar suatu hari bisa membuat Devandra setidaknya tidak membencinya. Hari-hari berikutnya berjalan dalam keheningan yang sama. Devan jarang pulang, dan sekalipun pulang, mereka jarang berbicara. Kadang hanya bertemu di meja makan, bertukar beberapa kalimat singkat yang terdengar lebih seperti laporan kerja daripada percakapan rumah tangga. Namun, perlahan, para pelayan mulai menghormati Ellysa seperti nyonya sejati. Ia tidak pernah marah, selalu sopan, dan memperhatikan kebutuhan mereka. Ia bahkan sering membantu di dapur, meskipun Helena melarangnya. “Saya tidak bisa hanya duduk diam, Nyonya Helena,” katanya suatu pagi. “Saya tidak terbiasa dilayani.” Helena tersenyum samar. “Kau berbeda dari wanita-wanita lain di rumah ini, Nyonya muda.” "saya hanya ingin menjadi diri saya sendiri" ucap Ellysa dengan lembut Sementara itu, di kantor pusat Mauria Corporation, Devandra mulai kehilangan fokus. Setiap kali ia menatap laporan, wajah Ellysa selalu muncul di pikirannya, pandangan lembut gadis itu saat berbicara, atau senyum kecilnya yang berusaha menyembunyikan kesedihan. Ia membenci dirinya karena memikirkan hal itu. “Kenapa aku harus peduli?” gumamnya pelan sambil menutup map berlogo perusahaan. Ia tahu dirinya tidak bisa mencintai Ellysa. Ia bahkan belum bisa memaafkan keadaan yang membuatnya harus mengorbankan Aveline. Namun di sisi lain, ada sesuatu yang pelan-pelan berubah dalam dirinya. Malam itu, saat kembali ke rumah, ia melihat Ellysa sedang duduk di ruang musik, memainkan piano peninggalan ibunya. Suaranya lembut, menenangkan, dan entah kenapa membuat d**a Devan terasa hangat. Ellysa segera berhenti saat menyadari kehadirannya. “Saya minta maaf, Tuan. Saya hanya… mencoba mengingat lagu yang sering dimainkan Mama.” Devan menatapnya lama. “Lanjutkan saja.” ucapnya datar “Maaf?” ucap Ellysa dengan sedikit gemetar “Mainkan lagu itu lagi.” Ellysa menatapnya dengan ragu, lalu kembali menekan tuts piano perlahan. Nada-nada lembut memenuhi ruangan, membawa Devan ke suasana yang belum pernah ia rasakan selama ini, tenang, tapi juga menyakitkan. Saat lagu berakhir, Devan hanya berujar singkat, “Kau berbakat.” Ellysa menunduk, tersipu kecil. “Terima kasih, Tuan Devan.” Pria itu berbalik dan berjalan pergi, namun untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, bibirnya sedikit melengkung, nyaris tak terlihat, tapi nyata. Dan malam itu, untuk pertama kalinya juga, Ellysa berdoa dengan hati yang sedikit lebih ringan. Mungkin… rumah dingin ini tidak akan selamanya membeku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD