Alice meneguk ludahnya saat memberikan ponsel itu pada Matthew. Ia menjilati bibirnya yang kering sambil kembali menatap layar laptopnya dengan tatapan kosong. Hidupnya berakhir sekarang. Kenapa ia selalu terlibat dengan orang-orang m***m dan aneh seperti Andrew? Berurusan dengan Stuart, bosnya, saja sudah membuat dosa Alice bertambah, apalagi dengan Andrew yang mesumnya mengalahkan Stuart. Bosnya memang terkenal m***m, tetapi untungnya ia tidak pernah disentuh atau menjadi korban pelampiasan nafsu b***t Stuart.
Matthew mengangkat alisnya bingung saat melihat tingkah Alice yang aneh. "Ada apa? Apakah sesuatu terjadi?" tanya Matthew cemas.
"Ranselku..." Alice hanya menggumamkan satu kata itu karena pikirannya benar benar buntu.
"Kenapa?"
"Pria m***m itu."
Matthew diam sejenak dan menjetikkan jarinya menangkap maksud Alice. Tiba-tiba saja pria itu tersenyum penuh arti sambil menyikut Alice pelan. "Oh Tuhan, Alice! Ini waktunya!" serunya girang.
Alice menoleh dan mengerutkan kening tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Matthew. Sepertinya Matthew mengerti kalau Alice bingung, dilihat dari kerutan di kening gadis itu.
"Waktunya untuk melanjutkan apa yang sudah tertunda." Saking girangnya Matthew menepuk pundak Alice. “Jika memang benar Andrew Watson yang menyentuhmu kemarin, berarti ini kesempatan besarmu untuk mengambil hatinya. Ambil hatinya, manfaatkan dia untuk mendapatkan berita yang kau inginkan.”
"Aku sedang tidak bercanda dan aku tidak ingin disentuh lagi oleh pria itu," gumam Alice sambil memutar bola matanya. "Begini saja, bagaimana kalau kau yang mengambil ranselku? Gampang kan?" tawar Alice sambil memasang wajah memelasnya.
"Aku harus memberikan berita pagiku pada tim penerbit sebentar lagi, dan aku belum selesai mengetiknya," tolak Matthew sambil menggidikkan bahu.
"Aku yang akan melanjutkan pekerjaanmu. Kau hanya perlu mengambil tas ranselku," bujuk Alice sambil menggenggam tangan Matthew berharap pria itu berubah pikiran.
"Setelah itu, Mr. Stuart memintaku membawakannya berita hari minggu kemarin." Matthew memberikan Alice senyum simpatinya. Senyuman yang paling dibenci gadis itu. Pria itu tahu kalau sahabatnya sangat benci jika harus berurusan dengan Mr Stuart yang m***m. Itu bisa dijadikan alasan yang bagus untuk menolak permintaan Alice.
Alice mendesah pelan lalu menggigit bibirnya takut. "Aku bingung."
Matthew tiba-tiba merasa iba pada Alice, tetapi ia benar-benar sibuk sekarang dan harus memberikan berita paginya pada tim penerbit. Ia tersenyum kecil sambil meremas jari jari mungil gadis itu. "Kau hanya perlu mengambil tas ranselmu dan pulang."
Kalau saja ia dan Alice bukan sahabat, pastilah mereka sudah pacaran sebelum ia menikah, tetapi tetap saja, rasa sayangnya pada gadis itu hanya sebatas sahabat. Tidak ada rasa sayang lebih seperti rasa sayangnya pada istrinya sendiri. Matthew memang m***m, tetapi ia setia.
"Tapi, aku belum menyelesaikan berita pagiku," ucap Alice dengan nada memelas
"Aku yang akan menyelesaikannya, manis."
"Benarkah?"
"Tentu."
"Baiklah aku pergi sekarang. Tolong sampaikan izinku pada Mr Stuart," lanjut Alice bersemangat sambil beranjak dari kursinya dan berlari kecil.
Matthew menatap punggung Alice yang menghilang dibalik tembok dan melirik laptop gadis itu sejenak. Ia mulai menyesali apa yang baru dikatakannya beberapa detik yang lalu. Matthew mengira berita pagi Alice hampir selesai, hingga ia berani menawarkan dirinya untuk membantu gadis itu. Namun, ia salah! Laptop Alice hanya berisi tiga kata dan itu pun hanya judul.
Gadis itu, benar benar..., rutuk Matthew dalam hati.
***
Alice menapakkan kakinya di tangga kasino dan mengedarkan pandangannya di sekitar tempat itu. Hanya ada satu kata yang menggambarkan tempat itu pagi ini.
Sepi.
Tentu saja, tempat itu sepi, karena semua orang bekerja. Kasino paling bagus didatangi saat malam. Di saat tempat itu mulai ramai dengan pria tua yang kaya. Alice tidak menemukan Andrew di kasino itu dan berniat memasuki pintu terlarang yang khusus diperuntukkan bagi tamu VIP. Tangannya tiba-tiba dicekal saat berniat untuk membuka pintu yang terhubung dengan ruang bersenang-senang orang konglomerat yang nantinya berujung pada ruang kerja Andrew. Alice melebarkan matanya kaget dan menoleh. Seorang pria berjas rapi--masih muda, tetapi lebih tua darinya--tengah menatapnya dengan tatapan menerawang.
"Kau tidak boleh masuk, nona," ucapnya tegas sambil menarik tangan Alice.
Alice berusaha melepaskan cengkeraman tangan pria itu di tangannya. Karena terdesak, Alice memelintir tangan pria itu dengan gerakan cepat. Terdengar umpatan kecil dan erangan dari pria itu. Namun, tampaknya pria itu juga tidak mau menyerah, ia malah kembali menarik tangan Alice dan mengunci gadis itu dalam dekapannya.
"Lepaskan aku!" erang Alice sambil menggeliat dalam dekapan pria itu. Matanya tidak sengaja menangkap name tag pria itu dan mengetahui kalau namanya adalah Paul.
Paul menatapnya dengan tatapan menilai sambil tersenyum mengejek. "Untuk ukuran tubuhmu, kau boleh juga."
"Aku hanya ingin mengambil tas ranselku." Alice menatap mata cokelat pria itu berani.
"Lepaskan dia." Terdengar suara seorang pria yang dikenal Alice. Gadis itu menoleh dan mendapati pria m***m itu tengah menatapnya dengan tatapan tak terbaca.
Andrew.
Paul langsung melepaskan Alice dan menunduk hormat pada Andrew, lalu berjalan menjauh. Andrew mendekati Alice dan langsung menarik tangan gadis itu ke ruang kerjanya. Alice merasakan tangannya memerah, karena dicengkeram oleh dua orang pria. Tiba-tiba saja Andrew memeluknya dan menyerukkan kepalanya di lekukan leher Alice.
"Apa yang..."
"Hanya aku yang boleh menyentuhmu, Alice," potongnya geram.
Alice terdiam dalam dekapan pria itu dan lagi-lagi mematung. Otaknya kembali kosong dan jantungnya berdebar kencang. Sentuhan yang selalu diingatnya kini kembali dirasakannya. Tubuh Alice menegang saat dipeluk oleh Andrew. Tidak ada respons berarti dari tubuh gadis itu ketika dipeluk. Gadis itu juga tidak balik memeluknya dan hanya berdiri mematung. Andrew melepaskan pelukannya dan menangkupkan tangannya di wajah mungil gadis itu.
Ia mengusap bibir ranum Alice dengan ibu jarinya sambil berkata. "Bibir ini milikku."
Andrew menundukkan kepalanya dan berniat mencium gadis itu ketika dadanya ditahan. Alice tersenyum mengejek sambil menjauhkan dirinya dari jangkauan pria itu. Ia berjalan mundur hingga sejauh satu meter dari Andrew.
"Kembalikan tasku." Hanya itu yang diucapkan Alice.
Andrew berjalan mendekat, tetapi gadis itu juga berjalan mundur dan menjauhinya. Andrew mengerutkan kening bingung dan kembali melangkahkan kakinya mendekati Alice. Akan tetapi, gadis itu juga bergerak mundur. Andrew menyisir rambutnya frustrasi sambil menatap Alice tajam. "Berhentilah bermain, Sayang, sebelum kesabaranku hilang."
"Kita harus menjaga jarak. Aku akan berdiri paling dekat satu meter darimu," ucap Alice datar.
"Untuk apa?"
"Aku tidak akan menjawabnya, sebelum kau memberikan tasku." tantang Alice.
Andrew mengepalkan tangannya kesal, karena berhadapan dengan gadis keras kepala yang satu ini. "Kalau begitu kau tidak akan pernah mendapatkan tasmu."
Alice mengerutkan keningnya dan lagi lagi ia harus mengalah. "Kita harus menjaga jarak, karena kau berbahaya."
Kali ini, raut wajah Andrew yang tadinya kesal berubah menjadi bingung. "Berbahaya?"
"Ya," jawab Alice singkat.
"Kenapa?"
"Aku sudah menjawabmu, sekarang berikan tasku." Alice memutar bola matanya kesal.
"Jawab dulu pertanyaanku."
Alice mendesah pasrah. "Kau...... selalu menciumku," jawab gadis itu ragu-ragu sambil memalingkan wajahnya dengan pipi merah.
Tidak terdengar jawaban.
Hening.
"Apakah aku menyakitimu?" bisik Andrew pelan sambil mengaitkan sejumput rambut Alice di belakang telinga. Pagi ini, gadis itu tidak mengikat rambutnya dan membiarkannya terurai. Andrew lebih menyukai gadis itu ketika rambutnya diurai. Alice terlihat lebih feminim dan manis.
Alice menoleh dan mendapati Andrew sudah berada di hadapannya dengan jarak yang sangat dekat. Ia bisa merasakan hembusan nafas pria itu di wajahnya. Jantungnya berdegup kencang saat mendengar bisikan pria itu begitu lembut mengalun di telinganya. Alice lagi-lagi memalingkan wajahnya, karena tidak kuat menatap mata tajam pria itu. Alice memang sependapat dengan wanita di kantornya yang mengatakan kalau Andrew tampan. Mata hitam pria itu membuat semua wanita terhipnotis dan ikut terjebak di dalamnya. Namun, tetap saja Alice selalu berpikir kalau Andrew tidak lebih dari seorang anak pengecut yang dirundung dulu.
Saat berada di bilik shower, Alice mulai mengenali Andrew dan kaget melihat perubahan yang drastis pada tubuh pria ini. Dari anak kecil yang pengecut menjadi pria tampan yang berkuasa, apalagi Andrew yang dulu miskin menjadi seorang miliarder sukses seperti ini membuat Alice mulai memuji keberuntungan pria itu.
Alice mulai bertanya-tanya kenapa pria ini sangat menginginkannya. Apakah hanya karena ia pernah membantu Andrew semasa sekolah? Hanya itu? Berarti semua orang akan jatuh cinta padanya jika memang hanya itu alasannya.
Andrew memegang dagu Alice agar gadis itu bisa menatap matanya. Ia menunduk dan mencium bibir manis gadis itu sekilas dan tersenyum lembut. "Maafkan aku kalau aku memang pernah menyakitimu. Berjanjilah kau tidak akan menjauhiku seperti tadi."
Oh Tuhan!
Alice mengerjapkan matanya setelah Andrew melepaskan ciuman sekilasnya. Bibir pria itu sangat lembut ketika menyentuhnya. Otak kecilnya lagi-lagi kosong dan ia merasa seperti orang bodoh sekarang. Bodoh karena sudah terlena dengan ciuman manis pria itu.
Andrew menyodorkan tas itu pada pemiliknya sambil tersenyum kecil. Alice mulai mendapatkan kesadarannya dan mengambil tas itu. Ia merasa ada sesuatu yang janggal saat Andrew memberikan tas itu padanya sambil tersenyum kecil. Tidak biasanya pria itu memberikan barang semudah itu. Kini, ada satu pertanyaan yang mengganggu kepalanya.
Kenapa tas ini terasa ringan?
Ia membuka resleting tasnya dan mendapati benda itu kosong. Alice melebarkan matanya kaget dan menatap Andrew yang juga balas menatapnya sambil tersenyum mengejek.
"Mana barang-barangku?" tanya Alice sambil menyipitkan matanya.
"Aku akan mengembalikan barangmu satu per satu setiap harinya. Jadi, hari ini, aku mengembalikan tas ranselmu dulu. Besok, aku akan mengembalikan bolpoin merah ini," ucap Andrew santai sambil mengacungkan bolpoin merah Alice. "Jadi, pastikan kau akan datang setiap harinya ke sini untuk mengambil benda-bendamu."
Alice menatapnya geram. "Kau boleh mengambil yang lain, tetapi kembalikan dulu ponselku."
"Baiklah, ponselmu akan menjadi benda terakhir yang akan kukembalikan," jawab Andrew sambil menggidikkan bahu.
"Kau adalah pria terlicik yang pernah ada," seru Alice begitu kesalnya, namun ia tidak memiliki kekuatan untuk merebut kembali barang-barangnya, karena pria itu benar-benar mengunci laci tempat diletakkannya barang-barangnya.
Andrew terkekeh pelan sambil menyandarkan tubuhnya di meja kerjanya. "Aku akan menganggap itu sebagai pujian."